Tuesday, January 12, 2021

Risalah Keluarga dalam Islam (1)

Berikut adalah catatan dari karya agung seorang ulama kontemporer, Al-'Allamah Syaikh Yusuf al-Qardhawi -rahimahullah- mengenai keluarga yang berjudul al-usrah kamâ yurîduhâ al-islâm.

1. Keluarga yang mantap/stabil (الزواج المستقر)

Keluarga secara definisi adalah kesatuan sosial yang dibangun atas laki-laki, dan perempuan dan dengan ikatan yang sesuai syariat. Dengan ikatan tersebut, dibangun atasnya kewajiban, dan hak satu sama lain. Keluarga merupakan perwujudan dari fitrah yang Allah ciptakan, yakni hidup berpasang-pasangan. Hal yang perlu dicatat bagi seorang Muslim adalah bahwa pernikahan bukanlah semata-mata ikatan antara jasad dengan jasad. Namun ia adalah ikatan antar manusia, dan di dalam manusia terdapat akal, emosi, naluri, dan jiwa. Ia lebih dari sekedar jasad semata.

Keluarga Muslim tidak lah hanya memiliki tujuan yang bersifat fisik; menuntaskan syahwat dengan cara yang halal, atau mengenyangkan perut, namun ia harus lebih dari itu, yaitu membangun rumah yang penuh dengan keimanan, keluarga yang salih, dan itu merupakan inti dari masyarakat yang salih. Rumah yang penuh dengan keimanan yang dimaksud adalah rumah yang terdapat tiga asas; sakinah, mawaddah, dan rahmah. Keluarga juga memiliki tujuan asasi, yaitu mempertahankan keturunan. Ia menjadi penting karena dengan berkembang biaklah dakwah Islam ini senantiasa berjalan. Adapun, asas dari sebuah keluarga yang mantap adalah:

a. Memilih sebaik-baik pasangan (حسن الاختيار)
Seyogyanya bagi seorang Muslim untuk memperhatikan siapa yang akan jadi partner dalam hidupnya. Ia harus menetapkan kriteria dalam pemilihannya, dan seorang Muslim tidak hanya berhenti dalam kriteria yang bersifat “fisik”, akan tetapi, haruslah memperhatikan kriteria asasi berikut:

i. Baik agama, dan akhlaknya
Terdapat banyak riwayat yang menjelaskan keutamaan perempuan salihah, bahwa kriteria paling utama dalam menikahi seseorang adalah karena agamanya, bahwa ia sebaik-baik “perhiasan” di muka bumi. Pasangan yang memiliki agama dalam konteks pernikahan adalah pasangan yang takut kepada Allah, dan menjaga hak pasangan, dan rumahnya, baik saat pasangannya ada, atau tiada.

ii. Keserasian jiwa
Hal ini bisa dilihat dari pandangan/pertemuan pertama. Dari perkataan, atau hanyalah perbuatan-perbuatan kecil. Di antara hikmah dari diperintahkannya melihat calon pasangan dahulu saat meng-khitbah adalah agar kita bisa menilai apakah terdapat keserasian secara “ruh” atau tidak. Tanda ketika keserasian itu ada adalah ketika yang satu masuk ke dalam hati yang lain, ia merasa dekat dengannya, merasa ia melengkapi dirinya, dan bagian dari dirinya sendiri.

iii. Kecocokan
Kecocokan yang dimaksud di sini adalah kecocokan satu sama lain dalam hal keadaan-keadaan fisik, kejiwaan, pikiran, umur, dan sosial. Adanya ketidak-cocokan dalam hal ini dikhawatirkan akan melahirkan ke-tidak tenang-an dalam kehidupan perkawinan. Contohnya: seyogyanya, tidak seharusnya seorang lelaki yang fakir untuk menikahi perempuan yang kaya karena ingin hidup dengan harta perempuan tersebut, karena pada asalnya, lelakilah yang menjadi pemimpin, dan pemberi nafkah pada istrinya, atau laki-laki yang buta huruf menikahi seorang akademisi perempuan, dikhawatirkan ia tidak “bekerja sama”dengan perempuan tersebut melainkan hanya dalam perkara makan, dan minum. Inilah hal yang diisyaratkan Rasulullah ﷺ juga ketika menyarankan Jabir bin Abdillah, pemuda Anshor untuk menikahi gadis (karena ia sesama muda) (saat itu, Jabir sudah menikahi janda). Namun, peristiwa ini juga mengajarkan tentang kondisi pengecualian, karena alasan Jabir menikahi janda saat itu adalah ia memiliki banyak saudara perempuan yang masih kecil, maka ia butuh pasangan yang dewasa, dan juga bisa bertindak sebagai seorang ibu. Maka, pengecualian-pengecualian tetap ada, namun dengan alasan yang kuat.

b. Kebebasan Memilih (حرية الاختيار)
Syariat Islam memberikan jaminan bagi seseorang untuk memilih pasangannya sendiri, tanpa paksaan siapapun -bahkan orang tuanya-. Pemaksaan akan pernikahan banyak terjadi kepada perempuan, bahkan di jaman kini. Padahal itu adalah hal yang menjadi tabiat masa ke-jahiliyyah-an, dan Islam datang justru untuk membebaskan hal tersebut.

Maka, perempuan adalah tuan bagi dirinya sendiri. Jika ayah/orang lain memilihkan pasangan untuknya, maka wajib baginya untuk setuju. Jika tidak, maka pernikahan tersebut tidak sah. Terdapat banyak hadis yang menjelaskan bahwa Rasulullah ﷺ melarang hal ini, di antaranya hadis dari Ibnu Abbas, bahwa suatu saat seorang budak yang masih gadis datang ke Rasulullah ﷺ dan melaporkan bahwa ia dinikahkan oleh ayahnya, sedangkan ia tidak menyukainya, kemudian Rasulullah ﷺ memberikan gadis itu pilihan atas dirinya sendiri. Imam al-Shan’ani dalam Subul as-Salam menjelaskan hadis ini, bahwa ia memiliki makna apa adanya, yakni “haram bagi seorang ayah, atau yang lainnya dari wali perempuan, untuk memaksa menikahkan anaknya”.

c. Menjaga hak-hak dalam hubungan pernikahan (رعاية الحقوق الزوجية)
Asas selanjutnya dalam membangun keluarga yang mantap adalah dengan menjaga hak-hak satu sama lain dalam pernikahan. Hak datang dengan kewajiban, maka seyogyanya semuanya tertunaikan dengan baik. Seperti, hak seorang ayah untuk mendapatkan bakti dari anaknya, dan hak seorang anak untuk mendapat pendidikan, dan asuhan dari ayahnya. Hak nafkah bagi seorang istri, dan hak untuk dihormati bagi seorang suami. Islam memfokuskan agar kita menunaikan kewajiban kita, daripada kita menuntut hak kita. Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas merapikan rambutnya, janggutnya, dan memperindah dirinya sendiri. Seseorang bertanya kepadanya mengapa ia melakukan itu? Ibnu Abbas menjawab, “Aku memperindah diriku untuk istriku, sebagaimana ia memperindah dirinya untuk diriku.
Dari mana kita bisa mengetahui mengenai hak-hak pernikahan ini?

1. Syariat (yakni hukum-hukum Allah)

Dari sisi syariat, hak-hak istri atas suaminya adalah; 1) Mahar, 2) Nafkah, 3) Perlakuan baik, dengan perkataan, atau perbuatan. Adapun, hak-hak suami atas istrinya adalah; 1) Penerimaan atas kepemimpinannya. Hal ini bukan berarti suami menjadi “diktator”, namun hendaknya mencotoh Nabi ﷺ yang tetap bermusyawarah dengan istrinya, seperti yang Nabi ﷺ lakukan ketika bermusyawarah dengan Ummu Salamah dalam peristiwa Hudaibiyyah. 2) Penjagaan atas hartanya, 3) Penjagaan selama ketiadaannya, 4) Penjagaan atas anak-anak, dan ini adalah perkara kerja sama antar keduanya. Namun, di tahun-tahun awal, peran ibu lebih besar, 5) Bantuan dalam amal kebaikan, dan menjauhi keburukan, 6) Kesabaran dari istri, sebagaimana suami sabar atas istri.

2. Adat yang Baik
Ia lah yang memerinci hukum-hukum Allah. Seperti kewajiban atas nafkah, namun parameternya adalah kebiasaan/’urf  itu sendiri. Ibnu Mas’ud berkata, “Apa yang diliat masyarakat Muslim sebagai kebaikan, maka Allah melihatnya sebagai kebaikan, dan apa yang diliat sebagai keburukan, maka Allah melihatnya sebagai keburukan.

d. Menjaga Kemantapan Keluarga (المحافظة على استقرار الأسرة)
Salah satu ahli hikmah, berkata, “Seyogyanya bagi seseorang untuk membuka matanya sebelum menikah, dan menutup sebelah matanya setelah menikah,” maksudnya adalah hendaknya ia berlapang dada, dan “sedikit abai” terhadap kesalahan pasangannya.

Setelah proses pembangunan keluarga yang mantap, kita harus menjaga keberlangsungannya, agar tidak jatuh ke jurang yang bernama perceraian -walau ia dimakruhkan dalam Islam-. Perceraian layaknya operasi dalam dunia kedokteran. Ia tidak dilakukan kecuali dalam keadaan “darurat”. Termasuk dalam hal ini, menjaga keharmonisan keluarga dari dosa-dosa besar yang terlihat marak dipraktekkan; zina, selingkuh, dan sebagainya.

No comments:

Post a Comment

Bunga Bank

  Mesir sedang mengalami keterpurukan ekonomi di bulan Maret 2022 ini. Nilai tukar mata uang Mesir, Egyptian Pound (EGP), terhadap dollar me...