Friday, January 29, 2021

Sifat Salat: Hal yang Membatalkan Salat

 Dalam Mazhab Syafi'i, setidaknya, terdapat empat belas hal yang bisa membatalkan salat sebagaimana yang dituliskan Syaikh Salim bin Abdullah al-Hadhrami dalam Safînah al-Najâh:

1. Berhadas

Seperti buang angin, buang air, dan sebagainya. Baik sengaja, atau tidak.

2. Terkena najis, jika tidak segera disingkirkan tanpa menyentuhnya

Yakni najis yang tidak ditoleransi. Baik mengenai pakaian, atau badan. Najis bisa disingkirkan secara segera (kadar waktunya: seukuran tuma'ninah), dan tanpa menyentuhnya, seperti menyekanya di tempat yang suci, atau jika ia berbentuk padatan, maka ia bisa dikibaskan. 

3. Terbukanya aurat

Jika aurat terbuka, baik seluruh, atau sebagiannya, dan tidak segera ditutup, maka ia membatalkan salat. Kadar waktu "segera" adalah seukuran tuma'ninah. Jika ada angin yang menyibakkan pakaiannya, lalu ia segera menutupnya kembali, maka tidak membatalkan salat. Namun, jika tersibaknya pakaian karena sebab lain seperti hewan, atau manusia, baik dewasa, atau anak kecil, maka ia membatalkan salat, walaupun segera ditutup kembali.

4. Berbicara sebanyak dua huruf secara sengaja

Yakni melafalkan minimal dua huruf, baik yang memiliki makna seperti من (dari), atau tidak memiliki makna. Berdeham, menangis, tertawa, meng-"aduh", meniup baik dengan mulut, atau hidung, bersin, batuk juga membatalkan jika kesemuanya menampakkan dua huruf menurut pendapat yang paling kuat dalam Mazhab Syafi'i. Namun dalam Kanzu al-Râghibîn, terdapat pendapat lain yang mengatakan bahwa hal-hal tersebut tidak membatalkan karena bukan termasuk bagian dari perkataan (الكلام). 

Termasuk membatalkan juga melafalkan satu huruf yang bisa dipahami maknanya seperti ق (kata perintah dari وقاية yang bermakna jagalah). Huruf yang ber-madd juga dianggap dua huruf (seperti حا) dan membatalkan salat.

Penulis menambahkan kata "secara sengaja", sehingga semua hal di atas berlaku jika dilakukan dengan sengaja. Adapun, jika keadaannya adalah "kelepasan", lupa, atau tidak tahu mengenai keharamannya (kaitannya dengan orang yang baru masuk Islam, atau tinggal jauh dari ulama) maka ia tidak mengapa. Adapun batasan yang dibolehkan dalam hal ini adalah sesuai dengan adat, dan dalam Kâsyifatu al-Sajâ ditetapkan sebanyak enam kalimat. Jika melebihi itu, walaupun dengan keadaan lupa, ia tetap membatalkan.

Dikeluarkan dalam pembahasan di atas, dzikir, dan doa. Ia tidak membatalkan salat selama tidak diucapkan kepada selain Allah, dan Rasulullah. Contohnya, jika ada orang bersin, lalu kita berdoa sebagaimana sunnahnya dengan doa, "yarhamukallah" (semoga Allah merahmati-mu), maka hal ini membatalkan, karena tujuan bicaranya adalah kepada orang yang bersin. Namun, jika ia berdoa dengan "lawan bicara" Allah seperti, "yarhamuhullah" (Semoga Allah merhmati dia), maka itu tidak membatalkan. 

Catatan: jika ingin mengingatkan imam dengan mengucapkan "subhanallah" sebagaimana yang telah kita tahu, wajib diniatkan mengingatkan, dan dzikir. Jika hanya diniatkan mengingatkan saja, maka itu membatalkan salat. 

5. Membatalkan puasa dengan sengaja

Maka, membatalkan puasa dalam salat secara sengaja juga membatalkan salatnya.

6. Makan

Jika ia makan dengan banyak, walaupun lupa, tidak tahu akan ke-tidak-bolehan-nya, atau dipaksa, maka membatalkan salat. Adapun kalau sedikit, jika ia lupa, atau tidak tahu akan ke-tidak-bolehan-nya, maka tidak membatalkan salat, namun jika keadaan dipaksa, tetap membatalkan salat.

7. Melakukan tiga gerakan berurutan walaupun dalam keadaan lupa

Bergerak tiga kali berurutan walau dengan anggota badan yang berbeda, misalnya menggerakkan kepala, dan dua tangan. Menggerakkan kaki, lalu mengembalikannya ke posisi semula terhitung dua kali gerakan, berbeda dengan tangan. Menggerakkan tangan, lalu mengembalikannya ke posisi semula terhitung satu kali gerakan. 

Catatan: Hati-hati ketika ingin maju mengisi shaf yang kosong (misalnya ada jamaah yang keluar dari shaf). Langkah jangan sampai tiga kali berturut-turut karena dapat membatalkan salat.

Gerakan kurang dari tiga kali jika dilakukan dengan niat bermain-main juga membatalkan salat. Adapun, gerakan jari, pinggang, bibir, telinga, walaupun banyak, tidak membatalkan salat, seperti orang yang menggaruk dengan jarinya misalnya. 

8. Melompat

Yakni, melompat yang telah melewati batas kewajaran, begitu juga menggerakkan seluruh badan.

9. Memukul yang berlebihan

10. Menambah rukun fi'li secara sengaja

Yakni, rukun yang berupa perbuatan. Misalnya, menambah sujud, atau rukuk.

11. Mendahului, atau tertinggal dari imam dengan dua rukun fi'li tanpa alasan ('udzur)

 Mendahului walaupun ia berurutan. Contohnya, imam rukuk duluan, kemudian ketika imam ingin rukuk, ia bangkit, ketika imam ingin bangkit, ia turun untuk sujud. Dengan sujudnya tersebut, salatnya telah batal. Adapun, jika mendahului dalam satu rukun fi'li, ia tidak membatalkan, tapi haram dilakukan.

Tertinggal juga merupakan perkara pembatal salat. Contoh kasusnya ketika imam telah selesai rukuk, dan i'tidal, kemudian mulai turun menuju sujud, sedangkan makmum masih berdiri (belum rukuk). Atau, imam telah selesai sujud yang kedua (sujud setelah duduk di antara dua sujud), bangkit, membaca Al-Fatihah, kemudian mulai turun untuk rukuk, sedangkan makmum masih duduk di antara dua sujud.

Alasan ('udzur) yang dimaksud di sini berbeda antara mendahului, dan tertinggal. Dalam kasus mendahului imam, alasan yang bisa diterima hanya lupa, dan tidak tahu. Sedangkan, pada kasus tertinggal dari imam, ada sebelas alasan yang bisa diterima sehingga ia tidak membatalkan salat (https://muammarfarras.blogspot.com/2021/01/sifat-salat-hal-hal-yang-membuat.html).

12. Berniat membatalkan salat

Contohnya, seseorang berniat akan membatalkan salat di rakaat kedua, maka saat itu telah batal salatnya, kecuali jika ada 'udzur seperti lupa.

13. Mengaitkan sesuatu dengan kebatalannya

Misalnya, jika pintu rumah terbuka, maka ia akan membatalkan salatnya.

14. Ragu-ragu dalam membatalkan salat

Maksud ragu-ragu di sini bukan terkait dengan keraguan yang muncul di pikiran seperti ragu yang muncul karena tidak yakin apakah tadi ia buang angin atau tidak (sehingga ragu salatnya telah batal atau belum). Namun, ragu-ragu yang berkaitan dengan keimanan kepada Allah, apakah ia akan melanjutkan salatnya atau tidak berkaitan dengan keimanannya yang goyah. 

Sumber: Kâsyifatu al-Sajâ 

Sifat Salat: Hal-Hal yang Membuat Kondisi Tertinggal dari Imam Dibolehkan

 Dalam kitab Kâsyifatu al-Sajâ dijelaskan bahwa terdapat sebelas alasan ('udzur) yang membuat tertinggal dari imam tidak membatalkan salat. Sebagaimana kita tahu, tertinggal dua rukun fi'li dari imam membatalkan salat. Berikut sebelas 'udzur tersebut:

1. Tidak mampu secara fisik untuk membaca secara cepat (sehingga tertinggal dari imam). Berbeda kondisinya dengan orang yang senantiasa was-was apakah bacaan Al-Fatihahnya benar/tidak, apakah ia telah membaca atau belum, dan sebagainya. Hal itu bukan 'udzur.

2. Mengetahui secara yakin, atau ragu sebelum ia rukuk, dan setelah imam rukuk, bahwa ia meninggalkan Al-Fatihah.

3. Lupa membaca Al-Fatihah sampai imam rukuk, dan ia belum rukuk.

4. "Disibukkan" dengan mengejar kesunnahan, seperti membaca ta'awwudz, atau doa iftitah.

5. Seseorang menunggu imam untuk menyelesaikan Al-Fatihah (agar ia bisa membaca Al-Fatihah setelahnya), namun ternyata imam langsung rukuk setelah membaca Al-Fatihah, atau kondisi di mana imam membaca bacaan yang sangat pendek yang tidak membuat makmum tidak mungkin untuk menyelesaikan Al-Fatihahnya sesuai waktu yang sesuai.

6. Tertidur ketika tasyahhud awwal, dan bangun saat imam telah rukuk, atau di akhir berdirinya.

7. Bingung terhadap takbir imam. Contohnya, ketika seseorang sujud di rakaat kedua, ia mendengar imam bertakbir, dan ia menyangka itu takbir untuk tasyahhud awwal. Padahal, itu adalah takbir imam untuk berdiri (telah selesai tasyahhud). Kemudian setelah ia selesai, imam telah rukuk.

8. Menyempurnakan tasyahhud awwal walau imam telah berdiri.

9. Lupa bahwa ia sedang berjamaah. Misalnya, ia sedang sujud, lalu ia lupa sedang berjamaah, sedangkan imam telah rukuk.

10. Ragu apakah ia makmum muwâfiq, atau masbûq.

Catatan: muwâfiq adalah makmum yang sempat menyempurnakan Al-Fatihah sebelum imam rukuk, sedangkan masbûq adalah yang tidak sempat menyempurnakannya. Makmum muwâfiq wajib menyelesaikan Al-Fatihahnya, sedangkan jika ia masbûq, ia boleh langsung mengikuti imam, dan tidak menyempurnakan Al-Fatihahnya, karena bacaannya telah ditanggung imam.

11. Memperpanjang sujud kedua, ketika ia bangkit, imam telah rukuk, atau mendekati rukuk.

Jika memiliki 'udzur ini, maka wajib menyempurnakan bacaannya dulu, kemudian berusaha mengikuti imam. Dalam kondisi ini, dibolehkan bagi makmum untuk tertinggal tiga rukun panjang (rukuk, dan dua sujud). I'tidal, dan duduk di antara dua sujud tidak dihitung karena ia termasuk rukun pendek. Sehingga, jika ia baru selesai membaca Al-Fatihah, dan imam masih di rukun keempat (misalnya: tasyahhud akhir), maka ia bisa rukuk, dan itu sudah terhitung rakaat.

Jika kondisinya:

1. Mereka sedang berada di rakaat pertama, atau ketiga, sehingga rukun keempatnya adalah imam kembali berdiri

2. Mereka sedang berada di rakaat kedua, atau keempat, imam sedang melakukan rukun keempat (tasyahhud akhir/tasyahhud awwal), namun makmum belum selesai Al-Fatihahnya

Maka, makmum bisa memilih antara berusaha mengikuti imam, jika di kondisi nomor satu, maka setelah imam salam, ia harus menambah satu rakaat lagi, dan jika di kondisi dua, artinya ia harus segera mempercepat bacaannya, atau ia juga bisa berniat memisahkan diri dari jamaah, dan salat sendiri (mufâraqoh). Jika imam telah sampai di rakaat kelima (rukuk), dan ia belum niat mufâroqoh, maka salatnya batal.

Sumber: Kâsyifatu al-Sajâ

Wednesday, January 27, 2021

Sifat Salat: Sujud Sahwi

 Sujud sahwi adalah sujud dua kali di antara tasyahhud akhir, dan salam yang sunnah dilakukan ketika kita meninggalkan sesuatu (yang menuntut dilakukan sujud sahwi karenanya), atau mengerjakan sesuatu yang dilarang. Sujud sahwi dilakukan layaknya sujud biasa, di antaranya ada duduk pula. Sunnah untuk membaca "Subhâna man lâ yanâmu wa lâ yashû" (Maha suci zat yang tidak tidur, dan tidak lupa). Terdapat beberapa kondisi dianjurkannya melakukan sujud sahwi:

1. Ketika seseorang meninggalkan rukun fi'li (rukun yang berupa perbuatan) yang mempunyai potensi kelebihan dalam mengerjakannya, maka wajib untuk mengulangnya, kemudian ditutup dengan sujud sahwi di akhir rakaat. Misalnya: jika seseorang merasa ragu apakah dia sedang salat di rakaat ketiga, atau keempat, maka ia harus ber-ijtihad bahwa dia sedang berada di rakaat ketiga, kemudian, di akhir salatnya, ia tutup dengan sujud sahwi, karena ada potensi bahwa ia kelebihan rakaat. Walaupun ia ingat kembali sebelum ia salam, ia tetap sujud sahwi. Berbeda dengan rukun yang ketinggalan, namun tidak punya potensi kelebihan, misalnya ia meninggalkan salam, dan waktunya belum lama. Maka, ia salam, dan tidak perlu sujud. Begitu juga ketika seseorang meninggalkan sunnah ab'âd, hendaknya ia juga melakukan sujud sahwi (https://muammarfarras.blogspot.com/2021/01/sifat-salat-sunnah-abad.html).

2. Ketika seseorang melakukan sesuatu yang jika dilakukan secara sengaja akan membatalkan salat, tetapi jika lupa, tidak membatalkan salat. Contohnya, memanjangkan rukun yang harusnya pendek (i'tidal, dan duduk di antara dua sujud), berbicara sedikit, makan. Jika ia mengerjakan sesuatu yang kalau dilakukan secara sengaja tidak membatalkan salat (seperti bergerak dua langkah, atau menengok) tidak perlu sujud sahwi.

Catatan:

-Pada asalnya, membaca rukun qauli (rukun yang berupa bacaan) seperti Al-Fatihah tidak pada tempatnya (misal: dibaca saat rukuk) secara sengaja tidak membatalkan salat, tapi jika ia membaca karena lupa, maka sujud sahwi. Ini masuk dalam pengecualian.

-Jika seseorang lupa untuk mengerjakan tasyahhud awal, dan baru ingat ketika sudah berdiri, maka ia tidak boleh kembali duduk, karena membatalkan salatnya jika ia kembali duduk dengan sengaja, dan tahu akan keharamannya. Jika ia melakukannya dengan lupa, atau tidak tahu akan keharamannya, maka ia sujud. Jika ia dalam keadaan salat jamaah, imam duduk tasyahhud awal, namun ia lupa, dan berdiri, maka ia boleh kembali duduk karena mengikuti imam (berbeda dengan kondisi di atas, karena kondisi di atas adalah kondisi salat sendiri).

-Kalau seseorang ingat di momen sebelum ia berdiri, maka ia kembali untuk duduk tasyahhud, dan sujud sahwi jika posisinya menuju berdiri lebih dekat. Jika ia ingin berdiri secara sengaja, kemudian kembali lg duduk,  maka salatnya batal jika posisinya menuju berdiri lebih dekat.

-Begitu juga jika lupa melakukan qunut, dan baru ingat ketika sujud. Ia tidak boleh kembali berdiri untuk melakukan qunut. Namun, jika ia teringat di momen sebelum sujud, ia boleh kembali bangkit untuk sujud. Jika ia telah turun setinggi posisi rukuk, maka ia sujud sahwi. Jika belum setinggi posisi rukuk, tidak perlu sujud sahwi.

-Jika seseorang ragu apakah ia mengerjakan sunnah ab'âd atau tidak, maka ia sujud sahwi, karena sesuai kaidah fikih, pada asalnya ia dianggap belum mengerjakan, namun jika ia ragu apakah ia mengerjakan sesuatu yang dilarang (yang menuntut sujud sahwi) seperti berbicara sedikit dalam keadaan lupa atau tidak mengerjakannya, maka ia tidak perlu sujud sahwi

-Jika seseorang ragu apakah ia meninggalkan rukun/tidak setelah ia selesai salat, maka tidak berpengaruh ke salatnya.

-Jika seorang makmum lupa, maka ia mengikut ke imam, dan tidak perlu sujud sahwi.

-Jika imam meluputkan salah satu rukun salat selain niat, dan takbiratul ihram (misal: sujud), maka makmum mengikuti imam, setelah imam salam, ia kembali bangkit untuk menyempurnakan satu rakaat lagi (menutupi yang luput tadi), dan tidak sujud sahwi. Adapun, jika yang lupa adalah niat, dan takbiratul ihram, maka salatnya batal.

Sumber:

Kâsyifatu al-Sajâ

Kanzu al-Râghibîn

Tuesday, January 26, 2021

Sifat Salat: ٍSunnah Ab'ad

Sunnah ab'âd adalah sunnah dalam salat yang jika ditinggalkan, sangat dianjurkan untuk sujud sahwi sebagai penggantinya di akhir salat. Dalam Safînah al-Najâh dijelaskan, sunnah ab'âd ada tujuh.
1. Tasyahhud awal
Yakni, bacaan yang dibaca ketika tasyahhud awal.
2. Duduk tasyahhud awal
3. Shalawat pada tasyahhud awal

Catatan:
-Jika imam meninggalkan tasyahhud awal, maka makmum tidak boleh duduk ber-tasyahhud, alias makmum harus mengikuti imam. Berbeda dengan soal qunut, jika imam meninggalkan qunut, maka makmum boleh menyempurnakan qunut-nya dulu, selama ia yakin tidak sampai tertinggal dua rukun.
-Jika makmum selesai membaca doa tasyahhud awal duluan daripada imam, maka disunnahkan berdoa sampai imam selesai, dan kembali berdiri, dan shalawat di tasyahhud awal, sebagaimana yang telah dijelaskan di bagian rukun salat, hanya sampai shalawat kepada Nabi, tidak sampai kepada kerabat Nabi ﷺ (wa 'alâ âli sayyidinâ muhammad). Namun, jika posisinya masbuk, ketika imam sedang tasyahhud akhir, sedangkan kita masih tasyahhud awal, maka shalawat dipanjangkan sampai kepada kerabat Nabi ﷺ juga.

4. Shalawat kepada kerabat Nabi ﷺ di tasyahhud akhir
5. Qunut
Yakni, qunut pada rakaat kedua salat subuh, dan witir di setengah akhir bulan Ramadhan. Qunut adalah dzikir yang berisi doa, dan pujian kepada Allah dengan lafaz seperti apa pun. Contoh lafaz yang pendek yang dicontohkan dalam kitab Kâsyifatu al-Sajâ adalah "اللهم اغفرلي يا غفور (Allahummaghfirli Ya Ghafur)". Artinya adalah "Ya Allah Yang Maha Pengampun! Ampunilah aku". Dzikir ini sudah mencakup doa dalam lafaz "ighirli" (Ampunilah aku), dan pujian dalam "ghafur" (Yang Maha Pengampun). Doa qunut pendek ini bisa dibaca ketika bermakmum dengan imam yang tidak membaca qunut.
6,7. Shalawat kepada Nabi ﷺ, kerabat, dan sahabatnya setelah membaca doa qunut

Sumber: Kâsyifatu al-Sajâ

Monday, January 25, 2021

Bermakmum dengan Imam yang Berbeda Mazhab Fikih

 Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali dihadapkan dengan keadaan di mana ketika kita salat, kita bermakmum dengan imam yang berbeda mazhab dengan kita. Apa maksudnya?

Contoh yang paling nampak adalah ketika salat jamaah di salat-salat jahriyyah (yang suaranya dikeraskan: subuh, maghrib, isya). Ketika imam membaca Al-Fatihah, ada imam yang membaca “bismillahirrahmanirrahim” dengan keras, ada yang membacanya dengan pelan, ada yang tidak membacanya sama sekali. Hal ini saja sudah memperlihatkan mazhab yang ia anut. Bagi penganut Mazhab Syafi’i sebagai mayoritas di Indonesia misalnya, berpandangan bahwa lafaz “bismillahirrahmanirrahim” termasuk dalam surah Al-Fatihah, sehingga ketika ia tidak dibaca, maka Al-Fatihah-nya tidak sempurna, dan salatnya tidak sah. Berbeda dengan Mazhab Maliki yang berpandangan sebaliknya, maka penganut Mazhab Maliki langsung membaca “alhamdulillahi rabbil ‘alamin” ketika membaca Al-Fatihah. Itu hanya satu contoh di antara beberapa ranah perbedaan pendapat lainnya dalam perkara salat. Lalu bagaimana syariat memandangnya?

Syaikh Wahbah az-Zuhaili menjelaskan bahwa dalam Mazhab Hanafi, dan Syafi'i, disyaratkan bahwa salat imam harus sah dalam pandangan mazhabnya makmum. Contoh: seorang penganut Mazhab Syafi'i salat di belakang imam penganut Mazhab Hanafi. Ia melihat imam itu sebelum salat berjabat tangan dengan perempuan. Dalam Mazhab Hanafi, hal ini tidak membatalkan wudhu, sedangkan dalam Mazhab Syafi'i, hal ini membatalkan wudhu. Maka salat makmum penganut Mazhab Syafi'i tadi tidak sah karena salat imam tidak sah dalam sudut pandang makmum. Maka, menurut kedua mazhab ini, sah/tidaknya makmum berpegangan pada sudut pandang mazhab makmum (al-'ibrah bi madzhab al-ma'mûm).

Menurut Mazhab Maliki, dan Hanbali, jika dalam perkara sahnya salat, maka sah/tidaknya makmum berpegangan pada sudut pandang mazhab imam (al-'ibrah bi madzhab al-imâm). Sehingga, jika seorang penganut Mazhab Maliki salat di belakang imam yang bermazhab Syafi'i, dan sang imam tidak membasuh seluruh bagian kepalanya saat wudhu (yang mana, hal ini adalah syarat di Mazhab Maliki), maka salatnya tetap sah. Karena, dalam Mazhab Syafi'i, yang wajib hanyalah membasuh sebagian kepala, dan sah/tidaknya salat makmum berpegang pada sudut pandang mazhab imam.

Syaikh Wahbah az-Zuhaili menyimpulkan, bahwa pendapat Mazhab Maliki, dan Hanbali yang ia pilih karena ia lebih bisa diterima secara logika, karena para sahabat, dan tabi'in mempraktekkannya sejak dahulu, dan hal ini juga bisa menghilangkan kefanatikan mazhab.

Sumber: al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh jilid 2



Maryam bin 'Imran

وَاِذْ قَالَتِ الْمَلٰۤىِٕكَةُ يٰمَرْيَمُ اِنَّ اللّٰهَ اصْطَفٰىكِ وَطَهَّرَكِ وَاصْطَفٰىكِ عَلٰى نِسَاۤءِ الْعٰلَمِيْنَ

Dan (ingatlah) ketika para malaikat berkata, “Wahai Maryam! Sesungguhnya Allah telah memilihmu, menyucikanmu, dan melebihkanmu di atas segala perempuan di seluruh alam (pada masa itu). QS 3:42

Membicarakan tentang Maryam berarti membicarakan perempuan luar biasa yang tidak pernah Allah ciptakan yang semisalnya. Ia adalah satu-satunya perempuan yang namanya secara sempurna menjadi nama surat di dalam Al-Qur'an.

Diceritakan, di Palestina saat itu terdapat seorang ulama dari kalangan Bani Israil bernama 'Imran. Ia memiliki istri bernama Hannah. Suatu hari Hannah melihat burung yang memberi anaknya makan di sebuah dahan pohon. Timbul rasa ke-ibu-annya saat itu, dan ia berdoa kepada Allah untuk bisa memiliki anak. Ia bernadzar jika ia dikarunia anak, maka anaknya kelak akan dijadikan pelayan Baitul Maqdis.

Allah karuniakan ia seorang anak perempuan, dan mereka beri nama Maryam yang memiliki artinya "hamba yang beribadah". Pasangan itu kebingungan, karena yang diizinkan untuk menjadi pelayan Baitul Maqdis adalah laki-laki saja. Namun, mereka membawa Maryam ke Baitul Maqdis agar ulama Bani Israil bisa merawatnya, dan mengajarnya, dan kelak, pengajarannya kepada Maryam akan dicatat oleh sejarah, dan Al-Qur'an.

Ulama Bani Israil berebut ingin merawat Maryam, karena mereka ingin mendapat keberkahan merawat anak dari 'Imran. Diadakanlah undian untuk memilih siapa yang berhak merawat Maryam. Undian dilakukan dengan cara melemparkan pena mereka ke Sungai Jordan. Barang siapa yang penanya mengalir melawan arus sungai, maka dialah yang berhak merawat Maryam. Saat itu, semua pena hanyut terbawa arus, hanya pena milik Nabi Zakaria -'alaihissalam-. Maka, Nabi Zakaria-lah yang berhak merawat Maryam saat itu. Bentuk perawatan, dan pendidikan dari Nabi Zakaria membentuk Maryam menjadi perempuan yang mulia layaknya mawar di tengah taman yang suci. Dari rahim Maryam-lah Allah lahirkan Nabi Isa -'alaihissalam-, dan kisahnya Allah abadikan di banyak bagian di Al-Qur'an.

Sumber: Miah 'Uzhamâ Ummat al-Islâm Ghayyarû Majrâ al-Târîkh

Sifat Salat: Syarat Sah Salat

 Syarat sah salat ada lima: mengetahui masuknya waktu, menghadap kiblat, menutup aurat, suci badan pakian, dan tempat dari najis, suci dari hadas.

1. Mengetahui masuknya waktu

Wajib untuk tahu, baik secara yakin, atau dugaan, akan waktu salatnya. Jika ia tidak tahu, dan langsung salat tanpa memikirkannya, maka salatnya tidak sah. Berbeda dengan orang yang berusaha untuk mencari taâu apakah waktunya sudah masuk atau belum. Jika, ia sudah berusaha, kemudian setelah ia salat, ternyata ia salat sebelum waktunya masuk, maka salatnya tersebut menjadi salat peng-qadha salat yang ia luputkan, jika ia tidak pernah meluputkan salat, maka itu terhitung sebagai salat sunnah mutlak. Contoh kasus: Jika ada orang yang salat subuh selama sebulan, kemudian ia baru tahu bahwa selama itu ia salat sebelum waktu subuh masuk, maka ia tidak harus mengganti (meng-qadha) seluruh salat subuhnya, namun hanya subuh di hari akhir. Mengapa? Karena misalnya, subuh di hari ke-2 yang terlalu awal, menjadi peng-qadha salat subuh di hari ke-1, subuh di hari ke-3 menjadi peng-qadha subuh di hari ke-2, dan seterusnya. Sehingga hanya subuh hari terakhir yang harus di-qadha. Tidak mengapa juga untuk salat dengan niat adâ' (salat di waktunya) walau ternyata hakikatnya ia salat qadha (karena ternyata waktunya sudah lewat), dan begitu juga sebaliknya, jika ia memang tidak tahu dengan keadaan sebenarnya.

2. Menghadap kiblat

Jika kakbah berada di dekat kita, maka wajib menghadapnya secara yakin, namun jika ia jauh, cukup dengan dugaan. Bagian yang dimaksud menghadap ke kiblat adalah bagian dada bagi orang yang berdiri, dan wajahnya bagi orang yang berbaring, maka wajib mengangkat sedikit mukanya ke arah kiblat jika mampu. Seseorang boleh tidak menghadap kiblat pada dua kondisi: 1) Kondisi ketakutan akan banyaknya musuh, atau peperangan. Maka ia bisa salat dengan semampunya, 2) Salat yang sifatnya sunnah di perjalanan. Seperti, misalnya di mobil. Maka, ia bisa salat sunnah di sana walau tidak menghadap kiblat. Namun, jika ia mungkin untuk menghadap kiblat, maka ia harus menghadap kiblat.

3. Menutup aurat

Penjelasan tentang batas aurat ada di: https://muammarfarras.blogspot.com/2020/12/batas-aurat-dalam-tinjauan-empat-madzhab.html

Kain yang dipakai untuk menutup aurat harus suci, dan tidak menampakkan warna kulit (tidak transparan). Aurat wajib ditutup dari sudut pandang arah atas, dan samping. Misalnya, ketika seseorang menggunakan baju yang krahnya lebar sehingga ketika ia rukuk/sujud, bagian pusar (yang mana ini adalah aurat) bisa keliatan dari sela-selanya, maka ini termasuk membatalkan salat. Begitu juga jika bagian bawah bajunya terlalu pendek sehingga ketika rukuk ia terbuka, jika ia tidak segera memperbaikinya. Namun, aurat tidak wajib ditutup dari sudut pandang arah bawah, sehingga jika ada orang yang salat di tempat atas, kemudian ada orang yang melihat auratnya dari bawah, maka itu tidak mengapa.

4. Suci dari hadas

Yakni, dari hadas kecil, dan besar. Jika seseorang salat, namun lupa menghilangkan hadas (dengan wudhu untuk hadas kecil, dan mandi junub untuk hadas besar), maka salatnya tidak sah.

5. Suci badan, pakaian, dan tempat dari najis

Yakni, najis yang tidak termaafkan. Pakaian meliputi sesuatu yang dikenakan dan ikut bergerak dengan gerakan kita, badan meliputi mulut, hidung, dan mata, dan tempat yang dimaksud adalah tempat yang bersentuhan dengan pakaian, dan badan kita.

Jika ada keraguan, apakah bagian-bagian tersebut najis, atau suci, maka hendaknya ber-ijtihad (berusaha menarik kesimpulan apakah dia suci/najis). Jika telah ber-ijtihad di salat pertama (misal: maghrib), maka salat kedua (misal: isya) tidak perlu ijtihad lagi, bersandar kepada ijtihad pertama. Lalu, jika ada ijtihad kedua (misalnya, ia berubah pikiran ketika ingin salat isya, bahwa ternyata kesimpulannya ada najis di pakaiannya), maka salat keduanya bersandar pada ijtihad kedua, dan salat pertama (maghrib) tidak perlu diulang. Keadaan setelah ijtihad berbeda dengan lupa. Jika seseorang lupa bahwa badan, pakaian, dan tempatnya ada najis, lalu salat, maka ketika ia ingat, wajib diulang, karena salatnya tidak sah.

Jika najis berada di tempat yang sejajar dengan dada kita saat rukuk, dan sujud (bagian tengah sajadah kita), maka tidak mengapa, sekalipun terkena, maka itu termaafkan.

ٍSumber:

Kanzu al-Râghibîn

Kâsyifatu al-Sajâ

 


Saturday, January 23, 2021

Asiyah binti Muzahim

"و لم يكمل من النساء إلا مريم بنت عمران و آسية امرأة فرعون"

Tidak ada perempuan yang sempurna, kecuali Maryam binti ‘Imran, dan Asiyah istri Fir’aun

Nama Asiyah mungkin tidak kita dengar sesering mendengar nama ketiga perempuan terbaik lainnya yang disebut oleh Rasulullah : Maryam binti ‘Imran, Fathimah binti Muhammad, dan Khadijah binti Khuwailid -radhiya Allahu ‘anhunna-. Asiyah merupakan perwujudan dari seorang perempuan yang kuat luar biasa. Karena kekuatannya, Rasulullah sampai mengelompokkannya ke dalam perempuan terbaik di dunia ini.

Setiap manusia diuji dengan ujian yang berbeda-beda. Asiyah adalah contoh perempuan yang diuji oleh suaminya. Ia memiliki suami yang merupakan musuh Allah terbesar di muka bumi ini, Fir’aun.

Jihad Turbani dalam kitabnya, Miah min ‘Uzhamâ Ummat al-Islâm Ghayyarû Majrâ al-Târîkh, mengatakan bahwa terdapat dua pelajaran penting dalam kisah Asiyah:

1. Pelajaran bagi laki-laki yang meremehkan perempuan. Bahwasanya terdapat perempuan yang mampu menundukkan penguasa terkuat, dan terzalim di muka bumi ini (Fir’aun). Sehingga, kekuatan tidaklah tersembunyi di balik jenis kelamin, namun ia berada di balik imannya seseorang.

2. Kisah Asiyah seakan memberi kabar gembira kepada istri mana pun dari generasi setelahnya, bahwa ujian bisa Allah datangkan dari mana pun, termasuk dari suami, dan jika ia mampu bersabar, maka Allah angkat derajatnya setinggi-tingginya layaknya Asiyah. Jangan bersedih, dan putus asa terhadap keadaan jika kita menemukan keadaan layaknya Asiyah. Selain itu, Asiyah adalah istri dari seorang raja yang kekuasaannya tak tertandingi, dengan harta berlimpah. Namun, ia memilih jalan yang sulit, karena bagi Asiyah, kebahagiaan sejati bukanlah ada pada harta, dan perhiasan, namun pada iman.

Kisah tentangnya dimulai ketika Asiyah menemukan peti yang dihanyutkan ibu Musa –‘alaihissalam- di sungai Nil. Kisah ini bisa dibaca di QS Al-Qasas:7-13. Setelah ia didik Nabi Musa di istana Fir’aun, Asiyah pun ikut beriman dengan dakwah dari Nabi Musa. Kondisi ini membuat Fir’aun kaget, dan berang bukan main. Maka, Fir’aun memberikan pilihan kepada Asiyah untuk dihukum, atau kembali kufur, keluar dari Islam. Asiyah memilih untuk dihukum, dan mempertahankan keimanannya.

Siksaan yang diterima oleh Asiyah bukan main mengerikannya. Fir’aun memerintahkan algojonya untuk melemparkan Asiyah ke tanah, lalu mengikatnya ke empat pasak. Ia meletakkan penggiling di atas dadanya, kemudian Asiyah juga dilemparkan batu yang menghancurkan tulang-tulangnya. Di situasi yang manusia normal tidak bisa membayangkannya tersebut, ia melantunkan doa paling menakjubkan dalam sejarah, hingga Allah abadikan dalam Al-Qur’an QS At-Tahrim:11

قالت رب ابن لي عندك بيتا في الجنة و نجني من فرعون و عمله و نجني من القوم الظالمين

Ia berkata, “Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga, dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim”

Asiyah memilih kata عندك (di sisi-Mu) dahulu sebelum kata بيتا (rumah), pikirannya tertuju untuk berada di sisi Allah dahulu. Akhirnya, wafatlah Asiyah binti Muzahim, dan ia menjadi salah satu pemimpin perempuan di surga sebagaimana yang Rasulullah kabarkan.

Sumber: Miah min ‘Uzhamâ Ummat al-Islâm Ghayyarû Majrâ al-Târîkh

 

Sifat Salat: Rukun Salat (2 - Selesai)

 5. Rukuk

Kadar minimalnya: merunduk hingga telapak tangan bisa mencapai lutut. Sempurnanya: punggung dan leher lurus, tangan di lutut, dan jari ke arah kiblat. 

Dilakukan dengan tuma'ninah, dan merunduk dengan niat hanya untuk rukuk (tidak sah jika merunduk karena ingin mengambil sesuatu, atau selain ingin rukuk). Kemudian, membaca doa ("subhâna rabbiya al-adzhîm") tiga kali.

6. I'tidal

Yakni berdiri lurus dengan tuma'ninah, dan tidak bermaksud selain untuk i'tidal. Disunnahkan mengangkat tangan seperti takbiratul ihram sambil mengucap "sami'a Allahu liman hamidah," dan membaca doa "rabbanâ laka alhamdu mil'u al-samâwâti wa mil'u al-ardhi wa mil'u mâ syi'ta min syai'in ba'du".

Disunnahkan membaca doa qunut pada rakaat kedua di salat subuh. Saat membaca doa qunut, tangan diangkat seperti berdoa, dan ketika selesai, tidak perlu mengusap wajah (mengusap wajah seperti setelah doa pada umumnya). Disunnahkan juga untuk membaca shalawat saat qunut. I'tidal tidak boleh dilakukan lebih lama daripada berdiri saat membaca Al-Fatihah.

7. Sujud

Kadar minimal sujud: meletakkan sebagian kening ke tempat salat dan tidak terhalangi sesuatu. Jika ada perban yang menutupi kening karena luka dan sulit untuk menghindarinya, maka tidak mengapa. Tidak sah juga jika seseorang bersujud di atas sesuatu yang merupakan bagian dari orang tersebut (parameternya: jika orang tersebut bergerak, maka benda itu juga bergerak). Misalnya: seseorang yang bersujud di atas kain yang digunakannya. Jika ia berdiri, maka kain itu juga ikut bergerak, maka tidak sah. Jika ia bersujud di atasnya dengan sengaja, maka salatnya batal, jika ia lupa, atau tidak tahu, maka salatnya tidak batal, namun sujudnya diulang. Anggota badan yang harus mengenai tempat salat ketika bersujud: sebagian kening, kedua tangan, kedua lutut, ujung kedua kaki.

Wajib juga untuk tuma'ninah, tidak berniat kecuali hanya untuk sujud (jika terjatuh dalam posisi sujud, maka tidak terhitung sujud, dan harus diulang dari i'tidal),  posisi kepala harus berada lebih rendah daripada pantat. Jika seseorang bersujud di tempat yang mirip yang menyebabkan posisi kepalanya lebih tinggi daripada pantat, maka tidak sah. Titik berat saat sujud ada di kening, sehingga tidak boleh hanya menempelkan saja.

8. Duduk di antar dua sujud

Duduk tidak dilakukan kecuali hanya dengan niat duduk di antara dua sujud. Selain itu, duduk di antara dua sujud tidak boleh lebih lama daripada tasyahhud akhir. Tangan diletakkan di paha dekat dengan lutut, dan jari-jari membuka ke arah kiblat. Duduk dengan posisi iftirasy. Disunnahkan pada saat setelah sujud kedua (ingin bangkit berdiri lagi) untuk duduk istirahat sejenak. 

9, 10, 11. Duduk, tasyahhud akhir, dan shalawat

Duduk dengan posisi tawarruk. Namun, di tasyahhud awal, duduk dengan posisi iftirasy. Bagaimana jika ada orang yang masbuk, lalu imam berada di rakaat terakhir, sedangkan kita masih harus bangun menyempurnakan rakaat yang kurang? Terdapat khilaf di Mazhab Syafi'i, namun pendapat terkuat, duduk iftirasy.

Jari telunjuk diangkat saat doa tasyahhud sampai di kalimat, "Lâ ilâha illa Allâh," dan tidak digerak-gerakkan dalam Mazhab Syafi'i.

Shalawat di tasyahhud awal: sunnah, tidak disunnahkan untuk shalawat kepada kerabat Rasulullah. Sehingga bisa selesai sampai "Allahumma shalli 'alâ sayyidinâ muhammad".

Shalawat di tasyahhud akhir: wajib, disunnahkan untuk shalawat kepada kerabat Rasulullah (menambahkan "wa 'alâ âli sayyidina muhammad").

12. Salam

Salam pertama (ke kanan) merupakan kewajiban. Adapun yang kedua adalah sunnah. Minimal bacaan salam: "Assalâmu 'alaikum," dan sempurnanya "Assalâmu 'alaikum wa rahmatullâh". Hakikatnya ketika bersalam, kita sedang memberi salam kepada malaikat, manusia, dan jin di sebelah kanan, dan kiri.

13. Tertib

Mengerjakannya berurutan. Jika seseorang mengerjakan rukun fi'li (yang berupa pekerjaan) tanpa berurutan dengan sengaja, maka salatnya batal. Berbeda dengan rukun qauli (yang berupa ucapan), misalnya membaca shalawat dahulu sebelum tasyahhud. Maka, ia tidak membatalkan, tapi harus mengulang dari tasyahhud. 

Bagaimana jika lupa mengerjakan salah satu rukun ketika salat? Jika ia lupa, dan ingat sebelum mengerjakan rukun yang sama, maka ia kembali ke rukun tersebut. Misalnya: ia lupa membaca Al-Fatihah, dan sudah berada di posisi rukuk (di rakaat yang sama), maka ia kembali berdiri untuk membaca Al-Fatihah. Namun, jika ia baru ingat saat mengerjakan rukun tersebut di rakaat setelahnya, maka ia selesaikan rakaat tersebut, dan menambah satu rakaat lagi di akhir. Misalnya: ia lupa membaca Al-Fatihah di rakaat dua, dan baru ingat saat masuk rakaat tiga, maka ia teruskan, dan menambah satu rakaat lagi untuk menambal rukun yang ditinggalkannya. Kemudian, disunnahkan sujud sahwi setelahnya.

Sumber: Kanzu al-Râghibîn






Friday, January 22, 2021

Sifat Salat: Rukun Salat (1)

 Rukun secara definisi adalah bagian dari suatu ibadah yang mana ibadah tersebut tidak ada jika tanpanya. Maka, rukun salat adalah bagian dari salat yang harus ditunaikan, dan jika ia tidak tertunai, maka tidaklah sah salat tersebut. 

Dalam Mazhab Syafi'i, rukun salat ada tiga belas: niat, takbiratul ihram, berdiri bagi yang mampu, membaca Al-Fatihah, rukuk, i'tidal, sujud, duduk di antara dua sujud, duduk tasyahhud akhir, tasyahhud akhir, membaca shalawat, salam, tertib.

Catatan: pada rukun qauli (yakni, rukun yang berupa bacaan: takbiratul ihram, Al-Fatihah, doa tasyahhud akhir, shalawat, dan salam pertama) bacaan harus dilafalkan dengan suara dengan batasan hingga diri sendiri bisa mendengar. Sehingga, tidak sah jika hanya dilafalkan dalam hati.

1. Niat

Jika seseorang salat fardhu, maka hal yang wajib disertakan dalam niat: mengerjakan salat, menyebutkan kefardhuannya, dan menetapkan salat apa. Misal: "Aku niat salat fardhu dzuhur," atau "usholli fardho al-dzuhr"

Pada salat sunnah yang waktunya tertentu, seperti salat ied, dhuha, tahajjud, maka niatnya berisi: mengerjakan salat, dan menetapkan salatnya apa. Misal: "Aku niat salat dhuha," atau "usholli dhuha"

Jika salatnya adalah salat sunnah mutlak (salat sunnah di waktu apapun), maka niatnya hanya niat salat, seperti, "Aku niat salat," atau "usholli".

Tempat niat ada di hati, adapun melafalkannya sebelum takbiratul ihram adalah sunnah untuk membantu hati. Hati mengucapkan niat bersamaan dengan takbiratul ihram. Maka, orang yang berniat sebelum takbiratul ihram, tidak sah salatnya.

2. Takbiratul ihram

Yakni, mengucap "Allahu Akbar" sebagai pembuka salat. Disunnahkan sembari mengangkat tangannya. Ujung jari sejajar dengan bagian teratas telinga, dan jempol sejajar dengan cuping telinga.

3. Berdiri bagi yang mampu

Berdiri di sini berarti tulang punggung ada di posisi lurus, sehingga jika seseorang salat dengan condong ke depan/belakang/kanan/kiri, maka itu tidak terhitung berdiri. Jika ia tidak mampu untuk berdiri lurus, misalnya karena sudah tua dan bungkuk, maka tidak mengapa berdiri demikian, tetapi ketika rukuk, posisinya lebih direndahkan agar membedakan. Jika sama sekali tidak mampu berdiri, maka ia bisa duduk. Posisi duduk yang afdhol adalah iftirasy (seperti tasyahud awal). Jika tidak mampu juga, maka bisa berbaring. Disunnahkan setelah bertakbir untuk membaca iftitah, dan ber-ta'awwudz (mengucap a'udzubillahi minassyaithani arrajim).

4. Membaca Al-Fatihah

Al-Fatihah wajib dibaca pada setiap rakaat, kecuali dalam keadaan masbuk. Lafadz "bismillah" merupakan bagian dari Al-Fatihah juga, sehingga wajib dibaca. Wajib juga memperhatikan huruf-hurufnya agar tidak salah pelafalan (termasuk tasydid di dalamnya. Misal: huruf "ba" pada رب العالمين harus dibaca dengan tasydid-nya karena ia termasuk huruf. Aslinya, ada dua huruf "ba" di sana). Jika ada orang yang baru masuk Islam, dan belum belajar Al-Fatihah, maka boleh baginya untuk membaca dzikir lainnya, seperti tasbih, atau tahlil sebanyak tujuh macam dzikir. Kalau belum mampu juga, ia boleh hanya diam dengan durasi kira-kira selama waktu membaca Al-Fatihah. 

Disunnahkan membaca "amin" setelah Al-Fatihah, membaca surat pendek kecuali di rakaat ketiga, dan keempat. Jika salat berjamaah, saat imam membaca surat pendek di salat jahr (yang dikeraskan suaranya: subuh, maghrib, isya), makmum diam. Namun, jika di salat sirr (dzuhur, ashar), atau di kondisi ketika suara imam tidak terdengar, makmum juga membaca surat pendek.

Sumber: Kanzu ar-Râghibîn


Wednesday, January 20, 2021

Tingkat, dan Hakikat Syukur Menurut Imam al-Ghazali

Dalam kitabnya, Ihyâ 'Ulûm al-Dîn, Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa syukur itu terbangun atas tiga hal: ilmu (العلم), keadaan (الحال), dan amal (العمل). Ilmu merupakan asal dari syukur, kemudian ia melahirkan keadaan, dan keadaan melahirkan amal. Ilmu yang dimaksud adalah pengetahuan bahwasanya nikmat itu berasal dari Zat yang memberi nikmat (المنعم). Keadaan yang dimaksud adalah rasa senang yang dihasilkan dari proses pemberian nikmat tersebut, dan amal yang dimaksud adalah perbuatan memanfaatkan nikmat tersebut sesuai dengan maksud Zat yang memberi nikmat. Akan dijelaskan satu per satu asas dari syukur ini.

Ilmu

Yakni, ilmu atas tiga hal: mengetahui akan nikmat itu sendiri, bahwa pemberian nikmat merupakan hak Allah, dan mengetahui tentang Zat yang memberi nikmat.
Hal pertama yang harus kita pahami adalah bahwasanya segala hal yang ada di alam ini -termasuk segala nikmat yang kita rasakan- berasal dari Allah, dan Ia berkuasa atasnya. Ekspresi kesyukuran kita yang biasanya terungkapkan dengan ucapan "Alhamdulillah" tidak cukup sebatas bergeraknya lisan kita, namun wajib dengan pengetahuan, dan keyakinan dalam hati, bahwa segala puji bagi Allah yang telah memberikan segala nikmat atas kita, dan hal ini masuk ke dalam bab keimanan.

Pengetahuan atas hal ini seyogyanya tercetak dalam perbuatan kita sehari-hari. Ketika kita mendapat kemudahan apapun dari manusia, ketahuilah bahwa itu berasal dari Allah. Seseorang yang meyakini bahwa Allah pemberi segala nikmat tidak akan menyandarkan nikmat yang ia peroleh seakan-akan ia berasal dari manusia. Manusia hanya digerakkan oleh Allah untuk membantu kita.

Nabi Musa -'alaihi al-salam- berkata kepada Allah, "Ya Allah, engkau telah menciptakan Adam, dan engkau menggerakkan aku untuk melakukan sesuatu, maka bagaimana cara aku bersyukur kepadamu?" Allah menjawab, "Ketahuilah bahwa segalanya dari-Ku, dan pengetahuan akan hal itu merupakan bagian dari syukur."

Keadaan
Keadaan yang dimaksud adalah rasa bahagia atas Zat pemberi nikmat bersamaan dengan kekhusyukan, dan ketawadhuan. Adapun, syarat rasa bahagia yang terhitung sebagai bentuk syukur adalah ketika rasa bahagia itu muncul terhadap Zat pemberi nikmat, yakni Allah, bukan terhadap nikmatnya, atau atas proses pemberian nikmatnya. Imam al-Ghazali memberi contoh agar kita mudah memahami hal ini:

Ada seorang raja yang mengutus seseorang untuk pergi menjalankan tugas, kemudian raja memberinya kuda untuk membantunya berpergian. Maka, orang itu bisa bahagia dengan tiga macam bentuk:
Bentuk pertama: ia berbahagia karena zat kuda itu sendiri. Hanya karena kuda itu. Bahwa dengan kuda itu, ia bisa berpergian, bahwa ia merupakan harta benda yang bisa dinikmati. Seandainya suatu saat ia menemukan kuda itu di padang pasir, maka ia akan mengambilnya, dan bahagia karena kudanya.
Bentuk kedua: ia berbahagia bukan karena zat kudanya, namun kebahagiannya bersandar kepada pertolongan raja, bahwa raja tadi perhatian kepadanya. Jika ia menemukan kuda itu padang pasir, atau kuda itu diberikan oleh selain raja, maka ia tidak merasa bahagia, karena sebenarnya ia tidak butuh akan kuda tersebut, namun yang ia butuhkan adalah tempat di hati raja agar raja tersebut bisa memberinya kebahagian yang lainnya.
Bentuk ketiga: bahwa ia bahagia karena bisa menungganginya dalam rangka melayani rajanya, dan ia rela menanggung kesulitan perjalanan agar bisa dekat dengan raja. Hal yang terpenting baginya adalah dekat, dan diperhatikan oleh raja tersebut. Bahkan, jika ia memiliki kesempatan untuk menjadi seorang perdana menteri, dan disuruh memilih, antara jabatan perdana menteri, atau dekat dengan raja, maka ia pasti akan memilih dekat dengan raja.

Bentuk pertama tidak masuk ke dalam bentuk syukur. Ia seperti manusia yang bahagia akan sebuah nikmat, hanya karena zat nikmat itu sendiri. Ia bahagia dengan nikmat rumah, karena rumah itu sendiri. Hal ini jauh dari makna syukur.
Bentuk kedua masuk ke dalam bentuk syukur. Ia tidak menyandarkan kebahagiannya pada nikmat itu sendiri, namun ia telah menyandarkan kebahagiannya pada Zat pemberi nikmat, akan tetapi, bukan dari sisi Zatnya itu sendiri, namun dari sisi mengetahui bahwa pertolongan berasal dari-Nya, dan ia berharap diberikan nikmat lagi di masa depan. Ini adalah level orang-orang salih yang beribadah kepada Allah, bersyukur dalam rangka takut akan hukuman-Nya, dan berharap pahala-Nya.
Bentuk ketiga merupakan level tertinggi. Bahwa, ia bahagia atas nikmat tersebut, karena dengan nikmat tersebut ia bisa dekat dengan Allah, dan bisa melihat Allah selamanya. Ia bersedih jika diberi nikmat yang bisa melalaikannya dari mengingat Allah, dan ia tidak berbahagia dengan dunia kecuali bahwa dunia tersebut merupakan ladang bagi akhirat.

Imam asy-Syibli berkata, "Syukur itu ketika kita melihat kepada Zat yang memberi nikmat, bukan ketika melihat nikmat itu sendiri."

Amal
Amal berkaitan dengan tiga hal: hati, lisan, anggota tubuh. Adapun hati, hati yang bersyukur senantiasa meniatkan sesuatu yang baik. Lisan senantiasa mengucap sesuatu yang baik, dan ber-tahmid atas Allah (mengucap Alhamdulillah). Adapun anggota tubuh lainnya, berarti menggunakannya untuk ketaatan, dan tidak menggunakannya untuk perbuatan-perbuatan maksiat. Contoh syukur dengan mata: ketika kita menutupi aib orang lain yang kita lihat. Syukur dengan lisan yakni senantiasa memujinya, dan sebagainya. 
Bagaimana dengan orang yang mengeluh? Imam al-Ghazali menjelaskan, jika seseorang ditanya mengenai keadaanya, ada tiga bentuk orang: ia bersyukur, ia mengeluh, atau ia diam. Adapun syukur adalah ketaatan, dan mengeluh adalah bentuk kemaksiatan. Tingkat terendah yang seyogyanya dilakukan seorang hamba jika ia tidak bisa bersabar adalah mengarahkan keluhannya kepada Allah, karena Ia adalah zat yang bisa mengangkat segala ujian. Namun, bercerita kepada manusia tidaklah menjadi masalah, karena ia bagian dari kebutuhan yang manusiawi, walau tempat bercerita yang pertama, dan utama adalah Allah. Keluhan-keluhan yang menyalahkan Allah adalah bentuk yang dinilai sebagai maksiat.

 

Tuesday, January 19, 2021

Kaidah Fikih: Yakin Tidak Dihilangkan dengan Keraguan (3 -Ringkasan-)

 Imam Abu Abbas Ahmad bin al-Qash berkata untuk meringkas, "hukum 'yakin tidak hilang dengan keraguan' berlaku, kecuali pada sebelas masalah."

Yakni:

1. Ragu apakah jangka waktu kebolehan mengusap sepatu (الخف) saat wudhu telah selesai atau belum (maka, ia dihukumi sudah selesai)

Catatan: dalam fikih, boleh berwudhu dengan mengusap sepatu sebagai pengganti membasuh kaki, dengan syarat: 1) sebelum menggunakan sepatu, statusnya telah suci dahulu, 2) untuk orang yang berada di rumah, jangka waktu kebolehannya sehari semalam, dan untuk musafir, tiga hari tiga malam, 3) sepatu menutup mata kaki, 4) dapat dipakai untuk berjalan

2. Ragu apakah status mengusap sepatu dilakukan saat di rumah, atau safar (maka, ia dihukumi di rumah)

3. Musafir yang ragu apakah ia telah sampai di kotanya, atau belum (maka, ia dihukumi telah sampai, sehingga tidak ada keringanan layaknya seorang musafir).

4. Musafir yang ragu apakah ia berniat untuk tinggal di tujuannya atau tidak (maka, ia dihukumi mukim, dan tidak ada keringanan layaknya seorang musafir).

5. Jika seorang musafir bertakbir, dan salat di belakang imam yang ia tidak tahu apakah ia seorang musafir juga, atau bukan, maka musafir tersebut tidak boleh berniat qashar.

6. Jika ada hewan yang buang air di penampungan air, dan air itu berubah (warna/bau/rasanya), namun kita tidak tahu apakah perubahan itu terjadi karena kotoran hewan itu, atau selainnya, maka dihukumi bahwa air itu najis.

7. Perempuan yang keluar darah istihadhah yang ragu, maka ia wajib mandi setiap sebelum salat jika ia ragu apakah darahnya telah berhenti.

8. Seseorang yang bertayammum, kemudian dia melihat air dari kejauhan, namun ia ragu apakah itu air, atau fatamorgana. Maka, tayammumnya batal, walaupun itu ternyata fatamorgana.

9. Jika seseorang memanah dalam rangka berburu, kemudian ia melukai targetnya, dan kabur. Setelah itu ia menemukannya telah mati, namun ia ragu apakah hewan itu mati karena panahnya, atau karena lemparan batu (tidak boleh berburu dengan melempar batu), maka hewan itu dilarang dimakan. Begitu juga kaidahnya dipakai untuk yang berburu dengan anjing.

10. Barang siapa yang terkena najis, entah di badan, atau pakaiannya, namun ia tidak tahu posisi najisnya, maka wajib untuk membersihkan semuanya.

11. Orang yang mengeluarkan darah istihadhah, atau penyakit yang menyebabkannya selalu kencing, dan tidak bisa menahannya, jika ia berwudhu, kemudian ia ragu apakah wudhunya (yang barusan) telah batal atau belum, kemudian ia salat. Maka salatnya tidak sah (Harusnya, untuk orang yang terkena penyakit seperti itu, memastikan dirinya suci sampai masuk salat, kemudian ketika ia salat, kencingnya keluar, maka dimaafkan).

Kemudian, Imam an-Nawawi menambahkan lagi beberapa masalah:

1. Jika seseorang ragu apakah waktu Jumat telah selesai atau belum, maka mereka tidak salat Jumat.

2. Jika seseorang ragu dalam wudhunya apakah ia telah membasuh kepalanya atau belum, maka pendapat terkuat: wudhunya sah.

3. Jika seseorang telah salam, lalu ia ragu apakah ia tadi salat tiga rakaat, atau empat rakaat, maka salatnya sah.

Tajuddin as-Subki menambahkan lagi beberapa masalah:

1. Asalnya, mulut kucing najis, namun kenajisannya ditinggalkan berpegang pada lidahnya yang sering bersentuhan dengan air.

2. Jika seseorang melihat bekas air mani di pakaian, atau tempat tidurnya, namun ia lupa apakah ia bermimpi basah atau tidak, maka ia wajib mandi.

3. Jika seseorang berpuasa kafarah, kemudian ia lupa apakah ia telah berniat atau tidak, maka puasanya sah.

4. Jika seseorang melewatkan salat, lalu ia ragu apakah ia sudah menggantinya (qadha) atau belum, maka ia tidak wajib qadha. Syaikh 'Izz bin Abdissalam berkata demikian.

Syaikh Abu Hamid al-Ishfaraini menambahkan, keraguan itu bersumber dari tiga hal: ragu sumber dari haram, mubah, dan tidak tahu mana asalnya.

Contoh yang bersumber dari haram: jika seseorang menemukan domba yang tersembelih di negara yang penduduknya bercampur antara Muslim, dan Majusi, maka daging itu tidak halal, sampai ia yakin daging itu disembelih oleh Muslim, karena asalnya adalah haram. Namun, jika ia berada di negara yang mayoritas Muslim, maka ia boleh memakannya, karena "mayoritas" keadaannya adalah halal.

Contoh yang bersumber dari mubah: jika seseorang menemukan air yang zatnya ada perubahan, namun ia tidak tahu apakah air itu berubah karena najis, atau karena ia telah mengendap lama, maka ia boleh bersuci dengannya, karena asal bersuci adalah boleh.

Contoh yang bersumber dari ketidaktahuan: jika seseorang bertransaksi dengan orang lain yang hartanya bercampur antara halal, dan haram, dan mayoritasnya adalah haram, maka boleh bertransaksi dengannya. Karena ada poin yang halal. Namun di-makruh-kan dalam hal ini.

Catatan:

Imam an-Nawawi menjelaskan, bahwa di kalangan ahli fikih, dugaan (الظن), dan ragu (الشك) bermakna satu, apakah ada satu pilihan yang lebih kuat, atau keduanya ada di tingkat kebimbangan yang sama. Sedangkan, ahli ushul menjelaskan, dugaan, dan ragu beda. Dugaan bermakna jika seseorang bimbang terhadap dua hal, namun yang satu lebih kuat daripada yang lain, sedangkan ragu, keduanya tidak ada yang lebih kuat.

Sumber: îdhâh al-qawaid al-fiqhiyyah

Kaidah Fikih: Yakin Tidak Dihilangkan dengan Keraguan (2)

 Pertentangan antara dzahir dan kaidah asal (الأصل)

Dzahir adalah sesuatu yang "nampak", dan merupakan kemungkinan yang berlawanan dengan kondisi asal. Bagaimana jika dzahir bertentangan dengan keadaan asal? Ibnu Salah mengatakan, jika dua kondisi asal bertentangan, atau asal bertentangan dengan dzahir, maka wajib untuk memikirkan mana yang lebih kuat (tarjih). Jika dalil (tanda) dari dzahir lebih kuat, maka wajib berhukum dengan dzahir, begitu juga sebaliknya. Terdapat empat bagian dalam hal ini:

1. Kondisi ketika wajib memilih kondisi asal (الأصل)

Seperti, ketika kita salat dan ragu apakah sedang berada di rakaat tiga, atau empat. Kaidah asalnya berkata bahwa kita sedang berada di rakaat ketiga, karena kaidah asal dari suatu pekerjaan adalah belum dikerjakan. Namun, terkadang ada kondisi dzahir, di mana kita merasa telah rukuk, atau sujud dengan banyak, atau merasa waktu salat sudah lebih lama dari biasanya. Dalam hal ini, kita memilih kondisi asal.

2. Kondisi ketika wajib memilih dzahir 

Ukurannya adalah: ada sandaran sebuah sebab yang diakui secara syar'i, atau sebab yang diketahui secara kebiasaan.

Contoh: hukum asal sebuah air yang kita temukan adalah suci (sehingga bisa dipakai bersuci), namun jika ada dzahir seperti seorang tsiqoh (bisa dipercaya) yang memberi tahu bahwa air tersebut telah tercampur najis, maka status air tersebut jadi najis. Atau, ada air yang keluar dari WC, secara "kebiasaan" kita tahu bahwa ia tempat buang hajat, dan mengandung najis, maka air itu dihukumi najis.

3. Kondisi ketika "kondisi asal" diutamakan menurut pendapat yang lebih kuat (karena ada perbedaan pendapat)

Seperti, status sesuatu yang kita tidak yakin kenajisannya, namun, biasanya, terdapat najis di dalamnya. Contoh: baju orang yang minum khamr (biasanya air juga tumpah ke bajunya), pakaian orang kafir yang biasa melakukan sesuatu yang berhubungan dengan kenajisan (minum khamr, makan babi, dan sebagainya), jalan yang biasanya terdapat kenajisan, dan sebagainya. Dalam hal ini, kondisi asal, yakni suci, dipilih.

4. Kondisi ketika dzahir diutamakan menurut pendapat yang lebih kuat (karena ada perbedaan pendapat); karena sebabnya kuat

Contoh: barang siapa yang ragu ketika selesai salam pada salat, apakah ia meninggalkan sebuah rukun selain niat, dan takbiratul ihram, maka ia dianggap mengerjakannya. Adapun, jika ia ragu apakah ia mengerjakan niat, atau takbiratul ihram, maka ia dianggap belum mengerjakan, dan salatnya harus diulang.

Monday, January 18, 2021

Kaidah Fikih: Yakin Tidak Dihilangkan dengan Keraguan (1)

 اليقين لا يزال بالشك

Keyakinan tidak hilang dengan keraguan

Makna ragu (الشك) adalah ketika kita tidak bisa menentukan antara dua kondisi, mana yang lebih kuat, dan di antara keduanya tidak ada yang nampak lebih kuat. 

Kaidah di atas bermakna bahwa suatu hukum tidak terangkat dengan keraguan. Dalilnya adalah hadis dari Nabi, "Jika salah seorang dari kalian "menemukan" sesuatu di perut kalian (ketika salat), lalu ragu apakah ada yang keluar darinya atau tidak (buang angin), maka jangan tinggalkan masjid sampai kalian mendengar bunyi, atau mencium bau." HR. Muslim dari Abu Hurairah.

Dalam Sahih Bukhari, dan Sahih Muslim juga ditemukan hadis dari Abdullah bin Zaid, bahwa ia berkata, "Seorang pemuda mengadu kepada Nabi bahwa ia merasakan sesuatu di perutnya (saat salat), lalu Nabi berkata, 'Jangan keluar sampai engkau mendengar bunyi, atau mencium bau!'"

Hadis riwayat Muslim dari Abu Sa'id al-Khudri juga berkata, bahwa Rasulullah bersabda, "Jika kalian ragu ketika salat apakah sedang berada di rakaat ketiga, atau empat, maka buanglah keraguan, dan pilihlah mana yang meyakinkan."

Dari kaidah ini, terdapat beberapa turunan kaidahnya:

1. Asalnya, sesuatu tetap pada kondisinya awal (الأصل بقاء ما كان على ما كان)

Maksudnya, asas sesuatu yang datang belakangan, dibangun atas sesuatu yang awal. Contohnya: barang siapa yang yakin pada saat berwudhu, kemudian ragu apakah ia sudah membatalkan wudhunya atau belum (ber-hadas), maka ia masih dalam keadaan suci. Atau, jika ia yakin bahwa ia sedang ber-hadas, namun ragu apakah ia sudah wudhu atau belum, maka hukumnya ia masih dalam keadaan ber-hadas.

2. Asalnya, hukum sesuatu itu terlepas dari tanggungan (الأصل براءة الذمة)

Yakni, terlepas dari tanggungan hak orang lain. Contohnya: jika seorang penyewa merusak suatu barang, lalu berselisih dengan pemilik barang terkait nilai kerusakannya, maka pendapat yang dimenangkan adalah pendapat penyewa. Karena, asalnya ia terlepas dari tanggungan apa yang lebih darinya, atau selama seseorang yang menuduh seseorang yang lain tidak dapat menghadirkan bukti, maka pendapat orang yang tertuduh dimenangkan, karena asalnya ia lepas dari tanggungan.

3. Barang siapa yang ragu apakah ia telah mengerjakan sesuatu atau belum, maka asalnya, ia belum mengerjakannya (من شك هل فعل شيئا أو لا فالأصل أنه لم يفعله)

Termasuk dalam kaidah ini, "Barang siapa yang yakin telah mengerjakan sesuatu, namun ragu pada jumlahnya, apakah yang sedikit, atau yang banyak, maka pendapat yang dipilih adalah yang sedikit, karena sedikit itu yang yakin"

Contohnya: jika seseorang ragu apakah ia meninggalkan salah satu rukun atau tidak ketika ia wudhu, atau salat (misal: ragu apakah tadi membaca Al-Fatihah atau tidak), maka wajib bagi dia untuk mengulang rukunnya, karena asalnya, ia belum mengerjakannya. Atau, ragu apakah ia sedang berada dalam rakaat ketiga, atau keempat, maka pilih yang ketiga, karena itu lebih sedikit.

4. Asal dari segala hukum adalah ketiadaan beban atas orang lain (الأصل العدم)

Maksudnya, seseorang diyakini belum melakukan sesuatu, kecuali ada bukti secara nyata. Contoh: seseorang makan makanan orang lain, kemudian dia berkata kepada pemiliknya, "Tadi kamu membolehkanku untuk memakannya," namun pemilik menyangkal. Maka, pendapat yang dimenangkan adalah yang menyangkal.

5. Asal dari setiap peristiwa dilihat dari waktu yang terdekat (الأصل في كل حادث تقديره بأقرب الزمن)

Contohnya: jika seseorang melihat di celananya ada bekas air mani, namun ia lupa apakah ia bermimpi atau tidak, maka ia wajib untuk mandi. Kemudian, salat apa saja yang harus diulang? Jawabannya adalah salat setelah tidurnya terakhir, karena dilihat dari waktu terdekat (padahal ada kemungkinan/keraguan bahwa ia mimpi di tidur yang lain).

6. Asalnya, sesuatu itu dibolehkan, kecuali ada dalil yang mengharamkan (الحلال ما لم يدل الدليل على تحريمه) (Kaidah Imam asy-Syafi'i)

Dari kaidah ini terdapat beberapa masalah yang terbahas, contoh: hewan yang tidak jelas keadaannya, maka pendapat yang lebih kuat, halal hukumnya. 

7. Pada dasarnya, perkataan itu bermakna hakikat (الأصل في الكلام الحقيقة)

Contoh: jika seseorang berwakaf kepada anaknya (الولد), maka wakaf itu tidak mencakup anak dari anaknya (cucu) (ولد الولد), karena kata "walad" pada asalnya dimaknai secara hakikat, yaitu hanya anak. Atau jika seseorang berwakaf kepada hafiz Qur'an, maka seseorang yang pernah hapal, kemudian lupa tidak termasuk di dalamnya, karena perkataannya dimaknai secara hakikat.



Ushul Fiqh: Pertentangan antara Dalil

Jika terdapat nash yang bertentangan satu sama lain, maka terdapat beberapa kemungkinan:

1. Dua-duanya ‘amm

2. Dua-duanya khas

3. Yangg satu ‘amm dan yg satu khas

4. Masing-masing ‘amm di satu sisi, dan khas di satu sisi lainnya

Tentang 'amm dan khas, takhsis: https://muammarfarras.blogspot.com/2020/12/ushul-fiqh-amm-umum.html


Pertentangan nash yg dua-duanya ‘amm

Kaidahnya: 

-Kalo mungkin untuk digabungkan (jama’), maka gabungkan. 

-Kalau tidak bisa digabungkan, liat waktu turunnya. Jika tidak tahu mengenai itu, maka ditangguhkan sampai menemukan yg merajihkan (menguatkan). Jika tahu, nash yang datang belakangan me-nasakh (menggantikan) yang datang duluan.

Pertentangan nash yang dua-duanya khas

Kaidahnya:

-Kalo mungkin untuk digabungkan, maka gabungkan. Contoh: terdapat hadis Nabi ﷺ berwudhu dan membasuh kakinya. Ada juga hadis Nabi ﷺ berwudhu dan hanya memercikkan kakinya dan Ia ﷺ  menggunakan sendal. Bentuk penggabungannya: Nabi ﷺ memercikkan air ke kaki pada wudhu tajdid (memperbarui wudhu saja, tanpa berhadas).

-Kalau tidak mungkin untuk digabungkan, maka lihat waktu turunnya. Jika tidak tahu, maka ditangguhkan sampai menemukan yang me-rajih-kan. Jika tahu, maka nash yang datang belakangan me-nasakh (menggantikan) yang datang duluan.

Pertentangan yang satu ‘amm, dan yang satu khas

Kaidahnya:

-Nash yang sifatnya umum (‘amm) dikhususkan (takhsis) dengan dalil yang sifatnya khusus (khas). Contoh: hadis “Tanaman yang diairi dengan hujan, maka zakatnya seper-sepuluh” di-takhsis dengan hadis “Tidak ada zakat pada hasil panen yg kurang dari lima wasaq”.

Pertentangan nash yang masing-masing ‘amm di satu sisi, dan khas di satu sisi

Kaidahnya:

-Kalo mungkin, keumuman masing-masing di-takhsis dengan dalil yang lain. Contoh: terdapat hadis “Jika air mencapai dua kullah (+- 270 liter), maka ia tidak menjadi najis”, ada pula hadits, “Air itu tidak najis selama zat yang menajisi tidak mengalahkan airnya dalam bau, warna, dan rasanya” Hadis pertama khusus dalam perkara dua kullah, lalu umum dalam perkara perubahan zatnya (bau, warna, rasa), Adapun hadis kedua, khusus dalam perubahan zatnya, namun umum dalam kadar kullah-nya. Maka, yang terjadi adalah, keumuman hadits pertama di-takhsis dengan hadis kedua, jadi air yang sebanyak dua kullah, tetap najis ketika ada perubahan pada zatnya (warna, bau, rasa). Dan, keumuman hadits kedua di-takhsis dengan hadis pertama, jadi air yang kurang dari dua kullah najis jika tercampur dengan zat najis, walau tidak ada perubahan pada zatnya.

-Kalau tidak bisa men-takhsis keumumannya, maka harus di-tarjih

Contoh: terdapat hadits, "Siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah ia", ada juga hadis bahwa Nabi ﷺ melarang membunuh wanita. Hadits pertama umum mengenai jenis kelamin, khusus tentang org yang murtad. Sedang hadits kedua, umum mengenai kemurtadan/kafir harbi, khusus mengenai jenis kelamin (perempuan). Kemudian muncul pertanyaan pada akhirnya, apakah perempuan murtad dibunuh? Pendapat yang rajih, dibunuh.

Sumber: syarah al-waraqat li al-mahalli

Ushul Fiqh: Perbuatan, dan Iqrar Nabi Muhammad

 Perbuatan (الأفعال) yang dilakukan Rasulullah ﷺ mengandung kemungkinan: antara perbuatan yang dilakukan dengan tujuan ketaatan pada Allah, atau selainnya (perbuatan biasa).

Perbuatan yang khusus dilakukan oleh Rasulullah ﷺ

Jika ada dalil yang mengkhususkan suatu perbuatan bahwasanya ia hanya untuk Nabi ﷺ, maka perbuatan itu tidak untuk umum. Misalnya, Nabi ﷺ menikahi lebih dari empat perempuan. Terdapat dalil bahwa perempuan yang dinikahi Nabi ﷺ setelah Sayyidah Khadijah merupakan perintah langsung dari Allah. Terdapat dalil untuk selain Nabi ﷺ, bahwasanya maksimal perempuan yang boleh dinikahi adalah empat dalam QS 4:3.

Perbuatan yang ditujukan untuk umum

Jika tidak ada dalil yang menunjukkan kekhususan (bahwa perbuatan itu khusus untuk Nabi ﷺ), maka perbuatan itu ditujukan untuk umum, karena Allah berfirman dalam Al-Ahzab:21, "Laqod kâna lakum fî rasûlullahi uswatun hasanah".

Hukum perbuatan yang dilakukan oleh Nabi ﷺ

Sebagian ulama mengatakan, wajib untuk mengikuti apa yang dilakukan oleh Nabi ﷺ, seperti Abu Sa'id al-Astakhri, Ibnu Suraij, Ibn Abi Hurairah dari Mazhab Syafi'i, dan juga perkataan Imam Ahmad, dan Imam Malik, karena pendapat ini lebih berhati-hati.

Sebagian ulama mengatakan, sunnah. Dan inilah pendapat yang dipilih penulis kitab waraqat ini, Imam Juwaini. Di antaranya ulama lainnya, seperti Imam asy-Syafi'i, Imam Baidhowi, Ar-Razi, dan sebagainya. 

 Imam Juwaini juga menjelaskan, bahwa jika perbuatan yang dilakukan Nabi ﷺ tersebut bukan dalam tujuan ketaatan pada Allah (atau, bisa juga dikatakan, perbuatan "biasa"), maka hukumnya adalah mubah (boleh) saja. Contohnya, perbuatan Nabi ﷺ dalam makan, minum, berpakaian, dan sebagainya. Dr. Mukhtar Muhassin menjelaskan, bahwa jika perbuatan itu berkaitan dengan "adat", maka hukumnya adalah boleh saja. Contoh lain, Nabi ﷺ diriwayatkan makan menggunakan tangannya, sedangkan makan adalah perbuatan yang berkaitan dengan "adat", maka hukumnya mubah. Jika kita makan menggunakan sendok, bukan berarti tidak mengikuti sunnah Nabi ﷺ.

Iqrar Rasulullah ﷺ

Iqrar maksudnya adalah pengakuan/pembiaran Nabi ﷺ atas sesuatu. Pembiaran Nabi ﷺ atas perbuatan sahabatnya memiliki nilai sama dengan perbuatan Nabi ﷺ itu sendiri, begitu juga pembiaran atas perkataan sahabatnya, karena Nabi ﷺ mustahil membiarkan perbuatan yang salah. Contohnya, pembiaran Nabi ﷺ atas Khalid bin Walid yang memakan biawak, padahal Nabi ﷺ tidak memakannya, artinya memakan biawak mubah. Begitu juga iqrar Nabi ﷺ atas perbuatan yang dilakukan ketika Nabi ﷺ tidak ada, namun ketika ia tahu, ia membiarkannya. Seperti ketika Nabi ﷺ baru tahu, dan membiarkan (tidak mengingatkan) Abu Bakar ketika ia melanggar sumpahnya untuk tidak makan (ia bersumpah ketika ia sedang marah). Nabi ﷺ tidak menyalahkan karena makan adalah perbuatan baik. Sebuah sumpah tidak boleh mencegah kita dari perbuatan baik.

Sumber: syarah al-waraqat li al-mahalli

Saturday, January 16, 2021

Ushul Fiqh: Hukum Taklifi

Hukum taklifi dibagi jadi lima menurut mayoritas ulama ushul:

1. Wajib (الواجب)
Imam al-Baidhowi mendefinisikan "wajib" sebagai sesuatu yang syariat cela atas orang yang meninggalkannya dengan kesengajaan secara mutlak.
Catatan: 
-Ada kata "kesengajaan" pada definisi, karena jika tidak sengaja, seperti misalnya, orang yang tertidur, dan melewatkan waktu salat, padahal ia yakin bisa bangun tepat waktu, maka ia tidak termasuk yang dicela oleh syariat. 
-Ada kata "mutlak" juga yang perlu diperhatikan, karena kita juga mengenal istilah wajib muwassa', wajib mukhayyar, dan fardhu kifayah. Contoh kasus dengan konteks wajib muwassa' adalah ketika seseorang meninggalkan ibadah di satu bagian dari waktu yang termasuk muwassa', maka ia tidak termasuk meninggalkan secara mutlak (contoh: orang yang salat dzuhur pada pukul 14.00, padahal azan zuhur sudah berkumandang pada pukul 12.00, namun azan ashar masih pukul 15.00).

2. Mandub (المندوب)
Mandub memiliki nama lain, seperti sunnah, mustahab, dan sebagainya. Secara istilah ia didefinisikan sebagai apa yang dituntut oleh syariat untuk dikerjakan namun tidak dengan sifat mutlak. Atau, ia juga dikenal sebagai sesuatu yang pelakunya dipuji oleh syariat jika melakukannya, namun tidak dicela jika meninggalkannya.

3. Muharram (المحرم)
Muharram secara istilah dimaknai sebagai sesuatu yang dituntut oleh syariat untuk ditinggalkan secara mutlak, atau dikenal juga sebagai sesuatu yang membuat pelakunya dicela oleh syariat, dan orang yang meninggalkannya dipuji oleh syariat -jika meninggalkan karena ketaatan-.
Ada hal yang perlu diperhatikan dalam jenis-jenis haram. Haram terbagi jadi dua:

a. Haram karena zatnya (الحرام لعينه)
Yaitu, haram yang sebab keharamannya ada pada "zat" perbuatan itu sendiri. Secara asalnya, ia memang haram. Contoh: meminum khamr, makan babi, zina, mencuri. 
Hukum dari haram li 'ainih ini adalah ia tidak bisa menjadi "sebab syar'i". Ia tidak meninggalkan "bekas" hukum. Contohnya: ketika seseorang zina, kemudian hamil, dan memiliki anak, nasab si anak tidak bisa tersambung ke sang bapak. Ketika seseorang mencuri, kepemilikan pemilik barang tidak berpindah ke pencuri sebagaimana yang terjadi di jual beli.

b. Haram karena faktor selain zat (الحرام لغيره)
Yaitu, haram yang sebab keharamannya bukan pada "zat"-nya itu sendiri, namun karena ada sesuatu lain yang menuntut keharamannya. Contoh: menjual di atas jualan orang lain, melamar orang yang sudah dilamar orang lain, atau jual-beli saat azan salat Jumat. Melamar, dan jual beli pada asalnya adalah boleh, namun karena ada sebab lain, yaitu adanya lamaran orang lain, jual-beli yang dilakukan penjual lainnya, dan waktu salat Jumat membuatnya menjadi haram.
Hukum dari haram li ghairihi ini menurut mayoritas ulama adalah sah atas ibadah/muamalahnya, meninggalkan "bekas" hukum, namun orang yang melakukannya mendapat dosa. Menurut mazhab Zhahiriyyah, Imam Malik, dan Ahmad di salah satu riwayatnya, ibadah/muamalahnya tidak sah.
Jadi, menurut mayoritas ulama, jika ada orang yang melamar perempuan yang sudah dilamar orang lain, maka lamarannya sah, namun pelakunya berdosa. Begitu juga jika ada orang yang berjualan di waktu salat Jumat, jual-belinya sah, terjadi perpindahan kepemilikan dari penjual ke pembeli, namun pelakunya berdosa.
Catatan: haram li 'ainihi berubah jadi boleh dilakukan pada kondisi darurat saja. Parameter darurat adalah situasi yang membahayakan nyawa. Misalkan, memakan babi menjadi boleh jika sedang tersesat di hutan, dan tidak ada makanan lagi. Sedangkan, haram li ghairihi berubah jadi boleh pada kondisi darurat, atau hajat (keperluan). Kondisi hajat ada di bawah darurat, yakni kondisi yang mendatangkan kesulitan. Misalnya, karena keperluan pengobatan, membuka aurat menjadi boleh, karena secara zat, membuka aurat bukan perkara yang diharamkan.

4. Makruh (المكروه)
Makruh secara istilah artinya apa yang dituntut oleh syariat untuk ditinggalkan namun tidak dengan sifat mutlak, atau dikenal juga sebagai sesuatu yang dipuji syariat jika ditinggalkan, dan tidak dicela juga jika dikerjakan. Hukum dari makruh ini, jika ia dikerjakan, tidak mendapat dosa, namun jika ditinggalkan -dengan niat ketaatan- maka diganjar pahala.

5. Mubah (المباح)
Mubah secara istilah artinya apa-apa yang tidak dituntut oleh syariat untuk dikerjakan, atau ditinggalkan, atau dikenal juga sebagai sesuatu yang tidak dipuji oleh syariat jika dikerjakan, dan ditinggalkan. Mubah dikenal juga sebagai halal, jaiz

Sumber: irsyâd al-'uqûl ilâ qawâ'id al-ushûl



Tuesday, January 12, 2021

Risalah Keluarga dalam Islam (2)

 2. Keterpaduan Antara Ibu dan Bapak (تكاملية الأمومة و الأبوة)

Keluarga merupakan unsur pertama dalam membangun masyarakat. Setelah proses pengikatan syar’i antara laki-laki dan perempuan, keluarga kecil ini mulai bergerak sedikit demi sedikit, yakni Allah berikan padanya rezeki berupa anak. Ketika Allah rezekikan pada sebuah pasangan berupa anak, maka muncullah sifat keibuan, dan kebapakan. Sifat yang identik dengan pengorbanan, tanpa berharap balik, memberi, tanpa meminta. Dalam hal ini, terdapat hak, serta kewajiban bagi ibu, dan bapak.

Hak-hak orang tua: Birr al-walidain (bakti pada orang tua). Begitu besarnya nilai bakti pada orang tua hingga Islam menempatkannya setelah urusan tauhid. Sebaliknya, durhaka kepadanya juga menempati posisi setelah syirik sebagai dosa besar.

Hak seorang ibu atas masyarakat: Penjagaan sampai ia hamil. Sehingga wajib bagi masyarakat sekitar untuk menyiapkan makanan, kesehatan baginya (jika ia tidak mampu mendapatkannya), selain itu hendaknya beban pekerjaannya diringankan, setidaknya sampai periode seorang ibu menyusui selesai. Seorang peraih nobel ekonomi, Gary Becker mengatakan bahwa seorang ibu yang memelihara, dan mendidik anaknya berkontribusi terhadap perkembangan ekonomi nasional sebanyak 25-50%.

Hak seorang ayah atas masyarakat: Seorang ayah juga hendaknya mendapat haknya atas masyarakat, yakni berhubungan dengan urusan nafkah. Ketika keadaan sedang sempit, hendaknya masyarakat membantunya dengan berbagai cara agar seorang ayah bisa memenuhi hajat keluarganya, karena prinsip dalam Islam adalah bahwa setiap muslim adalah saudara. Terdapat beberapa wasilah dalam Islam terhadap hal ini, seperti; bantuan dari kerabat (keluarga) terdekat, zakat, saling bantu antar penduduk sekitar (karena bukanlah seorang muslim, jika ia tidur dalam keadaan kenyang sedangkan tetangganya kelaparan), serta jaminan dari negara.

Hak anak: 1) Dinasabkan kepada keluarga. Bahwasanya merupakan hak seorang anak untuk mendapat perlindungan dari ayah, dan kasih sayang dari ibu. Merupakan bencana besar di zaman sekarang, bahwa ada anak yang dilahirkan tanpa mengenal ayah, atau ibu, atau bahkan keduanya. Masa kanak-kanak manusia adalah masa kanak-kanak terpanjang di antara makhluk hidup lainnya. Beberapa binatang ada yang terlahir, dan tidak butuh waktu yang lama untuk langsung bisa bergerak, dan berjalan. Namun, manusia membutuhkan pemeliharaan, pengajaran, pendidikan akhlak, sampai ia siap. Betapa kritisnya jika masa-masa ini dilalui tanpa orang tua. 

Adapun, kewajiban pertama dari orang tua kepada anaknya adalah menyusuinya, yang mana peran ini dipegang oleh seorang ibu. Kegiatan menyusui tidak semata-mata bermakna memasukkan makanan ke dalam perut anak, namun ia juga bernilai kasih sayang ketika seorang anak berada dalam dekapan ibunya. Adapun ayah dalam hal ini, berperan dalam memberikan nafkah, ketenangan bagi sang ibu, dan mempersiapkan segala hal yang diperlukan.

Termasuk kedurhakaan bagi orang tua untuk menelantarkan anaknya, dan tenggelam dalam kesibukannya sampai mereka tidak tahu apa yang dibutuhkan sang anak, apa yang ia minta, apa yang ingin ia kerjakan. Sang ayah sibuk dengan bisnisnya, pekerjaannya, dan sang ibu sibuk dengan teman, perhiasan, dan fashion-nya.

Integrasi dalam Pendidikan Anak

Bentuk integrasi antara ibu, dan bapak yang diinginkan adalah bahwa mereka saling memahami, saling menolong dalam mendidik anaknya; secara ruh, dengan menanamkan iman, dan ibadah, secara akal, dengan menanamkan pemahaman, dan wawasan, secara akhlak, dengan menanamkan adab yang baik, secara jasad, dengan mengajarkan kebersihan, dan olahraga, secara sosial, dengan menanamkan cinta pada kebaikan, dan melayani sesama, secara politik, dengan mengajarkan kesetiaan terhadap umat, secara seni, dengan menanamkan kecintaan pada keindahan, dan secara bahasa dengan membuatnya cinta terhadap bahasa kaumnya.

Di masa-masa awal anak, tanggung jawab pendidikan lebih banyak ada pada ibu, karena interaksinya yang lebih dekat dengannya. Oleh karena itu, seorang ibu dikatakan sebagai “sekolah pertama” bagi anak. Adapun, ketika ia semakin besar, peran ayah semakin bertambah, karena sang anak membutuhkan lebih banyak arahan, dan pengawasan. Beberapa ayah lalai dalam hal ini, sampai ia lupa bagaimana sekolah anaknya, apakah ia memiliki masalah dalam masa remajanya atau tidak, ketika sekolah mengadakan pertemuan ayah, ia tidak datang, dan ia mengira bahwa kebutuhan fisik (makanan, pakaian, tempat tinggal) telah cukup. Padahal Rasulullah ﷺ mengajarkan bahwa sebaik-baik pemberian dari orang tua pada anaknya adalah pengajaran akan adab yang baik. Tugas paling penting dari seorang ayah adalah menjauhkan anaknya dari api neraka.

Merupakan bagian dari integrasi ibu, dan bapak dalam pendidikan adalah mendidiknya dengan keserasian dalam metode. Ke-tidak serasi-an seperti ayah yang mendidik dengan keras, dan kasar, dan ibu yang mendidik dengan memudah-mudahkan, dan cuek. Hendaknya seorang ibu, dan bapak mengambil jalan yang satu, yaitu jalan moderat/pertengahan. Sikap keras hanya mewariskan kerusakan pada jiwa anak, dan membuat mereka merasa tidak diinginkan. Sesungguhnya Allah mencintai kelembutan, bahkan pada orang yang berbeda, dan bermusuhan dengan kita, maka bagaimana mungkin ada kekerasan pada anak?

Di antara hak seorang anak kecil yang sering dilupakan, yakni masa bermain. Seorang anak hendaknya menghabiskan waktunya dengan bermain, dan bagi seorang ayah, untuk sering menemani anaknya bermain. Misalnya, dengan bermain sepak bola bersama, berlatih berlari bersama. Sebagian ahli hikmah jaman dulu bergaul dengan anaknya dengan cara; bermain dengannya selama tujuh tahun, mendidiknya di tujuh tahun ke dua, dan menjadikannya seperti saudara yang setara di tujuh tahun selanjutnya. Dahulu, Rasulullah ﷺ juga bermain dengan anak-anak, hingga Riwayat yang sudah popular mengisahkan, cucu-cucu Nabi ﷺ bermain dengan memanjat punggung Rasul ﷺ dan menjadikannya tunggangan.

Jika terlalu keras tidak dibolehkan, maka sebaliknya, bersikap abai juga tidak dibolehkan, hingga orang tua tidak peduli dengan apa yang dilakukan seorang anak. Seorang anak harus dididik jika keliru, terlebih jika ia terus mengulang kesalahannya, namun tetap dengan cara yang baik, dan penuh kelembutan, hingga orang tua tidak terjebak dalam upaya membenarkan kesalahan dengan kesalahan yang baru. Dan jika orang tua memiliki kecenderungan untuk cinta terhadap salah satu anaknya lebih daripada yang lain, hendaknya ia tidak menampakkannya, agar tidak mewariskan rasa cemburu, dan benci antar sesamanya.

Sumber: al-usrah kamâ yurîduhâ al-islâm

Risalah Keluarga dalam Islam (1)

Berikut adalah catatan dari karya agung seorang ulama kontemporer, Al-'Allamah Syaikh Yusuf al-Qardhawi -rahimahullah- mengenai keluarga yang berjudul al-usrah kamâ yurîduhâ al-islâm.

1. Keluarga yang mantap/stabil (الزواج المستقر)

Keluarga secara definisi adalah kesatuan sosial yang dibangun atas laki-laki, dan perempuan dan dengan ikatan yang sesuai syariat. Dengan ikatan tersebut, dibangun atasnya kewajiban, dan hak satu sama lain. Keluarga merupakan perwujudan dari fitrah yang Allah ciptakan, yakni hidup berpasang-pasangan. Hal yang perlu dicatat bagi seorang Muslim adalah bahwa pernikahan bukanlah semata-mata ikatan antara jasad dengan jasad. Namun ia adalah ikatan antar manusia, dan di dalam manusia terdapat akal, emosi, naluri, dan jiwa. Ia lebih dari sekedar jasad semata.

Keluarga Muslim tidak lah hanya memiliki tujuan yang bersifat fisik; menuntaskan syahwat dengan cara yang halal, atau mengenyangkan perut, namun ia harus lebih dari itu, yaitu membangun rumah yang penuh dengan keimanan, keluarga yang salih, dan itu merupakan inti dari masyarakat yang salih. Rumah yang penuh dengan keimanan yang dimaksud adalah rumah yang terdapat tiga asas; sakinah, mawaddah, dan rahmah. Keluarga juga memiliki tujuan asasi, yaitu mempertahankan keturunan. Ia menjadi penting karena dengan berkembang biaklah dakwah Islam ini senantiasa berjalan. Adapun, asas dari sebuah keluarga yang mantap adalah:

a. Memilih sebaik-baik pasangan (حسن الاختيار)
Seyogyanya bagi seorang Muslim untuk memperhatikan siapa yang akan jadi partner dalam hidupnya. Ia harus menetapkan kriteria dalam pemilihannya, dan seorang Muslim tidak hanya berhenti dalam kriteria yang bersifat “fisik”, akan tetapi, haruslah memperhatikan kriteria asasi berikut:

i. Baik agama, dan akhlaknya
Terdapat banyak riwayat yang menjelaskan keutamaan perempuan salihah, bahwa kriteria paling utama dalam menikahi seseorang adalah karena agamanya, bahwa ia sebaik-baik “perhiasan” di muka bumi. Pasangan yang memiliki agama dalam konteks pernikahan adalah pasangan yang takut kepada Allah, dan menjaga hak pasangan, dan rumahnya, baik saat pasangannya ada, atau tiada.

ii. Keserasian jiwa
Hal ini bisa dilihat dari pandangan/pertemuan pertama. Dari perkataan, atau hanyalah perbuatan-perbuatan kecil. Di antara hikmah dari diperintahkannya melihat calon pasangan dahulu saat meng-khitbah adalah agar kita bisa menilai apakah terdapat keserasian secara “ruh” atau tidak. Tanda ketika keserasian itu ada adalah ketika yang satu masuk ke dalam hati yang lain, ia merasa dekat dengannya, merasa ia melengkapi dirinya, dan bagian dari dirinya sendiri.

iii. Kecocokan
Kecocokan yang dimaksud di sini adalah kecocokan satu sama lain dalam hal keadaan-keadaan fisik, kejiwaan, pikiran, umur, dan sosial. Adanya ketidak-cocokan dalam hal ini dikhawatirkan akan melahirkan ke-tidak tenang-an dalam kehidupan perkawinan. Contohnya: seyogyanya, tidak seharusnya seorang lelaki yang fakir untuk menikahi perempuan yang kaya karena ingin hidup dengan harta perempuan tersebut, karena pada asalnya, lelakilah yang menjadi pemimpin, dan pemberi nafkah pada istrinya, atau laki-laki yang buta huruf menikahi seorang akademisi perempuan, dikhawatirkan ia tidak “bekerja sama”dengan perempuan tersebut melainkan hanya dalam perkara makan, dan minum. Inilah hal yang diisyaratkan Rasulullah ﷺ juga ketika menyarankan Jabir bin Abdillah, pemuda Anshor untuk menikahi gadis (karena ia sesama muda) (saat itu, Jabir sudah menikahi janda). Namun, peristiwa ini juga mengajarkan tentang kondisi pengecualian, karena alasan Jabir menikahi janda saat itu adalah ia memiliki banyak saudara perempuan yang masih kecil, maka ia butuh pasangan yang dewasa, dan juga bisa bertindak sebagai seorang ibu. Maka, pengecualian-pengecualian tetap ada, namun dengan alasan yang kuat.

b. Kebebasan Memilih (حرية الاختيار)
Syariat Islam memberikan jaminan bagi seseorang untuk memilih pasangannya sendiri, tanpa paksaan siapapun -bahkan orang tuanya-. Pemaksaan akan pernikahan banyak terjadi kepada perempuan, bahkan di jaman kini. Padahal itu adalah hal yang menjadi tabiat masa ke-jahiliyyah-an, dan Islam datang justru untuk membebaskan hal tersebut.

Maka, perempuan adalah tuan bagi dirinya sendiri. Jika ayah/orang lain memilihkan pasangan untuknya, maka wajib baginya untuk setuju. Jika tidak, maka pernikahan tersebut tidak sah. Terdapat banyak hadis yang menjelaskan bahwa Rasulullah ﷺ melarang hal ini, di antaranya hadis dari Ibnu Abbas, bahwa suatu saat seorang budak yang masih gadis datang ke Rasulullah ﷺ dan melaporkan bahwa ia dinikahkan oleh ayahnya, sedangkan ia tidak menyukainya, kemudian Rasulullah ﷺ memberikan gadis itu pilihan atas dirinya sendiri. Imam al-Shan’ani dalam Subul as-Salam menjelaskan hadis ini, bahwa ia memiliki makna apa adanya, yakni “haram bagi seorang ayah, atau yang lainnya dari wali perempuan, untuk memaksa menikahkan anaknya”.

c. Menjaga hak-hak dalam hubungan pernikahan (رعاية الحقوق الزوجية)
Asas selanjutnya dalam membangun keluarga yang mantap adalah dengan menjaga hak-hak satu sama lain dalam pernikahan. Hak datang dengan kewajiban, maka seyogyanya semuanya tertunaikan dengan baik. Seperti, hak seorang ayah untuk mendapatkan bakti dari anaknya, dan hak seorang anak untuk mendapat pendidikan, dan asuhan dari ayahnya. Hak nafkah bagi seorang istri, dan hak untuk dihormati bagi seorang suami. Islam memfokuskan agar kita menunaikan kewajiban kita, daripada kita menuntut hak kita. Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas merapikan rambutnya, janggutnya, dan memperindah dirinya sendiri. Seseorang bertanya kepadanya mengapa ia melakukan itu? Ibnu Abbas menjawab, “Aku memperindah diriku untuk istriku, sebagaimana ia memperindah dirinya untuk diriku.
Dari mana kita bisa mengetahui mengenai hak-hak pernikahan ini?

1. Syariat (yakni hukum-hukum Allah)

Dari sisi syariat, hak-hak istri atas suaminya adalah; 1) Mahar, 2) Nafkah, 3) Perlakuan baik, dengan perkataan, atau perbuatan. Adapun, hak-hak suami atas istrinya adalah; 1) Penerimaan atas kepemimpinannya. Hal ini bukan berarti suami menjadi “diktator”, namun hendaknya mencotoh Nabi ﷺ yang tetap bermusyawarah dengan istrinya, seperti yang Nabi ﷺ lakukan ketika bermusyawarah dengan Ummu Salamah dalam peristiwa Hudaibiyyah. 2) Penjagaan atas hartanya, 3) Penjagaan selama ketiadaannya, 4) Penjagaan atas anak-anak, dan ini adalah perkara kerja sama antar keduanya. Namun, di tahun-tahun awal, peran ibu lebih besar, 5) Bantuan dalam amal kebaikan, dan menjauhi keburukan, 6) Kesabaran dari istri, sebagaimana suami sabar atas istri.

2. Adat yang Baik
Ia lah yang memerinci hukum-hukum Allah. Seperti kewajiban atas nafkah, namun parameternya adalah kebiasaan/’urf  itu sendiri. Ibnu Mas’ud berkata, “Apa yang diliat masyarakat Muslim sebagai kebaikan, maka Allah melihatnya sebagai kebaikan, dan apa yang diliat sebagai keburukan, maka Allah melihatnya sebagai keburukan.

d. Menjaga Kemantapan Keluarga (المحافظة على استقرار الأسرة)
Salah satu ahli hikmah, berkata, “Seyogyanya bagi seseorang untuk membuka matanya sebelum menikah, dan menutup sebelah matanya setelah menikah,” maksudnya adalah hendaknya ia berlapang dada, dan “sedikit abai” terhadap kesalahan pasangannya.

Setelah proses pembangunan keluarga yang mantap, kita harus menjaga keberlangsungannya, agar tidak jatuh ke jurang yang bernama perceraian -walau ia dimakruhkan dalam Islam-. Perceraian layaknya operasi dalam dunia kedokteran. Ia tidak dilakukan kecuali dalam keadaan “darurat”. Termasuk dalam hal ini, menjaga keharmonisan keluarga dari dosa-dosa besar yang terlihat marak dipraktekkan; zina, selingkuh, dan sebagainya.

Monday, January 11, 2021

Ushul Fiqh: Nash dan Zhahir

Nash

Nash (النص) bermakna sesuatu yang hanya mengandung satu makna (ما لا يحتمل إلا معنى واحد). Contohnya, Zaid, dalam kalimat, "Aku melihat Zaid," tidak ada arti lain, selain Zaid. Atau, dikatakan bahwa nash adalah sesuatu yang otomatis muncul dalam pemahaman, tidak mengandung takwil. Contohnya lagi, seperti di Al-Baqarah:183

فصيام ثلاثة أيام

Puasa selama tiga hari

Ayatnya menceritakan tentang orang yang tidak dapat menyembelih hadyu, maka berpuasa selama tiga hari dalam musim haji. Jelas dimaknai puasa tiga hari tanpa ada makna lain.

Zhahir

Zhahir (الظاهر) bermakna sesuatu yang mengandung dua makna, salah satunya lebih kuat dibanding yang lain. Contohnya, singa, dalam kalimat, "Aku melihat singa hari ini." Singa di kalimat itu bisa bermakna hewan buas, bisa juga bermakna orang yang pemberani. Zhahir adalah ketika singa pada kalimat tersebut diartikan sebagai hewan buas.

Muawwal

Muawwal (مؤول) adalah ketika zhahir dimaknai (atau bisa juga disebut ditakwil) dengan makna selain lafaznya (teksnya). Dari contoh di atas tadi, ketika kita memaknai "singa" sebagai orang yang pemberani, makna itu dinamakan muawwal. Proses memaknai zhahir sehingga menjadi muawwal, dilakukan dengan dalil. Bisa dikatakan, bahwa muawwal adalah ketika kata yang bermakna hakikat, bergeser menjadi majaz karena petunjuk dari dalil. Contoh, dalam surah Adz-Dzariat:47, Allah berfirman:

و السماء بنيناها بأييد

Dan langit telah kami ciptakan dengan "aydin"

Kata "aydin" secara hakikat adalah jamak dari kata "yad" yang artinya tangan. Namun dalil 'aqli mengatakan bahwa Allah mustahil memiliki tangan, yakni raga seperti manusia, karena Allah memiliki sifat berbeda dengan makhluk-Nya (mukhalafah li al-hawaditsih). Maka ia ditakwil sebagai kekuatan/kekuasaan (القوة). Maka ayatnya menjadi bermakna bahwa Allah dengan kekuasannya telah menciptakan langit.

Sumber:

Syarah Waraqat li al-Mahalli

Bersalaman dengan Non Mahram

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali menemui kondisi di mana kita harus bersalaman. Entah itu ketika hari raya, di mana harus bertemu dengan keluarga besar, lingkungan kerja, sekolah, bertemu teman, kerabat, dan sebagainya. Kemudian, yang jadi pembahasan adalah bagaimana fikih memandang hal tersebut?

Pertama, ada dua keadaan yang telah disepakati hukumnya:

1. Jika salaman disertai dengan syahwat, atau khawatir akan adanya "fitnah" (perbuatan yang bisa menyebabkan dosa), maka hukumnya haram, karena menutup celah terhadap sebuah kerusakan (sadd adz-dzari'ah) adalah wajib hukumnya. Hal ini termasuk juga dalam bersalaman dengan mahram (yang sebenarnya, hukum asalnya adalah boleh). Ketika kita bersalaman - misalnya - dengan adik dari ayah (tante), hukum asalnya boleh, tapi ketika diiringi dengan syahwat, atau khawatir adanya "fitnah", maka hukumnya berubah jadi haram.

2. Boleh hukumnya bersalaman dengan orang yang sudah tua, atau anak kecil karena aman dari sebab "fitnah".

Kemudian pembahasan dalam tulisan ini adalah kepada hal-hal selain dua kondisi di atas, bagaimana hukumnya?
Beberapa ulama mengatakan hukumnya haram, berdalil dengan beberapa dalil berikut:

1. Nabi ﷺ meninggalkan salaman ketika mem-bai'at perempuan di fath al-makkah seperti dikisahkan di surah al-Mumtahanah, dan Nabi ﷺ dikatakan tidak pernah menjabat tangan perempuan. Dengan ini, maka bersalaman dengan non mahram hukumnya haram.

Pembahasan: Bahwa ketika Nabi ﷺ meninggalkan sesuatu, bukan berarti menunjukkan kepastian akan keharaman. Mungkin ia menunjukkan keharaman, atau kemakruhan, atau memilih perbuatan yang lebih baik, atau hanya karena beliau ﷺ tidak menyukai hal tersebut, seperti ketika Nabi ﷺ tidak memakan biawak, padahal hukumnya mubah (boleh).

Kemudian, dari tinjauan riwayat sendiri, perkara "Nabi ﷺ meninggalkan bersalaman" juga bukan perkara yang disepakati. Mengapa? Karena ada riwayat dari Ummu 'Athiyyah al-Anshari yang menyatakan bahwa Nabi ﷺ bersalaman ketika mem-bai'at - berbeda dari riwayat Sayyidah Aisyah yang membantah hal tersebut dengan mengatakan bahwa proses pem-bai'at-an terjadi dengan Nabi ﷺ yang memanjangkan tangannya dari luar rumah, dan para perempuan yang memanjangkan tangannya dari dalam rumah, lalu Nabi ﷺ berkata, "Ya Allah, persaksikanlah!" -.

Ada beberapa riwayat lagi, seperti dari asy-Sya'bi yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ mem-bai'at perempuan dengan menggunakan kain (sebagai penghalang agar kulitnya tidak bertemu langsung), dan berkata, "Aku tidak bersalaman (langsung) dengan perempuan."

Al-Hafiz Ibnu Hajar kemudian memberi kesimpulan dari kemungkinan-kemungkinan ini, bahwa kemungkinan, bai'at terjadi beberapa kali. Ada bai'at yang terjadi hanya dengan perkataan (tanpa salaman sama sekali) seperti yang diriwayatkan Sayyidah Aisyah, ada yang dengan salaman namun dengan penghalang seperti yang diriwayatkan asy-Sya'bi, ada yang dengan mencelupkan tangan ke bejana seperti yang diriwayatkan Ibnu Ishaq, ada yang dengan bersalaman langsung (tanpa penghalang) seperti yang diriwayatkan Ummu 'Athiyyah.

2. Beberapa ulama mengatakan keharaman bersalaman dengan non mahram berdalil dengan dalil yang populer kita baca:

لِأَنْ يُطْعَنَ فِيْ رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةٍ لاَ تَحِلُّ لَهُ

Tertusuknya kepala salah seorang di antara kalian dengan jarum besi, lebih baik daripadaia menyentuh wanita yang tidak halal baginya.

Pembahasan

Pertama, ulama hadis tidak bersepakat akan sahnya hadis tersebut. al-Haitsami mengatakan bahwa periwayatnya orang yang tsiqoh, tapi hal ini tidak menunjukkan bahwa hadis tersebut selamat dari 'illah, atau terputusnya sanad. Tidak ada ahli fikih klasik yang berdalil dengan hadis ini.

Kedua, ahli fikih dari kalangan Hanafiyyah, dan sebagian Malikiyyah mengatakan bahwa keharaman harus didasarkan pada dalil yang sifatnya qoth'i (pasti), seperti Al-Qur'an, atau hadis yang mutawatir, atau masyhur. Hadis yang terdapat syubhat atau keraguan di dalamnya, paling jauh hanya menyebabkan kemakruhan.

Ketiga, jika kita terima hadis tersebut, bahwasanya hadis tersebut sahih. Kemudian kita bisa mendiskusikan makna المس di lafaz hadis tersebut. Secara bahasa, memang kata al-mass bisa dimaknai "menyentuh". Tetapi, makna kata tersebut tidak bisa langsung diartikan menyentuh saja. Ada beberapa kemungkinan dari makna kata al-mass, bahkan terdapat di Al-Qur'an, seperti:

a. Kinayah dari kata jima' (hubungan suami istri) seperti dalam surah An-Nisa:43, Ali-Imran:47, Al-Baqarah:237.

b. Al-mass bisa juga diartikan tindakan yang mengawali hubungan suami istri, seperti pelukan, atau ciuman. Seperti dalam Mustadrak al-Hakim yang meriwayatkan hadis dari Umar, yang berkata, "Sesungguhnya ciuman bagian dari al-lams, maka berwudhulah setelahnya."

Dari sini, Madzhab Maliki, dan Hanbali menafsirkan ayat 43 dari An-Nisa yang berbunyi, "Aw lâmastum an-nisa" sebagai pegangan tangan yang diiringi syahwat. Makanya, dalam Mazhab Maliki, dan Hanbali, berpegangan tangan dengan istri tidak membatalkan wudhu, kecuali dengan syahwat.

Seorang Arab, dan Mawali (orang Islam non Arab di periode awal Islam) berdebat tentang makna al-mass / al-lams. Arab berkata bahwa maksudnya adalah hubungan suami istri, dan Mawali berkata, selain hubungan suami istri. Ibnu Abbas membenarkan orang Arab bahwa makna al-mass adalah hubungan suami istri.

Kesimpulan:

Syaikh Yusuf al-Qardhawi memberi kesimpulan atas diskusi mengenai hukum bersalaman dengan non mahram dengan bijaksana, bahwa secara asalnya, bersalaman boleh hukumnya. Seperti misalnya, ketika ada keluarga besar datang, atau ketika ada keperluan-keperluan lainnya.

Namun, beliau rahimahullah memberi penekanan (atau, rekomendasi):

1. Bersalaman boleh jika tidak diiringi dengan syahwat, atau kekhawatiran adanya "fitnah", baik dari sisi perempuan, atau laki-laki. Jika ada salah satunya, maka menjadi haram.

2. Seyogyanya, kita tidak bermudah-mudahan dalam bersalaman dengan non mahram. Beramal dengan asas "menutup celah dari kemungkinan keburukan". Dan lebih baik bagi seorang muslim/muslimah untuk tidak memulai bersalaman dengan non mahramnya jika memang dirasa tidak ada hajat/keperluan. Adapun, jika ia diajak bersalaman, maka sambut lah, tidak mengapa, karena asal hukumnya boleh.

Wallahu a'lam

Sumber: fatâwâ al-mar'ah al-muslimah

Catatan: Bersalaman beda dengan pegangan tangan yes 🙏

Bunga Bank

  Mesir sedang mengalami keterpurukan ekonomi di bulan Maret 2022 ini. Nilai tukar mata uang Mesir, Egyptian Pound (EGP), terhadap dollar me...