Saturday, January 16, 2021

Ushul Fiqh: Hukum Taklifi

Hukum taklifi dibagi jadi lima menurut mayoritas ulama ushul:

1. Wajib (الواجب)
Imam al-Baidhowi mendefinisikan "wajib" sebagai sesuatu yang syariat cela atas orang yang meninggalkannya dengan kesengajaan secara mutlak.
Catatan: 
-Ada kata "kesengajaan" pada definisi, karena jika tidak sengaja, seperti misalnya, orang yang tertidur, dan melewatkan waktu salat, padahal ia yakin bisa bangun tepat waktu, maka ia tidak termasuk yang dicela oleh syariat. 
-Ada kata "mutlak" juga yang perlu diperhatikan, karena kita juga mengenal istilah wajib muwassa', wajib mukhayyar, dan fardhu kifayah. Contoh kasus dengan konteks wajib muwassa' adalah ketika seseorang meninggalkan ibadah di satu bagian dari waktu yang termasuk muwassa', maka ia tidak termasuk meninggalkan secara mutlak (contoh: orang yang salat dzuhur pada pukul 14.00, padahal azan zuhur sudah berkumandang pada pukul 12.00, namun azan ashar masih pukul 15.00).

2. Mandub (المندوب)
Mandub memiliki nama lain, seperti sunnah, mustahab, dan sebagainya. Secara istilah ia didefinisikan sebagai apa yang dituntut oleh syariat untuk dikerjakan namun tidak dengan sifat mutlak. Atau, ia juga dikenal sebagai sesuatu yang pelakunya dipuji oleh syariat jika melakukannya, namun tidak dicela jika meninggalkannya.

3. Muharram (المحرم)
Muharram secara istilah dimaknai sebagai sesuatu yang dituntut oleh syariat untuk ditinggalkan secara mutlak, atau dikenal juga sebagai sesuatu yang membuat pelakunya dicela oleh syariat, dan orang yang meninggalkannya dipuji oleh syariat -jika meninggalkan karena ketaatan-.
Ada hal yang perlu diperhatikan dalam jenis-jenis haram. Haram terbagi jadi dua:

a. Haram karena zatnya (الحرام لعينه)
Yaitu, haram yang sebab keharamannya ada pada "zat" perbuatan itu sendiri. Secara asalnya, ia memang haram. Contoh: meminum khamr, makan babi, zina, mencuri. 
Hukum dari haram li 'ainih ini adalah ia tidak bisa menjadi "sebab syar'i". Ia tidak meninggalkan "bekas" hukum. Contohnya: ketika seseorang zina, kemudian hamil, dan memiliki anak, nasab si anak tidak bisa tersambung ke sang bapak. Ketika seseorang mencuri, kepemilikan pemilik barang tidak berpindah ke pencuri sebagaimana yang terjadi di jual beli.

b. Haram karena faktor selain zat (الحرام لغيره)
Yaitu, haram yang sebab keharamannya bukan pada "zat"-nya itu sendiri, namun karena ada sesuatu lain yang menuntut keharamannya. Contoh: menjual di atas jualan orang lain, melamar orang yang sudah dilamar orang lain, atau jual-beli saat azan salat Jumat. Melamar, dan jual beli pada asalnya adalah boleh, namun karena ada sebab lain, yaitu adanya lamaran orang lain, jual-beli yang dilakukan penjual lainnya, dan waktu salat Jumat membuatnya menjadi haram.
Hukum dari haram li ghairihi ini menurut mayoritas ulama adalah sah atas ibadah/muamalahnya, meninggalkan "bekas" hukum, namun orang yang melakukannya mendapat dosa. Menurut mazhab Zhahiriyyah, Imam Malik, dan Ahmad di salah satu riwayatnya, ibadah/muamalahnya tidak sah.
Jadi, menurut mayoritas ulama, jika ada orang yang melamar perempuan yang sudah dilamar orang lain, maka lamarannya sah, namun pelakunya berdosa. Begitu juga jika ada orang yang berjualan di waktu salat Jumat, jual-belinya sah, terjadi perpindahan kepemilikan dari penjual ke pembeli, namun pelakunya berdosa.
Catatan: haram li 'ainihi berubah jadi boleh dilakukan pada kondisi darurat saja. Parameter darurat adalah situasi yang membahayakan nyawa. Misalkan, memakan babi menjadi boleh jika sedang tersesat di hutan, dan tidak ada makanan lagi. Sedangkan, haram li ghairihi berubah jadi boleh pada kondisi darurat, atau hajat (keperluan). Kondisi hajat ada di bawah darurat, yakni kondisi yang mendatangkan kesulitan. Misalnya, karena keperluan pengobatan, membuka aurat menjadi boleh, karena secara zat, membuka aurat bukan perkara yang diharamkan.

4. Makruh (المكروه)
Makruh secara istilah artinya apa yang dituntut oleh syariat untuk ditinggalkan namun tidak dengan sifat mutlak, atau dikenal juga sebagai sesuatu yang dipuji syariat jika ditinggalkan, dan tidak dicela juga jika dikerjakan. Hukum dari makruh ini, jika ia dikerjakan, tidak mendapat dosa, namun jika ditinggalkan -dengan niat ketaatan- maka diganjar pahala.

5. Mubah (المباح)
Mubah secara istilah artinya apa-apa yang tidak dituntut oleh syariat untuk dikerjakan, atau ditinggalkan, atau dikenal juga sebagai sesuatu yang tidak dipuji oleh syariat jika dikerjakan, dan ditinggalkan. Mubah dikenal juga sebagai halal, jaiz

Sumber: irsyâd al-'uqûl ilâ qawâ'id al-ushûl



No comments:

Post a Comment

Bunga Bank

  Mesir sedang mengalami keterpurukan ekonomi di bulan Maret 2022 ini. Nilai tukar mata uang Mesir, Egyptian Pound (EGP), terhadap dollar me...