Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali menemui kondisi di mana kita harus bersalaman. Entah itu ketika hari raya, di mana harus bertemu dengan keluarga besar, lingkungan kerja, sekolah, bertemu teman, kerabat, dan sebagainya. Kemudian, yang jadi pembahasan adalah bagaimana fikih memandang hal tersebut?
Pertama, ada dua keadaan yang telah disepakati hukumnya:
1. Jika salaman disertai dengan syahwat, atau khawatir akan adanya "fitnah" (perbuatan yang bisa menyebabkan dosa), maka hukumnya haram, karena menutup celah terhadap sebuah kerusakan (sadd adz-dzari'ah) adalah wajib hukumnya. Hal ini termasuk juga dalam bersalaman dengan mahram (yang sebenarnya, hukum asalnya adalah boleh). Ketika kita bersalaman - misalnya - dengan adik dari ayah (tante), hukum asalnya boleh, tapi ketika diiringi dengan syahwat, atau khawatir adanya "fitnah", maka hukumnya berubah jadi haram.
2. Boleh hukumnya bersalaman dengan orang yang sudah tua, atau anak kecil karena aman dari sebab "fitnah".
Kemudian pembahasan dalam tulisan ini adalah kepada hal-hal selain dua kondisi di atas, bagaimana hukumnya?
Beberapa ulama mengatakan hukumnya haram, berdalil dengan beberapa dalil berikut:
1. Nabi ﷺ meninggalkan salaman ketika mem-bai'at perempuan di fath al-makkah seperti dikisahkan di surah al-Mumtahanah, dan Nabi ﷺ dikatakan tidak pernah menjabat tangan perempuan. Dengan ini, maka bersalaman dengan non mahram hukumnya haram.
Pembahasan: Bahwa ketika Nabi ﷺ meninggalkan sesuatu, bukan berarti menunjukkan kepastian akan keharaman. Mungkin ia menunjukkan keharaman, atau kemakruhan, atau memilih perbuatan yang lebih baik, atau hanya karena beliau ﷺ tidak menyukai hal tersebut, seperti ketika Nabi ﷺ tidak memakan biawak, padahal hukumnya mubah (boleh).
Kemudian, dari tinjauan riwayat sendiri, perkara "Nabi ﷺ meninggalkan bersalaman" juga bukan perkara yang disepakati. Mengapa? Karena ada riwayat dari Ummu 'Athiyyah al-Anshari yang menyatakan bahwa Nabi ﷺ bersalaman ketika mem-bai'at - berbeda dari riwayat Sayyidah Aisyah yang membantah hal tersebut dengan mengatakan bahwa proses pem-bai'at-an terjadi dengan Nabi ﷺ yang memanjangkan tangannya dari luar rumah, dan para perempuan yang memanjangkan tangannya dari dalam rumah, lalu Nabi ﷺ berkata, "Ya Allah, persaksikanlah!" -.
Ada beberapa riwayat lagi, seperti dari asy-Sya'bi yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ mem-bai'at perempuan dengan menggunakan kain (sebagai penghalang agar kulitnya tidak bertemu langsung), dan berkata, "Aku tidak bersalaman (langsung) dengan perempuan."
Al-Hafiz Ibnu Hajar kemudian memberi kesimpulan dari kemungkinan-kemungkinan ini, bahwa kemungkinan, bai'at terjadi beberapa kali. Ada bai'at yang terjadi hanya dengan perkataan (tanpa salaman sama sekali) seperti yang diriwayatkan Sayyidah Aisyah, ada yang dengan salaman namun dengan penghalang seperti yang diriwayatkan asy-Sya'bi, ada yang dengan mencelupkan tangan ke bejana seperti yang diriwayatkan Ibnu Ishaq, ada yang dengan bersalaman langsung (tanpa penghalang) seperti yang diriwayatkan Ummu 'Athiyyah.
2. Beberapa ulama mengatakan keharaman bersalaman dengan non mahram berdalil dengan dalil yang populer kita baca:
لِأَنْ يُطْعَنَ فِيْ رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةٍ لاَ تَحِلُّ لَهُ
Tertusuknya kepala salah seorang di antara kalian dengan jarum besi, lebih baik daripadaia menyentuh wanita yang tidak halal baginya.
Pembahasan:
Pertama, ulama hadis tidak bersepakat akan sahnya hadis tersebut. al-Haitsami mengatakan bahwa periwayatnya orang yang tsiqoh, tapi hal ini tidak menunjukkan bahwa hadis tersebut selamat dari 'illah, atau terputusnya sanad. Tidak ada ahli fikih klasik yang berdalil dengan hadis ini.
Kedua, ahli fikih dari kalangan Hanafiyyah, dan sebagian Malikiyyah mengatakan bahwa keharaman harus didasarkan pada dalil yang sifatnya qoth'i (pasti), seperti Al-Qur'an, atau hadis yang mutawatir, atau masyhur. Hadis yang terdapat syubhat atau keraguan di dalamnya, paling jauh hanya menyebabkan kemakruhan.
Ketiga, jika kita terima hadis tersebut, bahwasanya hadis tersebut sahih. Kemudian kita bisa mendiskusikan makna المس di lafaz hadis tersebut. Secara bahasa, memang kata al-mass bisa dimaknai "menyentuh". Tetapi, makna kata tersebut tidak bisa langsung diartikan menyentuh saja. Ada beberapa kemungkinan dari makna kata al-mass, bahkan terdapat di Al-Qur'an, seperti:
a. Kinayah dari kata jima' (hubungan suami istri) seperti dalam surah An-Nisa:43, Ali-Imran:47, Al-Baqarah:237.
b. Al-mass bisa juga diartikan tindakan yang mengawali hubungan suami istri, seperti pelukan, atau ciuman. Seperti dalam Mustadrak al-Hakim yang meriwayatkan hadis dari Umar, yang berkata, "Sesungguhnya ciuman bagian dari al-lams, maka berwudhulah setelahnya."
Dari sini, Madzhab Maliki, dan Hanbali menafsirkan ayat 43 dari An-Nisa yang berbunyi, "Aw lâmastum an-nisa" sebagai pegangan tangan yang diiringi syahwat. Makanya, dalam Mazhab Maliki, dan Hanbali, berpegangan tangan dengan istri tidak membatalkan wudhu, kecuali dengan syahwat.
Seorang Arab, dan Mawali (orang Islam non Arab di periode awal Islam) berdebat tentang makna al-mass / al-lams. Arab berkata bahwa maksudnya adalah hubungan suami istri, dan Mawali berkata, selain hubungan suami istri. Ibnu Abbas membenarkan orang Arab bahwa makna al-mass adalah hubungan suami istri.
Kesimpulan:
Syaikh Yusuf al-Qardhawi memberi kesimpulan atas diskusi mengenai hukum bersalaman dengan non mahram dengan bijaksana, bahwa secara asalnya, bersalaman boleh hukumnya. Seperti misalnya, ketika ada keluarga besar datang, atau ketika ada keperluan-keperluan lainnya.
Namun, beliau rahimahullah memberi penekanan (atau, rekomendasi):
1. Bersalaman boleh jika tidak diiringi dengan syahwat, atau kekhawatiran adanya "fitnah", baik dari sisi perempuan, atau laki-laki. Jika ada salah satunya, maka menjadi haram.
2. Seyogyanya, kita tidak bermudah-mudahan dalam bersalaman dengan non mahram. Beramal dengan asas "menutup celah dari kemungkinan keburukan". Dan lebih baik bagi seorang muslim/muslimah untuk tidak memulai bersalaman dengan non mahramnya jika memang dirasa tidak ada hajat/keperluan. Adapun, jika ia diajak bersalaman, maka sambut lah, tidak mengapa, karena asal hukumnya boleh.
Wallahu a'lam
Sumber: fatâwâ al-mar'ah al-muslimah
Catatan: Bersalaman beda dengan pegangan tangan yes 🙏
No comments:
Post a Comment