Monday, October 26, 2020

Ngaji Fikih Muamalah: Qardh

Qardh adalah salah satu jenis dari salaf (hutang). Qardh adalah hutang yang paling umum kita kenal, seperti kita meminjam uang untuk membeli sesuatu, lalu kita ganti senilai dengan apa yang kita pinjam. Ketika kita bicara hutang, maka kita harus berhati-hati dengan istilah lainnya dalam fikih, ada ariyah (utang pinjam manfaat barang, kemudian barang dikembalikan), ada bai' muajjal (utang karena jual-beli yang bayarnya tempo), bay taqsith (hutang karena jual-beli bayarnya cicilan), dsb. Qardh adalah hutang sesuatu, kemudian dipakai, dihabiskan, kemudian diganti senilai.

Ketika membahas qardh, maka akan erat kaitannya dengan bahasan riba pinjaman di bahasan sebelumnya, telah kita bahas bahwa riba dalam qardh (pinjaman) berlaku jika: 1) Dipersyaratkan, 2) Ada aliran manfaat, 3) Ke pemberi hutang, 4) Akadnya hutang. Selama tidak dipersyaratkan, maka mengembalikan hutang qardh dengan kelebihan, hukumnya justru sunnah.

Hukum memberi hutang adalah sunnah. Sesuai dengan hadits riwayat Abu Hurairah, "Barangsiapa yang menyelesaikan beban duniawi seorang muslim, maka Allah akan menyelesaikan bebannya di hari kiamat. Dan Allah senantiasa menolong hambanya, selama hambanya menolong saudaranya.", sedang hukum berhutang adalah mubah.

Ibnu Abi Musa berkata, "Aku tidak menyukai untuk membawa amanah atas apa yang aku tidak bisa penuhi." Maksudnya, hendaklah berhutang sesuai dengan kemampuan kita, kita bisa mengira-ngira untuk mampu mengembalikannya.

Sumber:

fiqh al-maliyah fi al-islam. Syaikh Hassan Ayyub

Menjawab Tudingan Miring pada Bank Syariah. Ahmad Ifham Sholihin


Friday, October 23, 2020

Ngaji Fikih Muamalah: Riba Jual-Beli

Riba jual-beli (buyu') adalah jenis ke-2 dari riba, selain riba pinjaman. Perlu dicatat bahwa riba hanya mencakup dua hal ini saja. Riba jual-beli sesuai namanya, adalah tambahan manfaat yang terjadi pada jual-beli barang ribawi, dan transaksi ini dilarang dalam Islam.

Barang Ribawi

Barang ribawi adalah barang yang memiliki kemungkinan untuk terkena hukum riba. Artinya, tidak ada riba selain daripada jual-beli barang ini. Apa saja barang ribawi?

Dari Ubadah bin Shamait berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:” Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, terigu dengan terigu, korma dengan korma, garam dengan garam harus sama beratnya dan tunai. Jika jenisnya berbeda maka juallah sekehendakmu tetapi harus tunai (HR Muslim).

Hadits menyebutkan emas, perak, gandum, terigu, kurma, dan garam sebagai barang ribawi. Barang yang memiliki kemungkinan untuk terkena hukum riba. Pertanyaannya, apakah hanya itu barang ribawi? 'Ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Ada yang berpendapat bahwa barang ribawi hanya keenam itu, namun 'ulama lain memilih untuk melihat 'illah dari barang ribawi ini.

'Illah dari emas, dan perak adalah mata uang, sedangkan gandum, terigu, kurma, dan garam adalah makanan, maka kedua jenis barang tersebut yang termasuk dalam barang ribawi. Dewasa ini, mata uang kita adalah uang kertas, maka uang kertas termasuk ke dalam barang ribawi. 

Setelah mengetahui apa barang ribawi, maka kita mesti membagi dua jenis pertukaran, dengan syaratnya masing-masing agar terhindar dari riba.

Pertukaran Barang Sejenis

Misalnya: pertukaran gandum dengan gandum, beras dengan beras, rupiah dengan rupiah. Untuk pertukaran barang sejenis, syaratnya: sama kualitasnya, sama kuantitasnya, dan dilakukan tunai. Maka, misalnya, kita menukar uang Rp100.000,00 dengan pecahan Rp10.000,00 sebanyak sembilan lembar (Total=Rp90.000,00) untuk membagi THR, maka hal ini adalah riba, karena terjadi pertukaran barang sejenis, namun berbeda nilainya. 

Pertukaran Barang Beda Jenis

Misalnya: pertukaran antara dollar dengan rupiah, kurma dengan beras. Untuk pertukaran barang beda jenis, maka syaratnya hanya: tunai. Tunai artinya dilakukan saat itu juga, tidak boleh dicicil. Maka, misalnya kita melakukan jual-beli dollar dengan rupiah, namun penyerahan dilakukan keesokan harinya, maka inilah riba jual-beli. Namun, tidak mengapa jika berbeda dalam ukuran, maka dalam jual-beli valas, boleh mengambil margin, karena hanya disyaratkan tunai.

Jual-Beli Emas dengan Cicilan

Dewasa ini, kita sering mendengar terkait jual-beli emas dengan cara menyicil. Bagaimana hukumnya? Hal ini jadi perbedaan pendapat di kalangan 'ulama. Titik perbedaannya adalah pada cara pandang terhadap emas sebagai barang ribawi. Bagi yang melihat melalui 'illah bahwasanya yang diharamkan adalah emas, dan perak sebagai alat tukar (karena di zaman dulu, emas, dan perak berfungsi sebaagai alat tukar) maka memandang bahwa jual-beli emas secara menyicil adalah boleh, mengapa? Karena emas bukanlah barang ribawi, karena saat ini, ia bukanlah berfungsi sebagai alat tukar, tetapi komoditi. 

Sedangkan, yang memandang bahwa emas, dan perak adalah barang ribawi, sesuai dengan apa yang tertulis secara tekstual dalam hadits, maka jual-beli emas secara menyicil adalah haram. Mengapa? Karena jika kita membayar emas seharga Rp1.000.000,00 secara menyicil, artinya kita sedang transaksi barang ribawi berbeda jenis. Sedangkan dalam hal ini, syaratnya adalah harus dilakukan dengan tunai sebagaimana yang dijelaskan di atas. 

Dewan Syariah Nasional MUI dalam fatwanya nomor 77 tahun 2010 menghukumi boleh dalam menyicil emas, karena emas bukan merupakan alat tukar yang resmi dewasa ini.

Sumber:

fiqh al-muamalat al-maliyah fi al-islam. Syaikh Hassan Ayyub

Menjawab Tudingan Miring pada Bank Syariah. Ahmad Ifham Sholihin

Riba, Gharar, dan Kaidah-Kaidah Ekonomi Syariah. Dr. Oni Sahroni

Kiat-Kiat Syar'i Hindari Riba. Ahmad Sarwat

Wednesday, October 21, 2020

Ngaji Fikih Muamalah: Riba Pinjaman (Qardh)

Riba secara bahasa berarti tambahan (ziyadah). Dalam syariat, ia melekat pada dua jenis, yaitu riba pinjaman/nasiah/jahiliyyah/qardh, dan riba jual-beli/buyu'/fadhl. Riba berakar pada praktek yang sering dilakukan kaum jahiliyyah saat itu (yang kemudian dikenal dengan riba jahiliyyah). Yang mereka lakukan pada saat itu adalah, ketika mereka meminjamkan uang, dan telah jatuh tempo, mereka akan bertanya kepada debitur, "Kamu akan melunasi, atau menunda?" Jika debitur belum bisa membayar saat itu, maka pemberi pinjaman akan mengenakan tambahan biaya. Praktek ini haram secara mutlak. Riba termasuk ke dalam dosa besar, sehingga kita mesti memerhatikan betul mengenai apa itu riba, dan bagaimana prakteknya, sehingga kita mampu menghindarinya.

Riba Pinjaman

Riba ini terjadi di transaksi utang-piutang. Hal yang perlu dicatat dalam riba pinjaman adalah, ia dianggap riba hanya jika memenuhi empat syarat:

1. Akadnya utang

Maka, jika akad (perjanjian di awal) bukanlah utang-piutang, maka ia tidak termasuk riba jenis ini 

2. Dipersyaratkan

Maka, jika ia tidak dipersyaratkan, ia bukanlah riba. Contoh: Seseorang meminjam motor temannya, ia mengembalikannya dengan keadaan bensin penuh, tanpa diminta/dipersyaratkan. Maka hal ini boleh, bahkan sebuah kebaikan, bukan riba. Begitu juga, jika terdapat debitur yang mengembalikan hutang Rp100.000,00 dengan Rp105.000,00 secara sukarela, tanpa dipersyaratkan di awal. Maka ini bukan riba

3. Aliran manfaat

Terdapat tambahan yang bersifat angka, seperti tambahan Rp5.000,00 pada hutang uang, atau juga sifatnya kualitatif, seperti bensin yang diisikan ketika meminjamkan motor.

4. Manfaat mengalir ke pemberi utang

Jika manfaat tersebut mengalir ke si kreditur, maka itu termasuk syarat dari riba.

Dikatan riba qardh jika memenuhi segala syarat ini. Jika satu syarat saja tidak terpenuhi, maka ia bukanlah riba.

Contoh:

A meminjamkan motor ke B, dengan berkata, "Setelah memakainya, harus diisikan bensin full ya!", maka hal ini adalah riba, karena memenuhi keempat syarat; akadnya utang-piutang (B meminjam ke A), dipersyaratkan (A mensyaratkan bagi B untuk mengisikan bensin), terdapat aliran manfaat (bensin merupakan manfaat yang diterima A), mengalir ke pemberi utang (keuntungan didapatkan oleh A sebagai debitur).

Sejatinya, utang-piutang adalah akad tolong-menolong (tabbaru'at) , bukanlah bisnis (muawadhat), inilah yang menjadi alasan dilarangnya mengambil manfaat dari sana, karena menurut penulis sendiri, riba dalam pinjaman dapat merusak nilai tolong-menolong itu sendiri, karena ia selalu menuntut untung padahal tolong-menolong adalah soal berkorban.

Tuesday, October 13, 2020

Ngaji Fikih Muamalah: Khiyar Tadlis, dan Khiyar Aib

Khiyar tadlis

Tadlis (تدليس) bermakna menipu/mengelabui. Contoh kasus yang terjadi, seperti mengumpulkan susu sapi, atau kambing seakan-akan hewan yang ia jual tersebut memiliki susu yang banyak. Dalam hal ini, jika pembeli baru mengetahui tipuan tersebut setelah transaksi, maka ia bisa membatalkan jual-belinya. Namun, jika dari sebelum transaksi, ia telah mengetahui, namun ia tetap melanjutkan transaksinya, maka ia tidak memiliki hak khiyar lagi.

Khiyar aib

Khiyar aib merupakan salah satu khiyar yang paling umum terjadi. Aib sendiri adalah kecacatan yang menurunkan nilai barang yang diperjual-belikan sesuai dengan kebiasaan yang berlaku. 

Jika pembeli telah mengetahui aib sejak awal, namun ia tetap membeli barangnya, maka tidak ada hak khiyar di sini, karena ia telah tahu dan setuju sejak awal. Akan tetapi, jika ia tidak mengetahuinya sebelumnya, maka pembeli memiliki hak untuk melanjutkan/membatalkan jual-beli.

Bagaimana kasusnya jika pembeli tidak mengetahui pada awalnya ada cacat, kemudian ia menggunakan barang tersebut, lalu menyebabkan kerusakan kedua karena kecerobohan sendiri, saat itu ia baru menyadari bahwa barangnya ada cacat pertama sejak awal. Apa solusinya?

Terdapat dua pendapat. 

Pendapat pertama, pembeli tidak memiliki hak untuk membatalkan/mengembalikan barang, tapi ia bisa mendapat ganti rugi atas cacat pertama.

Pendapat kedua, pembeli memiliki hak untuk mengembalikan barang, tetapi ia harus membayar ganti rugi kerusakan kedua yang ia sebabkan, jika ia memilih untuk tidak mengembalikan barang, maka ia berhak mendapat ganti rugi atas kecacatan pertama dari penjual.

Sumber: fiqh al-muamalat al-maliyah fi al-islam

Monday, October 12, 2020

Ngaji Fikih Muamalah: Khiyar Ghabn dan Khiyar Syarth

Khiyar Ghabn 

Khiyar ghabn berarti manipulasi harga barang. Ia memiliki tiga bentuk:

1. Pertemuan dengan kafilah dagang (تلقي الركبان)

Gambarannya, ada orang yang ingin membeli sesuatu, ia kemudian keluar dari sebuah kota untuk menemui kafilah dagang (supplier) yang membawa barang dagangannya untuk dijualkan ke kota, dan datang dari sebuah desa. Si pembeli tersebut mencegat si penjual sebelum ia memasuki kota, untuk membeli barang dagangannya duluan. Maka, si penjual tersebut memiliki hak khiyar saat ia memasuki kota, dan ia menemui dirinya telah ditipu/dizhalimi (Mengapa? Karena ia menemui bahwa harga yang ia jual ke si pembeli yang mencegat dirinya di perjalanan terlalu murah, di bawah pasaran).

2. Manipulasi (نجش)

Jenis jual-beli ini umum dikenal dengan bai' najasyi. Yaitu, upaya untuk memanipulasi keadaan sehingga harga barang menjadi naik dengan cara mengumpulkan orang-orang yang bertindak seakan-akan ingin membeli barang tersebut sehingga menciptakan kesan barang tersebut ramai diperebutkan, dan penjual memiliki reputasi yang baik.

Bagaimana status jual-belinya? Mayoritas 'ulama mengatakan jual-beli sah, namun berdosa melakukannya. Sebagian mengatakan jual-beli tidak sah, karena Nabi melarang jual-beli najasy dan pelarangan menyebabkan kecacatan pada transaksi (sehingga tidak sah).

Dalam jual-beli ini, pembeli memiliki hak khiyar untuk membatalkan, dan mengembalikan barang tersebut.

3. Mustarsil (مسترسل)

Gambarannya, ketika ada orang yang melakukan manipulasi dalam tawar-menawar, dan negosiasi jual-beli. Orang ini memanipulasi sehingga dapat meraih keuntungan berlebih dari umumnya. Maka terdapat hak khiyar untuk melanjutkan atau membatalkan jual-beli tersebut menurut Imam Malik dan Imam Ahmad, namun menurut Imam Syafi'i dan Abu Hanifah tidak ada khiyar dalam hal ini.

Khiyar Syarth

Khiyar syarth adalah ketika salah satu pihak yang berakad mengatakan kepada pihak yang lain, "Beri aku tenggat waktu untuk waktu tertentu guna menentukan apakah melanjutkan atau membatalkan jual-beli ini." (Kondisi barang sudah berpindah ke pembeli, namun dalam periode tertentu, ia dapat mengembalikan barangnya ke penjual karena pembatalan jual-beli).

Sebagian 'ulama mengatakan tenggat waktu tidak melebihi tiga hari, sebagian mengatakan, tergantung dari keadaan, dan kondisi.

Jika tenggat waktu telah lewat, dan jual-beli tidak dibatalkan, maka jual-beli telah sah, dan selesai dilakukan (hak milik telah resmi berpindah).

Dalam periode khiyar, baik penjual atau pembeli tidak boleh bertransaksi/menginfakkan/menggunakan barang tersebut, kecuali penggunaan dalam rangka mencoba barang tersebut. Dari sisi pembeli, jika ia menggunakan barang yang ia beli (tidak dalam rangka mencoba saja), maka ia dianggap telah sepakat dengan pembelian tersebut. Dari sisi penjual, jika ia melakukan sesuatu yang berkaitan dengan kepemilikan barang (misalnya: menjual barang yang sudah ada di tangan pembeli 1 ke orang lain), maka jual-beli dengan pembeli 1 menjadi rusak/batal menurut kalangan Ahnaf, Hanabilah, dan Syafi'iyyah.

Sumber: fiqh al-muamalat al-maliyah fi al-islam

Sunday, October 11, 2020

Ngaji Fikih Muamalah: Khiyar Majelis

 Makna khiyar adalah hak untuk melanjutkan/membatalkan jual-beli yang dimiliki kedua pihak yang bertransaksi. Terdapat tujuh jenis khiyar:

1. Khiyar majelis (خيار المجلس)

2. Khiyar ghabn (خيار الغبن)

3. Khiyar syarth (خيار الشرط)

4. Khiyar tadlis (خيار التدليس)

5. Khiyar 'aib (خيار العيب)

6. Khiyar tawliyah wa syirkah wa murabahah wa muwadha'ah (خيار التولية و الشركة و المرابحة و المواضعة)

7. Khiyar ikhtilaf fi tsaman aw sil'ah (خيار الاختلاف في الثمن أو السلعة)

1. Khiyar Majelis

Khiyar majelis mutlak terdapat dalam setiap jual-beli. Yaitu hak antara melanjutkan/membatalkan jual-beli selama kedua pihak yang bertransaksi masih berada di tempat akad, belum berpisah. Ini adalah pendapat yang kuat, dan pendapat dari kalangan Hanabilah, dan Syafi'iyyah.

Adapun pendapat kedua, dari kalangan Malikiyyah dan Ahnaf, mereka mengatakan bahwa setelah akad jual-beli selesai dilakukan, maka tidak ada hak khiyar, kecuali mereka mensyaratkan khiyar untuk waktu tertentu, dan hal ini dinamakan khiyar syarth (yang akan dijelaskan di jenis khiyar yang lain).

Apa parameter dari "berpisah" dalam khiyar majelis? Sampai sejauh mana mereka memiliki hak khiyar? 'Ulama mengatakan bahwa hal tersebut tergantung dari kebiasaan, dan adat daerah setempat. Yang dikenal dalam syari'at pada umumnya adalah ketika salah satu dari orang yang berakad berjalan membelakangi yang lain.

Misalnya, mereka pada di satu rumah yang besar/toko yang besar yang memiliki banyak ruangan. Maka, makna "berpisah" adalah berpindahnya salah satu dari satu ruangan, ke tempat yang lain. 

Jika, kedua pihak bersepakat untuk tidak mengadakan hak khiyar, maka hak khiyar menjadi hilang bagi keduanya. Jika hanya salah satu yang mengatakan demikian, maka hak khiyar hanya hilang bagi yang mengatakan.

Contoh: Pembeli mengatakan, "Barang yang saya beli telah cocok, sehingga tidak perlu khiyar." Maka, khiyar bagi si pembeli telah hilang.

Sumber: fiqh al-muamalat al-maliyah fi al-islam

Thursday, October 8, 2020

Ngaji Fikih Muamalah: Hukum Monopoli

Hukum monopoli (الاحتكار) adalah haram dalam syari'at Islam sesuai dengan larangan Nabi atasnya. Sebagian 'ulama mengatakan makruh.

Bentuk barang yang dimonopoli yang diharamkan syari'at harus memenuhi tiga syarat:

1. Bahwa barang tersebut dibeli oleh pelaku. Sehingga jika ia mendapatnya dari tanahnya sendiri, atau sebuah pemberian, maka ia bukanlah monopoli yang diharamkan.

2. Berupa makanan pokok. Namun terdapat 'illah di sini, yaitu barang yang menyebabkan bahaya bagi kepentingan umum jika dimonopoli, maka barang-barang yang masuk ke kategori ini juga haram dimonopoli. Contoh: Masker saat pandemi covid-19

3. Membuat kesempitan/kesusahan bagi umum dengan monopolinya

Tuesday, October 6, 2020

Ngaji Fikih Muamalah: Sahkah Jual-Beli Barang yang Belum Ada?

Bagaimana hukum dari jual-beli barang yang tidak ada di tangan seseorang? Misalnya: Seseorang menjual suatu barang yang tidak ia miliki, setelah terjadi jual-beli, ia baru berniat untuk pergi membeli barang tersebut.

Jual-beli ini tidak diperbolehkan jika penjual pun ragu atas ada atau tidaknya barang tersebut, karena ini termasuk bab gharar (penipuan, ada keraguan), adapun, jika penjual yakin atas wujudnya, maka jual-beli diperbolehkan, karena barang itu sifatnya ma'dum. Terdapat tiga jenis dari barang ma'dum:

1. Barang yang disifati oleh penjualnya, namun barangnya ditangguhkan (belum ada) (ma'dum mausuf fi adz-dzimmah), inilah yang dinamakan jual-beli salam, 'ulama sepakat kebolehan jual-belinya.

2. Barang yang belum ada, namun sifatnya mengikut kepada yang telah ada. Misalnya, jual-beli buah-buahan yang telah nampak bahwa salah satu buahnya yang telah tumbuh itu baik kualitasnya. Maka, walaupun yang lain belum nampak/tumbuh pada waktu akad, ia boleh diperjual-belikan.

3. Barang yang belum ada, yang tidak diketahui akan bisa diterima/tidak, juga penjual pun tidak memiliki keyakinan atas barang tersebut, sehingga menempatkan pembeli pada resiko yang besar. Maka, jenis barang ini dilarang jual-belinya oleh syari'at, karena ia termasuk gharar.

Perbedaan Gharar dengan Salam

Pada jual-beli salam, terdapat keyakinan bahwa barang dapat diserahkan secara tepat. Terdapat juga keyakinan dari sisi penjual, bahwa barang yang diperjual-belikan terdapat di pasar (supplier). Selain itu, dalam jual-beli salam juga terdapat khiyar (hak melanjutkan/membatalkan) jual-beli jika barang tidak sesuai dengan yang disifati. Pembahasan tentang salam lebih jauh akan dibahas di bab tersendiri.

Monday, October 5, 2020

Ngaji Fikih Muamalah: Syarat Sah Jual-Beli

'Ulama dari kalangan Hanabilah meringkas syarat-syarat sah jual-beli dalam beberapa kitabnya, seperti di Al-Mughni lil Ibn Qudamah, dan Syarh Kabir, dan syarat-syarat itu telah juga mencakup syarat-syarat dari kalangan Syafi'iyyah dan mayoritas 'ulama, syarat-syarat itu sebagai berikut:

1. Saling ridha 

Artinya adalah jual-beli harus menemui ridha dari kedua pihak. Jika salah satu ada yang tidak ridha, melakukannya karena dipaksa/diancam, maka jual-beli itu tidak sah.

2. Penjual dan pembeli memiliki kemampuan

Artinya adalah baik pembeli dan penjual merupakan seorang mukallaf, orang yang telah baligh, berakal, maka jual-beli yang dilakukan oleh anak kecil, orang yang mabuk, tidur, gila tidaklah sah. Adapun anak yang sudah bisa membedakan sesuatu, jual-belinya sah, dengan izin walinya. Tanpa wali, jual-belinya tidak sah. Pendapat ini mengikuti pendapat kalangan hanafiyyah.

3. Barang yang diperjual-belikan berupa harta

Maksudnya adalah, ia memiliki manfaat, punya nilai. Segala yang bisa dimiliki, dan diambil manfaatnya, maka ia boleh diperjual-belikan, kecuali yang dilarang syariat, misalnya: harta wakaf.

Hal-hal yang jadi perdebatan para 'ulama dalam kebolehan jual-beli

a. Kalangan Hanabilah membolehkan jual-beli ulat sutra, adapun Hanafiyyah tidak membolehkan kecuali dengan sutranya.

b. Diperbolehkan jual-beli lebah. Namun Abu Hanifah melarangnya, kecuali jual-beli lebah bersama dengan madunya.

c. Diperbolehkan jual-beli kucing oleh mayoritas ahli fikih, sebagian memakruhkan.

d. Diperbolehkan jual-beli gajah, burung untuk berburu, atau burung untuk keindahan suaranya.

e. Syafi'iyyah dan Hanabilah membolehkan jual-beli air susu manusia.

f. Mayoritas 'ulama melarang jual-beli anjing, sebagian 'ulama membolehkan untuk anjing buruan. Abu Hanifah membolehkan secara mutlak, kecuali anjing buas.

'Ulama berijmak untuk mengharamkan jual-beli mayat, babi, minuman keras, berhala. 

4. Memiliki kepemilikan harta, atau diberi izin untuk jual-beli

Artinya ia berjual-beli dengan harta kepemilikannya sendiri, atau diberi izin oleh pemilik harta. Jika ia tidak memilikinya, maka ada dua pendapat dalam hal ini:

a. Tidak sah jual-belinya, dan ini pendapat madzhab Syafi'i, Abu Tsaur, Ibnul Mundzir, dan Ahmad

b. Sah secara mauquf (tertunda). Jika dibolehkan oleh si pemilik harta, maka jual-beli sah, jika tidak, maka tidak sah. Dan ini pendapat Imam Malik, Abu Hanifah, dan Ishaq. Jual-beli ini dinamakan jual-beli fudhuli (بيع الفضولي).

5. Barang yang diperjual-belikan bisa diserah-terimakan

Maka, tidak sah jual-beli ikan di lautan, jual-beli burung di langit, unta yang tersesat, kuda yang kabur, dan seterusnya.

6. Barang yang diperjual-belikan diketahui wujudnya

Barang dapat diketahui, entah dengan melihat secara langsung, atau dengan sifat-sifat tertentu (seperti pada jual-beli online).

Pada jual-beli yang diketahui secara sifat-sifat, apalagi ketika terjadi serah-terima, barang tersebut telah sesuai dengan sifat yang digambarkan oleh si penjual, maka si pembeli tidak memiliki hak untuk membatalkan transaksi. Abu Hanifah, dan ats-Tsauri berkata: Pembeli tetap memiliki hak untuk khiyar (memilih melanjutkan/tidak transaksi).

Adapun, jika setelah diterima, barangnya berbeda dari yang digambarkan oleh penjual, maka pembeli memiliki hak untuk meneruskan/membatalkan jual-beli.

7. Harganya diketahui

Karena harga merupakan salah satu unsur yang dipertukarkan kepemilikannya, maka hal ini harus diketahui.

Sumber: fiqh al-muamalat al-maliyah fi al-islam

Sunday, October 4, 2020

Ngaji Fikih Muamalah: Bolehkah Membeli dari Orang yang Hartanya Tercampur Halal dan Haram?

Apa hukumnya membeli dari seseorang yang memiliki harta tercampur dari halal, dan haram? Contoh: Kita bertransaksi dengan rentenir, atau koruptor.

Jika kita tahu bahwa barang yang kita transaksikan sumbernya halal, maka transaksi itu halal. Tetapi, jika kita tahu pasti bahwa barang yang kita transaksikan sumbernya adalah haram, misal, kamu ingin membeli mobil dari hasil korupsi, maka transaksi itu haram. Jika kita tidak tahu sumbernya, maka dihukumi makruh.

Akan tetapi, perlu dicatat, bahwa jual-beli yang terjadi sah, jika kita tidak mengetahui sumbernya. Arti sah adalah, pergantian hak milik tersebut tetap terjadi. Contoh: si A membeli mobil yang ternyata hasil korupsi dari si B, namun si A tidak tahu, transaksi itu dihukumi makruh, Namun, tetap sah, artinya mobil itu tetap menjadi kepemilikan si A, karena ia telah membelinya, dan jual-beli yang terjadi sah.

Sumber: fiqh al-muamalat al-maliyah fi al-islam

Friday, October 2, 2020

Ngaji Fikih Muamalah: Bentuk Jual-Beli yang Sah

 Terdapat dua bentuk jual-beli yang sah secara syari'at:

1. Melalui ijab-qabul (إيجاب و قبول)

Ijab adalah bentuk ucapan yang diucapkan oleh penjual dengan berbagai bentuk yang dipahami sebagai bentuk penjualan. Contoh: "Aku menjual kepadamu barang ini.", atau "Aku memberimu barang ini dengan harga segini.", dan sebagainya.

Qabul adalah bentuk ucapan yang diucapkan oleh pembeli, seperti: "Aku telah membeli.", "Aku telah menerima.", "Aku sepakat.", dan sebagainya.

Jika, qabul diucapkan duluan, seperti, "Aku membeli baju ini.", kemudian penjual mengucapkan, "Aku terima.", maka itu juga termasuk jual-beli yang sah.

Bagaimana dengan kalimat tanya? Apakah sah? Seperti misalnya pembeli bertanya, "Apakah kamu menjual barang ini dengan harga sekian?", kemudian penjual menjawab, "Aku telah menjual kepadamu.", apakah yang demikian sah? Menurut Imam Ahmad, Abu Hanifah, Imam Syafi'i tidak sah, karena itu bukan merupakan bentuk qabul.

Jika qabul diucapkan secara terlambat, maka jual-beli tetap sah, selama pembeli masih berada di tempat, dan tidak disibukkan dengan hal lain. Tapi, jika pembeli telah pergi, atau tersibukkan dengan hal lain, maka qabul yang terlambat, tidak sah.

2. Melalui serah-terima (معاطاة)

Gambarannya demikian: Seorang pembeli berkata kepada pembeli, "Beri saya roti sekian dengan uang ini!", kemudian penjual memberinya sejumlah roti, kemudian pembeli itu menerima, dan pergi, tanpa mengucapkan kalimat apapun, atau, seorang penjual berkata, "Ambillah sejumlah roti ini dengan satu dirham!", kemudian pembeli membayar, mengambil, lalu pergi tanpa berkata apapun.

Atau, bisa juga, pembeli datang, memberi uang Rp5000,00, mengambil roti, kemudian pergi tanpa ada ucapan kata apapun kepada penjual, dan penjual pun tidak berbicara. Kalau kita lihat, sebenarnya, praktek serah-terima ini yang relatif lebih sering kita lakukan. Bagaimana hukumnya?

Hanabilah, dan Hanafiyyah membolehkan cara demikian pada jual-beli barang yang kecil/murah/ringan. Imam malik menganggap jual-beli juga sah dengan cara yang sudah diterima/dipahami oleh masyarakat luas, walau tanpa ijab-qobul.

Syafi'iyyah tidak membolehkan hal tersebut, dan berpendapat bahwa jual-beli harus dengan ijab-qobul berbentuk lafazh.

Kesimpulannya adalah jual-beli tersebut sah, karena Ibnu Qudamah dalam syarh al-kabir berkata, "Sesungguhnya Allah menghalalkan jual-beli, dan tidak menjelaskan mengenai caranya seperti apa. Maka, wajib dikembalikan kepada kebiasaan/budaya yang berlaku."

Ngaji Fikih Muamalah: Pengertian, Rukun, Tempat, Hukum, dan Hikmah Jual-Beli

Pengertian jual-beli (البيع) secara istilah: Pertukaran antara harta dengan harta lainnya secara sukarela.

Rukunnya: Ijab dan Qobul, walau dilakukan dengan isyarat.

Tempat berlakunya: Pada harta

Hukum yang terjadi: Penetapan hak milik bagi si pembeli pada barang, serta penetapan hak milik untuk harga bagi si penjual.

Hikmah: al-Hafizh Ibn Hajar mengatakan dalam kitabnya fathul bari, bahwa keperluan manusia senantiasa berkaitan dengan orang lain, sedangkan orang lain tidak mungkin senantiasa memberi kepada kita. Maka syariat mengatur jual-beli untuk memenuhi kebutuhan tersebut. 

Thursday, October 1, 2020

Ngaji Fikih Muamalah: Jenis-Jenis Jual Beli

 Tulisan ini merupakan bahasan pertama dari pembahasan fikih muamalah dalam blog ini. Apa aja sih sebenernya yang bakal dibahas? Pertama, bahasan ini akan bersumber dari kitab fiqh al-muamalat al-maliyah fi al-islam karya Syaikh Hasan Ayyub. Bahasannya apa aja? Perkara jual-beli dan jenis-jenisnya, riba, dan jenis-jenisnya, gharar, maisir, transaksi-transaksi perbankan, dan segala macam bentuk transaksi kehartaan seperti gadai, beli barang di muka, dan seterusnya. Baik, kita akan mulai bahasan pertama dari bab pertama dalam buku ini, yaitu mengenai jual-beli.

Mengapa jual-beli? Karena ia merupakan perkara paling penting dalam fikih muamalah, semua orang melakukannya, dan tidak mungkin terlepas darinya. Syaikh Hasan Ayyub, dan 'ulama membagi jenis jual-beli:

1. Jual-beli biasa (البيع)

Pertukaran antara barang dengan sebuah harga yang ditetapkan. Contoh: jual-beli sebuah baju seharga Rp100.000,00.

2. Jual-beli muqoyadhah (مقايضة)

Pertukaran antara barang dengan barang. Contoh: jual-beli sebuah baju dengan buku.

3. Jual-beli salam (سلم)

Pertukaran antara sebuah uang dengan barang (jual-beli dengan membayar dahulu, kemudian barang datang kemudian). Contoh: jual-beli gandum yang akan panen, dengan membayar dahulu di muka.

4. Jual-beli sharf (صرف)

Pertukaran antara mata uang. Contoh: jual-beli dinar dengan dinar, dinar dengan dirham, dst.

5. Jual-beli murabahah (مرابحة)

Jual-beli barang dengan tambahan sebagai keuntungan. Contoh: Saya membeli baju seharga Rp100.000,00 kemudian menjual kepada A dengan tambahan Rp20.000,00 sebagai keuntungan saya.

6. Jual-beli tawliyyah (تولية)

Jual-beli barang dengan harga yang sama dengan harga belinya. Contoh: Saya membeli baju seharga Rp100.000,00, kemudian menjual kembali dengan harga yang sama.

7. Jual-beli muwadha'ah (مواضعة)

Jual-beli barang dengan harga yang lebih rendah dengan harga belinya. Contoh: Saya membeli baju seharga Rp100.000,00, kemudian menjual kembali dengan harga Rp.75.000,00.

Bunga Bank

  Mesir sedang mengalami keterpurukan ekonomi di bulan Maret 2022 ini. Nilai tukar mata uang Mesir, Egyptian Pound (EGP), terhadap dollar me...