Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali dihadapkan dengan keadaan di mana ketika kita salat, kita bermakmum dengan imam yang berbeda mazhab dengan kita. Apa maksudnya?
Contoh yang paling nampak adalah ketika salat jamaah di salat-salat jahriyyah (yang suaranya dikeraskan: subuh, maghrib, isya). Ketika imam membaca Al-Fatihah, ada imam yang membaca “bismillahirrahmanirrahim” dengan keras, ada yang membacanya dengan pelan, ada yang tidak membacanya sama sekali. Hal ini saja sudah memperlihatkan mazhab yang ia anut. Bagi penganut Mazhab Syafi’i sebagai mayoritas di Indonesia misalnya, berpandangan bahwa lafaz “bismillahirrahmanirrahim” termasuk dalam surah Al-Fatihah, sehingga ketika ia tidak dibaca, maka Al-Fatihah-nya tidak sempurna, dan salatnya tidak sah. Berbeda dengan Mazhab Maliki yang berpandangan sebaliknya, maka penganut Mazhab Maliki langsung membaca “alhamdulillahi rabbil ‘alamin” ketika membaca Al-Fatihah. Itu hanya satu contoh di antara beberapa ranah perbedaan pendapat lainnya dalam perkara salat. Lalu bagaimana syariat memandangnya?
Syaikh Wahbah az-Zuhaili menjelaskan bahwa dalam Mazhab Hanafi, dan Syafi'i, disyaratkan bahwa salat imam harus sah dalam pandangan mazhabnya makmum. Contoh: seorang penganut Mazhab Syafi'i salat di belakang imam penganut Mazhab Hanafi. Ia melihat imam itu sebelum salat berjabat tangan dengan perempuan. Dalam Mazhab Hanafi, hal ini tidak membatalkan wudhu, sedangkan dalam Mazhab Syafi'i, hal ini membatalkan wudhu. Maka salat makmum penganut Mazhab Syafi'i tadi tidak sah karena salat imam tidak sah dalam sudut pandang makmum. Maka, menurut kedua mazhab ini, sah/tidaknya makmum berpegangan pada sudut pandang mazhab makmum (al-'ibrah bi madzhab al-ma'mûm).
Menurut Mazhab Maliki, dan Hanbali, jika dalam perkara sahnya salat, maka sah/tidaknya makmum berpegangan pada sudut pandang mazhab imam (al-'ibrah bi madzhab al-imâm). Sehingga, jika seorang penganut Mazhab Maliki salat di belakang imam yang bermazhab Syafi'i, dan sang imam tidak membasuh seluruh bagian kepalanya saat wudhu (yang mana, hal ini adalah syarat di Mazhab Maliki), maka salatnya tetap sah. Karena, dalam Mazhab Syafi'i, yang wajib hanyalah membasuh sebagian kepala, dan sah/tidaknya salat makmum berpegang pada sudut pandang mazhab imam.
Syaikh Wahbah az-Zuhaili menyimpulkan, bahwa pendapat Mazhab Maliki, dan Hanbali yang ia pilih karena ia lebih bisa diterima secara logika, karena para sahabat, dan tabi'in mempraktekkannya sejak dahulu, dan hal ini juga bisa menghilangkan kefanatikan mazhab.
Sumber: al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh jilid 2
No comments:
Post a Comment