Wednesday, January 20, 2021

Tingkat, dan Hakikat Syukur Menurut Imam al-Ghazali

Dalam kitabnya, Ihyâ 'Ulûm al-Dîn, Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa syukur itu terbangun atas tiga hal: ilmu (العلم), keadaan (الحال), dan amal (العمل). Ilmu merupakan asal dari syukur, kemudian ia melahirkan keadaan, dan keadaan melahirkan amal. Ilmu yang dimaksud adalah pengetahuan bahwasanya nikmat itu berasal dari Zat yang memberi nikmat (المنعم). Keadaan yang dimaksud adalah rasa senang yang dihasilkan dari proses pemberian nikmat tersebut, dan amal yang dimaksud adalah perbuatan memanfaatkan nikmat tersebut sesuai dengan maksud Zat yang memberi nikmat. Akan dijelaskan satu per satu asas dari syukur ini.

Ilmu

Yakni, ilmu atas tiga hal: mengetahui akan nikmat itu sendiri, bahwa pemberian nikmat merupakan hak Allah, dan mengetahui tentang Zat yang memberi nikmat.
Hal pertama yang harus kita pahami adalah bahwasanya segala hal yang ada di alam ini -termasuk segala nikmat yang kita rasakan- berasal dari Allah, dan Ia berkuasa atasnya. Ekspresi kesyukuran kita yang biasanya terungkapkan dengan ucapan "Alhamdulillah" tidak cukup sebatas bergeraknya lisan kita, namun wajib dengan pengetahuan, dan keyakinan dalam hati, bahwa segala puji bagi Allah yang telah memberikan segala nikmat atas kita, dan hal ini masuk ke dalam bab keimanan.

Pengetahuan atas hal ini seyogyanya tercetak dalam perbuatan kita sehari-hari. Ketika kita mendapat kemudahan apapun dari manusia, ketahuilah bahwa itu berasal dari Allah. Seseorang yang meyakini bahwa Allah pemberi segala nikmat tidak akan menyandarkan nikmat yang ia peroleh seakan-akan ia berasal dari manusia. Manusia hanya digerakkan oleh Allah untuk membantu kita.

Nabi Musa -'alaihi al-salam- berkata kepada Allah, "Ya Allah, engkau telah menciptakan Adam, dan engkau menggerakkan aku untuk melakukan sesuatu, maka bagaimana cara aku bersyukur kepadamu?" Allah menjawab, "Ketahuilah bahwa segalanya dari-Ku, dan pengetahuan akan hal itu merupakan bagian dari syukur."

Keadaan
Keadaan yang dimaksud adalah rasa bahagia atas Zat pemberi nikmat bersamaan dengan kekhusyukan, dan ketawadhuan. Adapun, syarat rasa bahagia yang terhitung sebagai bentuk syukur adalah ketika rasa bahagia itu muncul terhadap Zat pemberi nikmat, yakni Allah, bukan terhadap nikmatnya, atau atas proses pemberian nikmatnya. Imam al-Ghazali memberi contoh agar kita mudah memahami hal ini:

Ada seorang raja yang mengutus seseorang untuk pergi menjalankan tugas, kemudian raja memberinya kuda untuk membantunya berpergian. Maka, orang itu bisa bahagia dengan tiga macam bentuk:
Bentuk pertama: ia berbahagia karena zat kuda itu sendiri. Hanya karena kuda itu. Bahwa dengan kuda itu, ia bisa berpergian, bahwa ia merupakan harta benda yang bisa dinikmati. Seandainya suatu saat ia menemukan kuda itu di padang pasir, maka ia akan mengambilnya, dan bahagia karena kudanya.
Bentuk kedua: ia berbahagia bukan karena zat kudanya, namun kebahagiannya bersandar kepada pertolongan raja, bahwa raja tadi perhatian kepadanya. Jika ia menemukan kuda itu padang pasir, atau kuda itu diberikan oleh selain raja, maka ia tidak merasa bahagia, karena sebenarnya ia tidak butuh akan kuda tersebut, namun yang ia butuhkan adalah tempat di hati raja agar raja tersebut bisa memberinya kebahagian yang lainnya.
Bentuk ketiga: bahwa ia bahagia karena bisa menungganginya dalam rangka melayani rajanya, dan ia rela menanggung kesulitan perjalanan agar bisa dekat dengan raja. Hal yang terpenting baginya adalah dekat, dan diperhatikan oleh raja tersebut. Bahkan, jika ia memiliki kesempatan untuk menjadi seorang perdana menteri, dan disuruh memilih, antara jabatan perdana menteri, atau dekat dengan raja, maka ia pasti akan memilih dekat dengan raja.

Bentuk pertama tidak masuk ke dalam bentuk syukur. Ia seperti manusia yang bahagia akan sebuah nikmat, hanya karena zat nikmat itu sendiri. Ia bahagia dengan nikmat rumah, karena rumah itu sendiri. Hal ini jauh dari makna syukur.
Bentuk kedua masuk ke dalam bentuk syukur. Ia tidak menyandarkan kebahagiannya pada nikmat itu sendiri, namun ia telah menyandarkan kebahagiannya pada Zat pemberi nikmat, akan tetapi, bukan dari sisi Zatnya itu sendiri, namun dari sisi mengetahui bahwa pertolongan berasal dari-Nya, dan ia berharap diberikan nikmat lagi di masa depan. Ini adalah level orang-orang salih yang beribadah kepada Allah, bersyukur dalam rangka takut akan hukuman-Nya, dan berharap pahala-Nya.
Bentuk ketiga merupakan level tertinggi. Bahwa, ia bahagia atas nikmat tersebut, karena dengan nikmat tersebut ia bisa dekat dengan Allah, dan bisa melihat Allah selamanya. Ia bersedih jika diberi nikmat yang bisa melalaikannya dari mengingat Allah, dan ia tidak berbahagia dengan dunia kecuali bahwa dunia tersebut merupakan ladang bagi akhirat.

Imam asy-Syibli berkata, "Syukur itu ketika kita melihat kepada Zat yang memberi nikmat, bukan ketika melihat nikmat itu sendiri."

Amal
Amal berkaitan dengan tiga hal: hati, lisan, anggota tubuh. Adapun hati, hati yang bersyukur senantiasa meniatkan sesuatu yang baik. Lisan senantiasa mengucap sesuatu yang baik, dan ber-tahmid atas Allah (mengucap Alhamdulillah). Adapun anggota tubuh lainnya, berarti menggunakannya untuk ketaatan, dan tidak menggunakannya untuk perbuatan-perbuatan maksiat. Contoh syukur dengan mata: ketika kita menutupi aib orang lain yang kita lihat. Syukur dengan lisan yakni senantiasa memujinya, dan sebagainya. 
Bagaimana dengan orang yang mengeluh? Imam al-Ghazali menjelaskan, jika seseorang ditanya mengenai keadaanya, ada tiga bentuk orang: ia bersyukur, ia mengeluh, atau ia diam. Adapun syukur adalah ketaatan, dan mengeluh adalah bentuk kemaksiatan. Tingkat terendah yang seyogyanya dilakukan seorang hamba jika ia tidak bisa bersabar adalah mengarahkan keluhannya kepada Allah, karena Ia adalah zat yang bisa mengangkat segala ujian. Namun, bercerita kepada manusia tidaklah menjadi masalah, karena ia bagian dari kebutuhan yang manusiawi, walau tempat bercerita yang pertama, dan utama adalah Allah. Keluhan-keluhan yang menyalahkan Allah adalah bentuk yang dinilai sebagai maksiat.

 

No comments:

Post a Comment

Bunga Bank

  Mesir sedang mengalami keterpurukan ekonomi di bulan Maret 2022 ini. Nilai tukar mata uang Mesir, Egyptian Pound (EGP), terhadap dollar me...