اليقين لا يزال بالشك
Keyakinan tidak hilang dengan keraguan
Makna ragu (الشك) adalah ketika kita tidak bisa menentukan antara dua kondisi, mana yang lebih kuat, dan di antara keduanya tidak ada yang nampak lebih kuat.
Kaidah di atas bermakna bahwa suatu hukum tidak terangkat dengan keraguan. Dalilnya adalah hadis dari Nabi, "Jika salah seorang dari kalian "menemukan" sesuatu di perut kalian (ketika salat), lalu ragu apakah ada yang keluar darinya atau tidak (buang angin), maka jangan tinggalkan masjid sampai kalian mendengar bunyi, atau mencium bau." HR. Muslim dari Abu Hurairah.
Dalam Sahih Bukhari, dan Sahih Muslim juga ditemukan hadis dari Abdullah bin Zaid, bahwa ia berkata, "Seorang pemuda mengadu kepada Nabi bahwa ia merasakan sesuatu di perutnya (saat salat), lalu Nabi berkata, 'Jangan keluar sampai engkau mendengar bunyi, atau mencium bau!'"
Hadis riwayat Muslim dari Abu Sa'id al-Khudri juga berkata, bahwa Rasulullah bersabda, "Jika kalian ragu ketika salat apakah sedang berada di rakaat ketiga, atau empat, maka buanglah keraguan, dan pilihlah mana yang meyakinkan."
Dari kaidah ini, terdapat beberapa turunan kaidahnya:
1. Asalnya, sesuatu tetap pada kondisinya awal (الأصل بقاء ما كان على ما كان)
Maksudnya, asas sesuatu yang datang belakangan, dibangun atas sesuatu yang awal. Contohnya: barang siapa yang yakin pada saat berwudhu, kemudian ragu apakah ia sudah membatalkan wudhunya atau belum (ber-hadas), maka ia masih dalam keadaan suci. Atau, jika ia yakin bahwa ia sedang ber-hadas, namun ragu apakah ia sudah wudhu atau belum, maka hukumnya ia masih dalam keadaan ber-hadas.
2. Asalnya, hukum sesuatu itu terlepas dari tanggungan (الأصل براءة الذمة)
Yakni, terlepas dari tanggungan hak orang lain. Contohnya: jika seorang penyewa merusak suatu barang, lalu berselisih dengan pemilik barang terkait nilai kerusakannya, maka pendapat yang dimenangkan adalah pendapat penyewa. Karena, asalnya ia terlepas dari tanggungan apa yang lebih darinya, atau selama seseorang yang menuduh seseorang yang lain tidak dapat menghadirkan bukti, maka pendapat orang yang tertuduh dimenangkan, karena asalnya ia lepas dari tanggungan.
3. Barang siapa yang ragu apakah ia telah mengerjakan sesuatu atau belum, maka asalnya, ia belum mengerjakannya (من شك هل فعل شيئا أو لا فالأصل أنه لم يفعله)
Termasuk dalam kaidah ini, "Barang siapa yang yakin telah mengerjakan sesuatu, namun ragu pada jumlahnya, apakah yang sedikit, atau yang banyak, maka pendapat yang dipilih adalah yang sedikit, karena sedikit itu yang yakin"
Contohnya: jika seseorang ragu apakah ia meninggalkan salah satu rukun atau tidak ketika ia wudhu, atau salat (misal: ragu apakah tadi membaca Al-Fatihah atau tidak), maka wajib bagi dia untuk mengulang rukunnya, karena asalnya, ia belum mengerjakannya. Atau, ragu apakah ia sedang berada dalam rakaat ketiga, atau keempat, maka pilih yang ketiga, karena itu lebih sedikit.
4. Asal dari segala hukum adalah ketiadaan beban atas orang lain (الأصل العدم)
Maksudnya, seseorang diyakini belum melakukan sesuatu, kecuali ada bukti secara nyata. Contoh: seseorang makan makanan orang lain, kemudian dia berkata kepada pemiliknya, "Tadi kamu membolehkanku untuk memakannya," namun pemilik menyangkal. Maka, pendapat yang dimenangkan adalah yang menyangkal.
5. Asal dari setiap peristiwa dilihat dari waktu yang terdekat (الأصل في كل حادث تقديره بأقرب الزمن)
Contohnya: jika seseorang melihat di celananya ada bekas air mani, namun ia lupa apakah ia bermimpi atau tidak, maka ia wajib untuk mandi. Kemudian, salat apa saja yang harus diulang? Jawabannya adalah salat setelah tidurnya terakhir, karena dilihat dari waktu terdekat (padahal ada kemungkinan/keraguan bahwa ia mimpi di tidur yang lain).
6. Asalnya, sesuatu itu dibolehkan, kecuali ada dalil yang mengharamkan (الحلال ما لم يدل الدليل على تحريمه) (Kaidah Imam asy-Syafi'i)
Dari kaidah ini terdapat beberapa masalah yang terbahas, contoh: hewan yang tidak jelas keadaannya, maka pendapat yang lebih kuat, halal hukumnya.
7. Pada dasarnya, perkataan itu bermakna hakikat (الأصل في الكلام الحقيقة)
Contoh: jika seseorang berwakaf kepada anaknya (الولد), maka wakaf itu tidak mencakup anak dari anaknya (cucu) (ولد الولد), karena kata "walad" pada asalnya dimaknai secara hakikat, yaitu hanya anak. Atau jika seseorang berwakaf kepada hafiz Qur'an, maka seseorang yang pernah hapal, kemudian lupa tidak termasuk di dalamnya, karena perkataannya dimaknai secara hakikat.
No comments:
Post a Comment