Riba secara bahasa berarti tambahan (ziyadah). Dalam syariat, ia melekat pada dua jenis, yaitu riba pinjaman/nasiah/jahiliyyah/qardh, dan riba jual-beli/buyu'/fadhl. Riba berakar pada praktek yang sering dilakukan kaum jahiliyyah saat itu (yang kemudian dikenal dengan riba jahiliyyah). Yang mereka lakukan pada saat itu adalah, ketika mereka meminjamkan uang, dan telah jatuh tempo, mereka akan bertanya kepada debitur, "Kamu akan melunasi, atau menunda?" Jika debitur belum bisa membayar saat itu, maka pemberi pinjaman akan mengenakan tambahan biaya. Praktek ini haram secara mutlak. Riba termasuk ke dalam dosa besar, sehingga kita mesti memerhatikan betul mengenai apa itu riba, dan bagaimana prakteknya, sehingga kita mampu menghindarinya.
Riba Pinjaman
Riba ini terjadi di transaksi utang-piutang. Hal yang perlu dicatat dalam riba pinjaman adalah, ia dianggap riba hanya jika memenuhi empat syarat:
1. Akadnya utang
Maka, jika akad (perjanjian di awal) bukanlah utang-piutang, maka ia tidak termasuk riba jenis ini
2. Dipersyaratkan
Maka, jika ia tidak dipersyaratkan, ia bukanlah riba. Contoh: Seseorang meminjam motor temannya, ia mengembalikannya dengan keadaan bensin penuh, tanpa diminta/dipersyaratkan. Maka hal ini boleh, bahkan sebuah kebaikan, bukan riba. Begitu juga, jika terdapat debitur yang mengembalikan hutang Rp100.000,00 dengan Rp105.000,00 secara sukarela, tanpa dipersyaratkan di awal. Maka ini bukan riba
3. Aliran manfaat
Terdapat tambahan yang bersifat angka, seperti tambahan Rp5.000,00 pada hutang uang, atau juga sifatnya kualitatif, seperti bensin yang diisikan ketika meminjamkan motor.
4. Manfaat mengalir ke pemberi utang
Jika manfaat tersebut mengalir ke si kreditur, maka itu termasuk syarat dari riba.
Dikatan riba qardh jika memenuhi segala syarat ini. Jika satu syarat saja tidak terpenuhi, maka ia bukanlah riba.
Contoh:
A meminjamkan motor ke B, dengan berkata, "Setelah memakainya, harus diisikan bensin full ya!", maka hal ini adalah riba, karena memenuhi keempat syarat; akadnya utang-piutang (B meminjam ke A), dipersyaratkan (A mensyaratkan bagi B untuk mengisikan bensin), terdapat aliran manfaat (bensin merupakan manfaat yang diterima A), mengalir ke pemberi utang (keuntungan didapatkan oleh A sebagai debitur).
Sejatinya, utang-piutang adalah akad tolong-menolong (tabbaru'at) , bukanlah bisnis (muawadhat), inilah yang menjadi alasan dilarangnya mengambil manfaat dari sana, karena menurut penulis sendiri, riba dalam pinjaman dapat merusak nilai tolong-menolong itu sendiri, karena ia selalu menuntut untung padahal tolong-menolong adalah soal berkorban.
No comments:
Post a Comment