Syarat sah salat ada lima: mengetahui masuknya waktu, menghadap kiblat, menutup aurat, suci badan pakian, dan tempat dari najis, suci dari hadas.
1. Mengetahui masuknya waktu
Wajib untuk tahu, baik secara yakin, atau dugaan, akan waktu salatnya. Jika ia tidak tahu, dan langsung salat tanpa memikirkannya, maka salatnya tidak sah. Berbeda dengan orang yang berusaha untuk mencari taâu apakah waktunya sudah masuk atau belum. Jika, ia sudah berusaha, kemudian setelah ia salat, ternyata ia salat sebelum waktunya masuk, maka salatnya tersebut menjadi salat peng-qadha salat yang ia luputkan, jika ia tidak pernah meluputkan salat, maka itu terhitung sebagai salat sunnah mutlak. Contoh kasus: Jika ada orang yang salat subuh selama sebulan, kemudian ia baru tahu bahwa selama itu ia salat sebelum waktu subuh masuk, maka ia tidak harus mengganti (meng-qadha) seluruh salat subuhnya, namun hanya subuh di hari akhir. Mengapa? Karena misalnya, subuh di hari ke-2 yang terlalu awal, menjadi peng-qadha salat subuh di hari ke-1, subuh di hari ke-3 menjadi peng-qadha subuh di hari ke-2, dan seterusnya. Sehingga hanya subuh hari terakhir yang harus di-qadha. Tidak mengapa juga untuk salat dengan niat adâ' (salat di waktunya) walau ternyata hakikatnya ia salat qadha (karena ternyata waktunya sudah lewat), dan begitu juga sebaliknya, jika ia memang tidak tahu dengan keadaan sebenarnya.
2. Menghadap kiblat
Jika kakbah berada di dekat kita, maka wajib menghadapnya secara yakin, namun jika ia jauh, cukup dengan dugaan. Bagian yang dimaksud menghadap ke kiblat adalah bagian dada bagi orang yang berdiri, dan wajahnya bagi orang yang berbaring, maka wajib mengangkat sedikit mukanya ke arah kiblat jika mampu. Seseorang boleh tidak menghadap kiblat pada dua kondisi: 1) Kondisi ketakutan akan banyaknya musuh, atau peperangan. Maka ia bisa salat dengan semampunya, 2) Salat yang sifatnya sunnah di perjalanan. Seperti, misalnya di mobil. Maka, ia bisa salat sunnah di sana walau tidak menghadap kiblat. Namun, jika ia mungkin untuk menghadap kiblat, maka ia harus menghadap kiblat.
3. Menutup aurat
Penjelasan tentang batas aurat ada di: https://muammarfarras.blogspot.com/2020/12/batas-aurat-dalam-tinjauan-empat-madzhab.html
Kain yang dipakai untuk menutup aurat harus
suci, dan tidak menampakkan warna kulit (tidak transparan). Aurat wajib ditutup
dari sudut pandang arah atas, dan samping. Misalnya, ketika seseorang
menggunakan baju yang krahnya lebar sehingga ketika ia rukuk/sujud, bagian
pusar (yang mana ini adalah aurat) bisa keliatan dari sela-selanya, maka ini
termasuk membatalkan salat. Begitu juga jika bagian bawah bajunya terlalu
pendek sehingga ketika rukuk ia terbuka, jika ia tidak segera memperbaikinya.
Namun, aurat tidak wajib ditutup dari sudut pandang arah bawah, sehingga jika
ada orang yang salat di tempat atas, kemudian ada orang yang melihat auratnya
dari bawah, maka itu tidak mengapa.
4. Suci dari hadas
Yakni, dari hadas kecil, dan besar. Jika
seseorang salat, namun lupa menghilangkan hadas (dengan wudhu untuk hadas
kecil, dan mandi junub untuk hadas besar), maka salatnya tidak sah.
5. Suci badan, pakaian, dan tempat dari najis
Yakni, najis yang tidak termaafkan. Pakaian
meliputi sesuatu yang dikenakan dan ikut bergerak dengan gerakan kita, badan
meliputi mulut, hidung, dan mata, dan tempat yang dimaksud adalah tempat yang
bersentuhan dengan pakaian, dan badan kita.
Jika ada keraguan, apakah bagian-bagian tersebut najis, atau suci, maka hendaknya ber-ijtihad (berusaha menarik kesimpulan apakah dia suci/najis). Jika telah ber-ijtihad di salat pertama (misal: maghrib), maka salat kedua (misal: isya) tidak perlu ijtihad lagi, bersandar kepada ijtihad pertama. Lalu, jika ada ijtihad kedua (misalnya, ia berubah pikiran ketika ingin salat isya, bahwa ternyata kesimpulannya ada najis di pakaiannya), maka salat keduanya bersandar pada ijtihad kedua, dan salat pertama (maghrib) tidak perlu diulang. Keadaan setelah ijtihad berbeda dengan lupa. Jika seseorang lupa bahwa badan, pakaian, dan tempatnya ada najis, lalu salat, maka ketika ia ingat, wajib diulang, karena salatnya tidak sah.
Jika najis berada di tempat yang sejajar dengan dada kita saat rukuk, dan sujud (bagian tengah sajadah kita), maka tidak mengapa, sekalipun terkena, maka itu termaafkan.
ٍSumber:
Kanzu al-Râghibîn
Kâsyifatu al-Sajâ
No comments:
Post a Comment