3. hifdz ad-din (Menjaga Agama)
Manusia, secara fitrahnya
memiliki hajat untuk beragama. Ulama menggambarkan manusia sebagai حيوان متدين (hewan yang beragama), yaitu كائن متدين (makhluk yang beragama). Karena beragama,
merupakan kekhususan yang hanya dimiliki manusia, dibandingkan dengan makhluk
yang lain
.
Tafsir mengenai hal ini kembali pada
awal penciptaan manusia. Allah berfirman,
فَإِذَا
سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِن رُّوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ - 15:29
Dan setelah Ku sempurnakan ia
(manusia), aku tiupkan kepadanya bagian dari ruhKu, maka mereka (para malaikat)
bersujud kepadanya (manusia)
Di sini, jika kita perhatikan,
Allah menisbatkan unsur ruh kepada diriNya (روحي).
Hal ini sebagai bentuk pemuliaan terhadap manusia atas segala makhluk yang
lain, hingga malaikat dan seluruh makhluk bersujud kepada manusia. Maka, dari
sini, kita tahu bahwa terdapat ikatan ruh insani dengan ruh ilahi, dan hal ini
menggerakkan jiwa kita untuk merasakan rasa rindu kepada “asalnya”, dan hal ini
terwujud dalam bentuk beragama, yang mana ia merupakan bentuk hubungan antara
Allah dan manusia.
Menurut Syaikh Muhammad Abu
Zahrah, pensyariatan ibadah yang kita lakukan sehari-hari, merupakan bentuk penjagaan
jiwa terhadap perilaku beragama, serta sebagai bentuk penyucian jiwa. Begitu
juga dengan pengutusan Rasul kepada manusia, ia merupakan kehendak Allah agar
manusia tidak lupa dengan “fitrahnya” ini.
Seorang filsuf barat, Bergson, mengatakan,
“Terdapat sekumpulan masyarakat di dunia ini yang tidak mengenal ilmu, seni,
dan filsafat. Akan tetapi, tidak akan terdapat sekumpulan masyarakat yang tidak
beragama.”
Sebagaimana beragama merupakan hak
atas setiap manusia yang tidak bisa dilanggar oleh siapapun, ia juga merupakan
pilihan yang bebas bagi setiap manusia. Allah berfirman,
لَا
إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ - 2:256
Tidak ada paksaan dalam agama
فَمَن
شَاءَ فَلْيُؤْمِن وَمَن شَاءَ فَلْيَكْفُرْ - 18:29
Barangsiapa yang ingin
beriman, maka berimanlah, dan barangsiapa yang ingin kufur, maka kufurlah
Maka, pemaksaan beragama dalam
bingkai dakwah, atau bentuk apapun merupakan kesalahan, karena tidaklah ia menghasilkan
seorang mukmin, melainkan seorang munafik. Allah telah berfirman ketika
berbicara soal cara dalam dakwah, yaitu
dengan “hikmah”, “nasehat yang baik”, dan “debat dengan cara yang baik”.
Hubungan antara akal dan agama
Telah kita ketahui di seri
sebelumnya, bahwa akal merupakan salah satu dari pilar maqashid syariah.
Namun, dewasa ini, terdapat anggapan bahwa akal tidak bisa bersanding dengan
agama. Bagaimana sebenarnya hubungan antar keduanya?
Sesungguhnya, perdebatan mengenai
hal ini telah terjadi sejak jauh hari, dan tidak berhenti hingga saat ini.
Sejarah pemikiran Islam telah menyaksikan, terdapat sebagian golongan yang
menolak penggunaan akal dalam beragama, sebagaimana yang dipraktekkan sebagian
golongan sufi dan salafi, atau golongan yang juga berpegang pada imamnya secara
taqlid buta -sebagaimana yang dipraktekkan sekte batiniyyah-, atau ada
juga golongan yang meletakkan akal di atas agama, sebagaimana yang dipraktekkan
sebagian madzhab filsuf. Imam Al-Ghazali datang untuk mendamaikan hal ini.
Imam Al-Ghazali menggambarkan
peran akal sebagai,
إن مهمة
العقل هي أن يقودنا إلى معرفة الدين: معرفة وجود الله و فهم الوحي الذي أنزله الله
على رسله لإبلاغه إلى البشر
Sesungguhnya, peran akal yaitu
membimbing kita pada mengenal agama:mengenal wujud Allah, dan memahami wahyu
yang Allah turunkan pada RasulNya.
Ia juga mengatakan,
فالعقل
كالأساس و الشرع كالبناء
Akal itu seperti pondasi, dan
syariat seperti bangunan
Maka, keduanya saling melengkapi,
karena tidak ada pondasi tanpa bangunan, dan tidak ada bangunan tanpa pondasi.
Imam Al-Ghazali kembali
menjelaskan, bahwa wajib bagi kita untuk berpegang pada keduanya. Ia berkata,
bahwa orang yang meniadakan akal dalam urusan dunia, adalah orang yang bodoh (جاهل), dan orang yang mencukupkan dirinya
dengan akal, adalah orang yang tertipu (مغرور).
Ibnu Rusyd, yang sering berbeda
pendapat dengan Imam Al-Ghazali, bersepakat dengannya dalam hal hubungan agama
dan akal. Ia berkata dalam fashl al-maqol,
الحكمة
(أي الفلسفة المعتمدة على العقل) صاحبة الشريعة, و الأخت الرضيعة, و هما مصطحبتان
بالطبع, المتحابتان بالجوهر و الغريزة
Hikmah (yaitu filsafat yang
berlandaskan akal) merupakan sahabat dari syariat, dan saudara sepersusuannya.
Mereka salingberkawan, dan mencintai secara alamiah dan insting
Ibnu Rusyd juga mengatakan bahwa
kita tidak akan bisa memahami dan yakin akan ilmu tentang wujud Allah, pengutusan
Rasul, serta memahami maksud dari risalah kecuali dengan jalan pemahaman akal.
Ia menggambarkan akal sebagai أشد أعوان الدين الإسلامي
(penolong terbesar dalam urusan agama Islam).
Sesungguhnya, akal dan agama
merupakan nikmat Allah atas manusia. Dan ia diturunkan pada manusia untuk satu
tujuan, yakni membimbing manusia
No comments:
Post a Comment