'Ulama dari kalangan Hanabilah meringkas syarat-syarat sah jual-beli dalam beberapa kitabnya, seperti di Al-Mughni lil Ibn Qudamah, dan Syarh Kabir, dan syarat-syarat itu telah juga mencakup syarat-syarat dari kalangan Syafi'iyyah dan mayoritas 'ulama, syarat-syarat itu sebagai berikut:
1. Saling ridha
Artinya adalah jual-beli harus menemui ridha dari kedua pihak. Jika salah satu ada yang tidak ridha, melakukannya karena dipaksa/diancam, maka jual-beli itu tidak sah.
2. Penjual dan pembeli memiliki kemampuan
Artinya adalah baik pembeli dan penjual merupakan seorang mukallaf, orang yang telah baligh, berakal, maka jual-beli yang dilakukan oleh anak kecil, orang yang mabuk, tidur, gila tidaklah sah. Adapun anak yang sudah bisa membedakan sesuatu, jual-belinya sah, dengan izin walinya. Tanpa wali, jual-belinya tidak sah. Pendapat ini mengikuti pendapat kalangan hanafiyyah.
3. Barang yang diperjual-belikan berupa harta
Maksudnya adalah, ia memiliki manfaat, punya nilai. Segala yang bisa dimiliki, dan diambil manfaatnya, maka ia boleh diperjual-belikan, kecuali yang dilarang syariat, misalnya: harta wakaf.
Hal-hal yang jadi perdebatan para 'ulama dalam kebolehan jual-beli
a. Kalangan Hanabilah membolehkan jual-beli ulat sutra, adapun Hanafiyyah tidak membolehkan kecuali dengan sutranya.
b. Diperbolehkan jual-beli lebah. Namun Abu Hanifah melarangnya, kecuali jual-beli lebah bersama dengan madunya.
c. Diperbolehkan jual-beli kucing oleh mayoritas ahli fikih, sebagian memakruhkan.
d. Diperbolehkan jual-beli gajah, burung untuk berburu, atau burung untuk keindahan suaranya.
e. Syafi'iyyah dan Hanabilah membolehkan jual-beli air susu manusia.
f. Mayoritas 'ulama melarang jual-beli anjing, sebagian 'ulama membolehkan untuk anjing buruan. Abu Hanifah membolehkan secara mutlak, kecuali anjing buas.
'Ulama berijmak untuk mengharamkan jual-beli mayat, babi, minuman keras, berhala.
4. Memiliki kepemilikan harta, atau diberi izin untuk jual-beli
Artinya ia berjual-beli dengan harta kepemilikannya sendiri, atau diberi izin oleh pemilik harta. Jika ia tidak memilikinya, maka ada dua pendapat dalam hal ini:
a. Tidak sah jual-belinya, dan ini pendapat madzhab Syafi'i, Abu Tsaur, Ibnul Mundzir, dan Ahmad
b. Sah secara mauquf (tertunda). Jika dibolehkan oleh si pemilik harta, maka jual-beli sah, jika tidak, maka tidak sah. Dan ini pendapat Imam Malik, Abu Hanifah, dan Ishaq. Jual-beli ini dinamakan jual-beli fudhuli (بيع الفضولي).
5. Barang yang diperjual-belikan bisa diserah-terimakan
Maka, tidak sah jual-beli ikan di lautan, jual-beli burung di langit, unta yang tersesat, kuda yang kabur, dan seterusnya.
6. Barang yang diperjual-belikan diketahui wujudnya
Barang dapat diketahui, entah dengan melihat secara langsung, atau dengan sifat-sifat tertentu (seperti pada jual-beli online).
Pada jual-beli yang diketahui secara sifat-sifat, apalagi ketika terjadi serah-terima, barang tersebut telah sesuai dengan sifat yang digambarkan oleh si penjual, maka si pembeli tidak memiliki hak untuk membatalkan transaksi. Abu Hanifah, dan ats-Tsauri berkata: Pembeli tetap memiliki hak untuk khiyar (memilih melanjutkan/tidak transaksi).
Adapun, jika setelah diterima, barangnya berbeda dari yang digambarkan oleh penjual, maka pembeli memiliki hak untuk meneruskan/membatalkan jual-beli.
7. Harganya diketahui
Karena harga merupakan salah satu unsur yang dipertukarkan kepemilikannya, maka hal ini harus diketahui.
Sumber: fiqh al-muamalat al-maliyah fi al-islam
No comments:
Post a Comment