Imam Abu Abbas Ahmad bin al-Qash berkata untuk meringkas, "hukum 'yakin tidak hilang dengan keraguan' berlaku, kecuali pada sebelas masalah."
Yakni:
1. Ragu apakah jangka waktu kebolehan mengusap sepatu (الخف) saat wudhu telah selesai atau belum (maka, ia dihukumi sudah selesai)
Catatan: dalam fikih, boleh berwudhu dengan mengusap sepatu sebagai pengganti membasuh kaki, dengan syarat: 1) sebelum menggunakan sepatu, statusnya telah suci dahulu, 2) untuk orang yang berada di rumah, jangka waktu kebolehannya sehari semalam, dan untuk musafir, tiga hari tiga malam, 3) sepatu menutup mata kaki, 4) dapat dipakai untuk berjalan
2. Ragu apakah status mengusap sepatu dilakukan saat di rumah, atau safar (maka, ia dihukumi di rumah)
3. Musafir yang ragu apakah ia telah sampai di kotanya, atau belum (maka, ia dihukumi telah sampai, sehingga tidak ada keringanan layaknya seorang musafir).
4. Musafir yang ragu apakah ia berniat untuk tinggal di tujuannya atau tidak (maka, ia dihukumi mukim, dan tidak ada keringanan layaknya seorang musafir).
5. Jika seorang musafir bertakbir, dan salat di belakang imam yang ia tidak tahu apakah ia seorang musafir juga, atau bukan, maka musafir tersebut tidak boleh berniat qashar.
6. Jika ada hewan yang buang air di penampungan air, dan air itu berubah (warna/bau/rasanya), namun kita tidak tahu apakah perubahan itu terjadi karena kotoran hewan itu, atau selainnya, maka dihukumi bahwa air itu najis.
7. Perempuan yang keluar darah istihadhah yang ragu, maka ia wajib mandi setiap sebelum salat jika ia ragu apakah darahnya telah berhenti.
8. Seseorang yang bertayammum, kemudian dia melihat air dari kejauhan, namun ia ragu apakah itu air, atau fatamorgana. Maka, tayammumnya batal, walaupun itu ternyata fatamorgana.
9. Jika seseorang memanah dalam rangka berburu, kemudian ia melukai targetnya, dan kabur. Setelah itu ia menemukannya telah mati, namun ia ragu apakah hewan itu mati karena panahnya, atau karena lemparan batu (tidak boleh berburu dengan melempar batu), maka hewan itu dilarang dimakan. Begitu juga kaidahnya dipakai untuk yang berburu dengan anjing.
10. Barang siapa yang terkena najis, entah di badan, atau pakaiannya, namun ia tidak tahu posisi najisnya, maka wajib untuk membersihkan semuanya.
11. Orang yang mengeluarkan darah istihadhah, atau penyakit yang menyebabkannya selalu kencing, dan tidak bisa menahannya, jika ia berwudhu, kemudian ia ragu apakah wudhunya (yang barusan) telah batal atau belum, kemudian ia salat. Maka salatnya tidak sah (Harusnya, untuk orang yang terkena penyakit seperti itu, memastikan dirinya suci sampai masuk salat, kemudian ketika ia salat, kencingnya keluar, maka dimaafkan).
Kemudian, Imam an-Nawawi menambahkan lagi beberapa masalah:
1. Jika seseorang ragu apakah waktu Jumat telah selesai atau belum, maka mereka tidak salat Jumat.
2. Jika seseorang ragu dalam wudhunya apakah ia telah membasuh kepalanya atau belum, maka pendapat terkuat: wudhunya sah.
3. Jika seseorang telah salam, lalu ia ragu apakah ia tadi salat tiga rakaat, atau empat rakaat, maka salatnya sah.
Tajuddin as-Subki menambahkan lagi beberapa masalah:
1. Asalnya, mulut kucing najis, namun kenajisannya ditinggalkan berpegang pada lidahnya yang sering bersentuhan dengan air.
2. Jika seseorang melihat bekas air mani di pakaian, atau tempat tidurnya, namun ia lupa apakah ia bermimpi basah atau tidak, maka ia wajib mandi.
3. Jika seseorang berpuasa kafarah, kemudian ia lupa apakah ia telah berniat atau tidak, maka puasanya sah.
4. Jika seseorang melewatkan salat, lalu ia ragu apakah ia sudah menggantinya (qadha) atau belum, maka ia tidak wajib qadha. Syaikh 'Izz bin Abdissalam berkata demikian.
Syaikh Abu Hamid al-Ishfaraini menambahkan, keraguan itu bersumber dari tiga hal: ragu sumber dari haram, mubah, dan tidak tahu mana asalnya.
Contoh yang bersumber dari haram: jika seseorang menemukan domba yang tersembelih di negara yang penduduknya bercampur antara Muslim, dan Majusi, maka daging itu tidak halal, sampai ia yakin daging itu disembelih oleh Muslim, karena asalnya adalah haram. Namun, jika ia berada di negara yang mayoritas Muslim, maka ia boleh memakannya, karena "mayoritas" keadaannya adalah halal.
Contoh yang bersumber dari mubah: jika seseorang menemukan air yang zatnya ada perubahan, namun ia tidak tahu apakah air itu berubah karena najis, atau karena ia telah mengendap lama, maka ia boleh bersuci dengannya, karena asal bersuci adalah boleh.
Contoh yang bersumber dari ketidaktahuan: jika seseorang bertransaksi dengan orang lain yang hartanya bercampur antara halal, dan haram, dan mayoritasnya adalah haram, maka boleh bertransaksi dengannya. Karena ada poin yang halal. Namun di-makruh-kan dalam hal ini.
Catatan:
Imam an-Nawawi menjelaskan, bahwa di kalangan ahli fikih, dugaan (الظن), dan ragu (الشك) bermakna satu, apakah ada satu pilihan yang lebih kuat, atau keduanya ada di tingkat kebimbangan yang sama. Sedangkan, ahli ushul menjelaskan, dugaan, dan ragu beda. Dugaan bermakna jika seseorang bimbang terhadap dua hal, namun yang satu lebih kuat daripada yang lain, sedangkan ragu, keduanya tidak ada yang lebih kuat.
Sumber: îdhâh al-qawaid al-fiqhiyyah
No comments:
Post a Comment