Saturday, May 2, 2020

Serial Maqashid Syariah #5 : hifdz ad-din (Menjaga Agama)


3. hifdz ad-din (Menjaga Agama) 

Manusia, secara fitrahnya memiliki hajat untuk beragama. Ulama menggambarkan manusia sebagai حيوان متدين (hewan yang beragama), yaitu كائن متدين (makhluk yang beragama). Karena beragama, merupakan kekhususan yang hanya dimiliki manusia, dibandingkan dengan makhluk yang lain
.
Tafsir mengenai hal ini kembali pada awal penciptaan manusia. Allah berfirman,
فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِن رُّوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ - 15:29
Dan setelah Ku sempurnakan ia (manusia), aku tiupkan kepadanya bagian dari ruhKu, maka mereka (para malaikat) bersujud kepadanya (manusia)

Di sini, jika kita perhatikan, Allah menisbatkan unsur ruh kepada diriNya (روحي). Hal ini sebagai bentuk pemuliaan terhadap manusia atas segala makhluk yang lain, hingga malaikat dan seluruh makhluk bersujud kepada manusia. Maka, dari sini, kita tahu bahwa terdapat ikatan ruh insani dengan ruh ilahi, dan hal ini menggerakkan jiwa kita untuk merasakan rasa rindu kepada “asalnya”, dan hal ini terwujud dalam bentuk beragama, yang mana ia merupakan bentuk hubungan antara Allah dan manusia.

Menurut Syaikh Muhammad Abu Zahrah, pensyariatan ibadah yang kita lakukan sehari-hari, merupakan bentuk penjagaan jiwa terhadap perilaku beragama, serta sebagai bentuk penyucian jiwa. Begitu juga dengan pengutusan Rasul kepada manusia, ia merupakan kehendak Allah agar manusia tidak lupa dengan “fitrahnya” ini.

Seorang filsuf barat, Bergson, mengatakan, “Terdapat sekumpulan masyarakat di dunia ini yang tidak mengenal ilmu, seni, dan filsafat. Akan tetapi, tidak akan terdapat sekumpulan masyarakat yang tidak beragama.”

Sebagaimana beragama merupakan hak atas setiap manusia yang tidak bisa dilanggar oleh siapapun, ia juga merupakan pilihan yang bebas bagi setiap manusia. Allah berfirman,

 لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ - 2:256
Tidak ada paksaan dalam agama

فَمَن شَاءَ فَلْيُؤْمِن وَمَن شَاءَ فَلْيَكْفُرْ - 18:29
Barangsiapa yang ingin beriman, maka berimanlah, dan barangsiapa yang ingin kufur, maka kufurlah

Maka, pemaksaan beragama dalam bingkai dakwah, atau bentuk apapun merupakan kesalahan, karena tidaklah ia menghasilkan seorang mukmin, melainkan seorang munafik. Allah telah berfirman ketika berbicara soal cara dalam dakwah,  yaitu dengan “hikmah”, “nasehat yang baik”, dan “debat dengan cara yang baik”.

Hubungan antara akal dan agama
Telah kita ketahui di seri sebelumnya, bahwa akal merupakan salah satu dari pilar maqashid syariah. Namun, dewasa ini, terdapat anggapan bahwa akal tidak bisa bersanding dengan agama. Bagaimana sebenarnya hubungan antar keduanya?

Sesungguhnya, perdebatan mengenai hal ini telah terjadi sejak jauh hari, dan tidak berhenti hingga saat ini. Sejarah pemikiran Islam telah menyaksikan, terdapat sebagian golongan yang menolak penggunaan akal dalam beragama, sebagaimana yang dipraktekkan sebagian golongan sufi dan salafi, atau golongan yang juga berpegang pada imamnya secara taqlid buta -sebagaimana yang dipraktekkan sekte batiniyyah-, atau ada juga golongan yang meletakkan akal di atas agama, sebagaimana yang dipraktekkan sebagian madzhab filsuf. Imam Al-Ghazali datang untuk mendamaikan hal ini.

Imam Al-Ghazali menggambarkan peran akal sebagai,
إن مهمة العقل هي أن يقودنا إلى معرفة الدين: معرفة وجود الله و فهم الوحي الذي أنزله الله على رسله لإبلاغه إلى البشر
Sesungguhnya, peran akal yaitu membimbing kita pada mengenal agama:mengenal wujud Allah, dan memahami wahyu yang Allah turunkan pada RasulNya.

Ia juga mengatakan,
فالعقل كالأساس و الشرع كالبناء
Akal itu seperti pondasi, dan syariat seperti bangunan

Maka, keduanya saling melengkapi, karena tidak ada pondasi tanpa bangunan, dan tidak ada bangunan tanpa pondasi.

Imam Al-Ghazali kembali menjelaskan, bahwa wajib bagi kita untuk berpegang pada keduanya. Ia berkata, bahwa orang yang meniadakan akal dalam urusan dunia, adalah orang yang bodoh (جاهل), dan orang yang mencukupkan dirinya dengan akal, adalah orang yang tertipu (مغرور).

Ibnu Rusyd, yang sering berbeda pendapat dengan Imam Al-Ghazali, bersepakat dengannya dalam hal hubungan agama dan akal. Ia berkata dalam fashl al-maqol,

الحكمة (أي الفلسفة المعتمدة على العقل) صاحبة الشريعة, و الأخت الرضيعة, و هما مصطحبتان بالطبع, المتحابتان بالجوهر و الغريزة
Hikmah (yaitu filsafat yang berlandaskan akal) merupakan sahabat dari syariat, dan saudara sepersusuannya. Mereka salingberkawan, dan mencintai secara alamiah dan insting

Ibnu Rusyd juga mengatakan bahwa kita tidak akan bisa memahami dan yakin akan ilmu tentang wujud Allah, pengutusan Rasul, serta memahami maksud dari risalah kecuali dengan jalan pemahaman akal. Ia menggambarkan akal sebagai أشد أعوان الدين الإسلامي (penolong terbesar dalam urusan agama Islam).
Sesungguhnya, akal dan agama merupakan nikmat Allah atas manusia. Dan ia diturunkan pada manusia untuk satu tujuan, yakni membimbing manusia

No comments:

Post a Comment

Bunga Bank

  Mesir sedang mengalami keterpurukan ekonomi di bulan Maret 2022 ini. Nilai tukar mata uang Mesir, Egyptian Pound (EGP), terhadap dollar me...