Monday, April 26, 2021

Apakah Cinta Merupakan Perkara yang Berada di Bawah Kuasa Manusia?

 Ibnul Qoyyim dalam Raudhah al-Muhibbîn mengatakan bahwa terdapat dua pandangan yang berbeda dalam melihat perkara cinta. Apakah ia merupakan perkara yang muncul tanpa bisa kita kendalikan ataukah ia merupakan perkara yang bisa kita kendalikan?

Pendapat pertama yang mengatakan bahwa cinta merupakan perkara yang muncul begitu saja tanpa bisa kita kendalikan menyerupakan cinta seperti rasa lapar atas makanan dan dahaga pada air. Manusia tidak bisa mengontrol rasa lapar dan hausnya. Ia datang begitu saja.

Seorang pemuda datang dan berkata kepada Umar bin Khatthab, "Wahai pemimpin! Aku telah melihat seorang perempuan dan aku jatuh cinta padanya," Umar menjawab, "Hal tersebut merupakan sesuatu yang tidak bisa kamu kendalikan."

Golongan ini juga berpendapat dengan hadis riwayat Bukhari mengenai kisah Barirah dan Mughits. Mereka merupakan sepasang mantan suami-istri. Namun Mughits (mantan suami) masih mencintai Barirah dan terus mengikutinya dengan berharap cintanya. Rasulullah berkata kepada pamannya, Abbas, "Wahai Abbas, tidakkah engkau takjub melihat bahwa Mughits begitu cinta pada Barirah dan Barirah betapa benci pada Mughits?" Kemudian Rasulullah berkata kepada Barirah, "Apakah engkau ingin rujuk dengannya (Mughits)?" Barirah berkata, "Apakah engkau memerintahkanku demikian?" Rasulullah berkata, "Tidak, aku hanya menjadi perantara," Barirah berkata, "Aku sudah tidak ada keinginan dengannya."

Dari hadis ini, Rasulullah tidak melarang rasa cinta Mughits, karena ia merupakan perkara yang di luar kendalinya, tidak bisa ia kontrol.

Sedangkan, pendapat yang berkata bahwa cinta merupakan perkara yang berada di bawah kuasa manusia berkata bahwa menuruti cinta merupakan bagian dari menuruti hawa nafsu yang Allah telah larang. Maka, mustahil jika Allah memerintahkan sesuatu yang tidak bisa manusia kendalikan.

و أما من خاف مقام ربه و نهى النفس عن الهوى

فإن الجنة هي المأوى

Dan adapun yang takut kepada Tuhannya dan mencegah dirinya dari mengikuti hawa nafsunya. Sesungguhnya surga adalah tempat kembalinya (QS an-Naziat:40-41)

Allah juga mencela orang yang mencintai sampai menjadikan orang yang dicintainya tersebut sekutu bagi Allah. Allah melarang hal tersebut karena cinta merupakan perkara yang bisa kita kendalikan. Mustahil Allah melarang sesuatu yang di bawah kendali kita.

Ibnul Qoyyim menengahi dua pendapat ini dengan berkata, "Bahwa sebab-sebab dari munculnya rasa cinta merupakan perkara yang bisa manusia kendalikan. Melihat seseorang, menemuinya, dan memikirkannya merupakan hal yang menjadi pilihan manusia itu sendiri. Adapun, jika ia melakukan sebab-sebab yang bisa memunculkan rasa cinta tersebut, maka akibatnya (rasa cinta itu sendiri) merupakan sesuatu yang ia tidak bisa dikendalikan."

Hal ini sebagaimana orang yang sedang mabuk. Meminum khamr merupakan perkara yang berada di bawah kontrolnya. Ia merupakan pilihannya sendiri. Adapun, akibatnya (yaitu mabuk) adalah sesuatu yang tidak bisa dikendalikan.

Sunday, April 18, 2021

Haruskah Penyewa Mengganti Kerusakan Barang yang Disewa?

 Dalam fikih muamalah, kita mengenal istilah yad-amanah dan yad-dhamanah. Istilah-istilah ini telah lazim juga dipakai di berbagai akad di lembaga keuangan syariah modern.

Yad-amanah adalah kondisi di mana ketika terjadi kerusakan pada objek akad, maka orang yang berakad tidak wajib mengganti kerusakannya kecuali kerusakan tersebut disebabkan oleh kelalaiannya. Sedangkan yad-dhamanah adalah kondisi ketika terjadi kerusakan pada objek akad, maka orang yang berakad wajib menggantinya.

Hukum yad al-musta'jir (penyewa)

Dalam akad Ijarah (sewa-menyewa), berlaku hukum yad-amanah. Artinya, jika terdapat kerusakan pada barang/sesuatu yang disewa, penyewa tidak berkewajiban menggantinya kecuali disebabkan oleh kelalaiannya. Parameternya adalah kebiasaan/adat setempat.

Beberapa contoh:

Seseorang yang menyewa seekor kuda. Jika ia mempergunakannya secara "normal" (dengan standar sebagaimana kebiasaan seseorang yang menyewa kuda) dan kuda tersebut mati misalkan, maka ia tidak wajib menggantinya. Jika ia memukulnya tanpa ada tujuan tertentu atau memberinya beban yang berlebihan dan kudanya mati, maka ia wajib menggantinya, karena itu termasuk kelalaian.


Seseorang yang menyewa rumah untuk tinggal. Ketika ia menggunakannya secara "normal", lalu ada kerusakan, maka ia tidak wajib menggantinya. Namun, jika ia menggunakan rumah tersebut untuk kegiatan pandai besi misalnya, kemudian ada kerusakan pada rumah tersebut, maka ia wajib menggantinya, karena, bukan sebuah kebiasaan untuk menjadikan rumah sebagai kegiatan pandai besi yang beresiko "merusak" rumah.

Seseorang yang menyewa pekerja untuk memasak. Jika orang tersebut berlebihan dalam menyalakan api kemudian membakar sekitarnya atau meninggalkan kompornya, dan menyebabkan kebakaran, maka ia wajib menggantinya, karena itu bagian dari kelalaian.

Referensi: al-Fiqh al-Syafi'i al-Muyassar

Friday, April 16, 2021

Tafsir al-Baqarah:62 mengenai Iman dan Agama

اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَالَّذِيْنَ هَادُوْا وَالنَّصٰرٰى وَالصَّابِــِٕيْنَ مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ اَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْۚ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang sabi'in, siapa saja (di antara mereka) yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dan melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati.

Ayat 62 dari surah al-Baqarah ini sering dijadikan dalil bagi sebagian orang mengenai pluralisme. Bahwasanya, setiap agama adalah sama, benar, dan diterima oleh Allah. Sekilas, zhahir ayat menunjukkan demikian. Namun, kita perlu melihat bagaimana para ulama menafsirkan ayat ini.

Asbabun Nuzul

Sebab turunnya ayat ini dijelaskan dalam tafsir Ibnu Katsir, bahwa ayat ini turun mengenai kerabat Salman al-Farisi yang beragama Yahudi dan Nasrani. Salman berkata kepada Nabi, bahwa kerabatnya berpuasa, salat, dan bersaksi bahwa suatu saat akan ada Nabi yang diutus kepada mereka. Nabi menjawab, "Wahai Salman, sesungguhnya mereka termasuk ke dalam penduduk neraka," maka jawab tersebut terasa sangat berat bagi Salman, kemudian turunlah ayat ini.

Maksud dari istilah-istilah yang tersebut

Ibnu Katsir menjelaskan, yang dimaksud dengan هادوا pada ayat tersebut adalah kaum Yahudi, yakni mereka yang beriman kepada Nabi Musa dan berpegang pada Taurat, نصارى adalah kaum Nasrani, yakni mereka yang beriman dengan Nabi Isa dan berpegang pada Injil, dan mengenai الصائبين, ulama berbeda pendapat mengenai siapa yang dimaksud. Ada pendapat yang mengatakan bahwa mereka berada di antara Majusi, Nasrani, dan Yahudi, dan mereka tidak memiliki agama tertentu. adh-Dhahak berkata bahwa mereka termasuk golongan ahlul kitab dan membaca kitab Zabur. Abdullah bin Wahab berkata bahwa mereka adalah orang yang tidak memiliki kitab, amalan, nabi, namun mereka mengakui tiada Tuhan selain Allah. Ibnu Katsir memilih pendapat bahwa mereka adalah orang yang tidak memiliki agama tertentu dan berada pada fitrahnya sendiri.

Makna Ayat

Tafsir al-Sa'di menjelaskan bahwa maksud ayat ini adalah menggambarkan keadaan sebelum diutusnya Rasulullah ﷺ. Ibnu Katsir menjelaskan lagi, bahwasanya kaum Yahudi yang digambarkan sebagai golongan "yang mendapat pahala dari Tuhannya" adalah orang-orang yang beriman pada Nabi Musa dan Taurat sebelum diutusnya Nabi Isa. Ketika Nabi Isa diutus, maka berlakulah syariat Nabi Isa, maka pengikut Nabi Isa lah yang dimaksud dengan نصارى di atas dan mereka termasuk "golongan yang mendapat pahala dari Tuhannya" sampai diutus Nabi Muhammad. Setelah diutusnya Nabi Muhammad, hanya yang beriman kepada Nabi Muhammad lah yang termasuk golongan "yang mendapat pahala dari Tuhannya" tersebut.

Secara singkat, ayat ini ingin menggambarkan bahwa kaum terdahulu sebelum Nabi Muhammad diutus mendapat pahala dan diterima imannya berdasarkan syariat dari Nabi yang sedang turun, sedangkan, ketika Nabi Muhammad telah diutus, maka orang yang masih beragama Yahudi dan Nasrani tidak termasuk golongan "yang mendapat pahala dari Tuhannya", karena syariat Nabi Muhammad telah berlaku. Tafsir ini membantah kaum pluralis yang mengatakan bahwa setiap agama sama-sama benar dan diterima oleh Allah.

Referensi:
Tafsir Ibnu Katsir

Tafsir as-Sa'di

Thursday, April 15, 2021

Makna dan Hukum Se-kufu' (Setara) dalam Pernikahan

 Kafaah (الكفاءة) memiliki arti setara, sebanding. Maksud kufu' dalam konteks pernikahan adalah bahwa seorang suami hendaknya setara dengan istrinya dalam status sosial, harta, dan akhlak. Bagaimana pandangan mazhab fikih mengenai maksudnya lebih rinci dan hukumnya?

 Kepada siapa kufu' ini harus diperhatikan

Kufu' diperhatikan dari sisi suami, bukan istri. Maksudnya, suami yang dipersyaratkan untuk setara dengan istrinya, dan istri tidak dipersyaratkan untuk setara dengan suami. Sehingga, perempuan yang jadi "parameter" bagi laki-laki untuk mengejar status "setara"-nya.

Pandangan mazhab-mazhab fikih terkait hukumnya

Zhahiriyyah

Ibnu Hazm dari Mazhab Zhahiriyyah berpendapat bahwa kufu' tidak dipersyaratkan sama sekali. Ia berpendapat bahwa setiap muslim -selama bukan pezina- berhak menikahi muslimah mana pun -selama bukan pezina-.

Malikiyyah

Mazhab Maliki berpendapat bahwa kufu' diperhitungkan. Adapun poin yang harus diperhatikan hanyalah: ke-istiqomah-an dan akhlak. Maka, nasab (keturunan), kekayaan, dan hal lainnya tidak diperhitungkan sama sekali. Jika dua hal tersebut tidak terpenuhi, misalnya, terdapat laki-laki dengan akhlak yang buruk, maka laki-laki tersebut tidak setara dengan perempuan ber-akhlak baik.

Ibnu Rusyd dalam Bidâyah al-Mujtahid berkata, "Tidak ada perselisihan dalam Mazhab Maliki bahwa jika seorang ayah menikahkan anak perempuannya dengan peminum khamr, maka ia dapat menolaknya, dan hakim dapat memisahkannya."

Imam asy-Syaukani berkata bahwa Umar bin Khatthab, Ibnu Mas'ud, Umar bin Abdul Azis, Muhmmad bin Sirin berpendapat demikian juga.

Mayoritas ahli fikih

Mayoritas ahli fikih selain yang tersebut di atas mengatakan bahwa kufu' diperhitungkan, namun mereka tidak membatasi kufu' pada poin istiqomah dan akhlak semata, namun, ada beberapa poin lagi yang diperhitungkan:

1. Nasab (keturunan)

Sebagian kabilah Arab lebih afdhol dibanding kabilah yang lain, orang non-Arab tidak kufu' dengan orang Arab, Arab dari kabilah Quraisy lebih afdhol dibanding kabilah lainnya.

Persoalan nasab ini menurut Imam Syafi'i hanya terjadi di antara Arab. Adapun, sesama non-Arab, dianggap setara semuanya. Sehingga, orang Jawa sah menikah dengan orang Sumatera, atau dengan orang Eropa.

Namun, Sayyid Sabiq mengomentari hal ini, "Adapun, yang benar, tidak demikian. Rasulullah menikahkan dua anak perempuannya (yang berasal dari Quraisy -nasab Arab tertinggi-) dengan Utsman dan menikahkan Abul Ash dengan Zainab.

Dari sini, nasab anak perempuan Rasulullah sebenarnya lebih tinggi daripada Utsman dan Abul Ash, namun mereka bisa menikahinya. Sayyid Sabiq menyimpulkan bahwa nasab tidaklah diperhitungkan, dan ilmu berada di atas segalanya. Maka, seorang alim (yang berilmu) kufu' dengan perempuan manapun.

2. Islam

Maksudnya adalah, kufu' dilihat dari keislaman ayah dan keturunannya terus ke atas (kakeknya, dst.)

Maka, seorang muslimah yang memiliki ayah dan kakek yang muslim tidak se-kufu' dengan muslim yang hanya memiliki ayah yang muslim sedangkan kakeknya bukan. Sedangkan, jika sama-sama hanya ayah mereka yang muslim, maka mereka se-kufu'.

Abu Yusuf berpendapat bahwa satu keturunan di atas saja sudah cukup untuk se-kufu'. Maka, muslimah yang memiliki ayah dan kakek yang muslim dengan laki-laki yang hanya memiliki ayah yang muslim sedangkan kakeknya bukan sudah se-kufu'.

3. Pekerjaan

Maksudnya adalah, kufu' dilihat dari kemuliaan pekerjaan seseorang. Standarnya adalah adat setempat. Adat yang menilai suatu pekerjaan lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan pekerjaan yang lain. 

Abu Yusuf berpendapat bahwa pekerjaan tidak diperhitungkan dalam kufu' selama pekerjaan tersebut bukan sesuatu yang haram (melampaui batas).

4. Harta

Terdapat perbedaan pendapat dalam Mazhab Syafi'i, sebagian berkata bahwa harta diperhitungkan dan sebagian berkata tidak diperhitungkan. Kalangan yang memperhitungkan harta beralasan bahwa nafkah perempuan yang fakir berbeda dengan nafkah perempuan yang kaya. Sedangkan, kalangan yang tidak memperhitungkan berpendapat bahwa harta bukanlah hal yang esensial dan orang yang memiliki kehormatan tidak membanding-bandingkan harta.

Dalam Mazhab Hanafi, yang diperhitungkan dalam harta adalah kemampuan nafkah dan memberi mahar. Jika memiliki keduanya, maka sudah se-kufu'.

Sedangkan menurut Imam Ahmad, kesetaraan harta diperhitungkan. Karena, nafkah bagi perempuan yang kaya berbeda dengan nafkah perempuan yang fakir.

5. Kekurangan fisik

Mazhab Syafi'i memperhitungkan kekurangan fisik. Begitu juga Imam Malik. Maksudnya seperti cacat fisik. Termasuk di dalamnya kusta, lemah akal.

Sedangkan Mazhab Hanafi dan Hambali tidak memperhitungkannya. Namun, perempuan bisa memilih untuk melanjutkan akad nikahnya atau tidak.

Referensi: Fiqh al-Sunnah

Wednesday, April 14, 2021

Jual-Beli dengan Syarat

 Jika seseorang yang sedang berakad jual-beli memberi syarat pada akadnya, maka, dalam Mazhab Syafi'i, hukumnya bergantung pada jenis syaratnya:

1. Jika syaratnya sejalan dengan tujuan akad, seperti mensyaratkan pengembalian barang jika terdapat cacat pada barang tersebut, maka hukumnya boleh.

2. Jika syaratnya tidak sejalan dengan tujuan akad, namun terdapat maslahat di dalamnya, seperti, mensyaratkan garansi selama tiga hari, atau gadai, atau ada orang yang menjamin pembayaran (الضمين), maka hukumnya boleh.

3. Jika syaratnya berlawanan dengan tujuan akadnya sendiri, seperti seseorang yang menjual rumah kemudian mensyaratkan agar penjual bisa tinggal di rumah tersebut beberapa saat, menjual baju dengan syarat bahwa si penjual yang juga harus menjahitkan bajunya, atau menjual kulit dengan syarat bahwa si penjual yang harus mengolahnya jadi sepatu, maka akad ini bathil (tidak sah).

Terdapat hadis dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah ﷺ berkata:

"Tidak halal jual-beli bersama dengan hutang, tidak halal juga terdapat dua syarat dalam jual-beli, tidak juga mengambil untung atas barang yang tidak bisa dijamin (keberadaannya), dan tidak juga menjual barang yang bukan milikmu."

Maksud dari jual-beli bersama dengan hutang adalah seseorang yang menjual suatu barang dengan mensyaratkan agar si pembeli memberi penjual tersebut hutang. Contoh, si A berkata, "Saya jual buku ini kepadamu dengan harga Rp100.000,00 dengan syarat engkau meminjamkan aku Rp100.000,00."

Sedangkan dua syarat dalam jual-beli, seperti seseorang yang menjual baju kemudian mensyaratkan agar ia yang juga membersihkan dan menjahitnya. Hal ini termasuk yang merusak jual-beli menurut mayoritas ulama. Sedangkan Imam Ahmad berkata bahwa sah jual-beli tersebut. Mayoritas ulama juga mengatakan bahwa satu syarat atau dua syarat sama-sama terlarang.

Contoh dari menjual barang yang tidak bisa dijamin keberadaannya adalah seseorang yang membeli sebuah baju, kemudian ia menjualnya lagi ke orang lain, padahal baju tersebut belum ia terima dari penjual yang pertama.

Sedangkan menjual barang yang bukan menjadi milik maksudnya adalah menjual barang yang tidak berada di bawah kuasa kita. Karena ia tidak bisa diserah-terimakan kepada pembeli.

Contoh syarat-syarat terlarang lainnya yang masuk dalam jenis ini misalnya: Menjual barang dengan syarat si pembeli tidak menyewakan atau menjual lagi barang tersebut kepada orang lain, atau dengan syarat jika si pembeli ingin menjual barangnya, maka ia hanya boleh menjualnya kembali ke si penjual pertama.

Referensi: al-Fiqh al-Syâfi’î al-Muyassar

Tuesday, April 13, 2021

Seputar Niat

Mencampurkan Niat

Ada keadaan ketika pencampuran niat dapat membatalkan ibadah, contohnya: mencampurkan niat ketika menyembelih hewan antara menyembelih karena Allah dan untuk berhala, maka sembelihannya tidak sah. Begitu juga ketika seseorang dalam posisi masbuk, dan imam dalam keadaan rukuk. Makmum masbuk tadi ber-takbir dengan mencampurkan niat takbiratul ihram dan takbir untuk rukuk, maka salatnya tidak sah karena ada pencampuran niat. Ia mesti terpisah. Tidak sah juga orang yang berniat salat fardhu sekaligus berniat salat sunnah rawatib.

Namun, pencampuran niat juga tidak merusak ibadah di banyak contoh. Misalnya, orang yang berpuasa dengan niat ibadah sekaligus berobat atau diet, orang yang mandi junub atau wudhu sekaligus berniat menyegarkan badan, atau orang yang membaca ayat dalam salat dengan niat membaca bacaan salat sekaligus ingin membuat orang lain faham (terkait makna ayatnya). Bahkan, jika ada orang yang berkata pada orang lain: "Salatlah zuhur, maka aku akan berikan uang," lalu ia salat dengan niat tersebut, maka salatnya sah.

Salah dalam Niat

Jika seseorang salah dalam menentukan niat, maka dalam beberapa kasus, ia tidak membatalkan ibadahnya. Parameternya: Jika ibadah tersebut hanya mewajibkan niat secara umum, tidak mensyaratkan untuk khusus, maka salah dalam niat tidak membatalkannya.
Contohnya: Dalam berwudhu, kita cukup berniat menghilangkan hadas secara umum. Jika seorang  laki-laki berniat menghilangkan hadas karena buang angin, padahal faktanya hadasnya karena menyentuh perempuan, maka wudhunya tetap sah, karena wudhu memang hanya mensyaratkan menghilangkan hadas secara umum.
Sebaliknya, dalam ibadah yang mewajibkan berniat dengan menetapkan ibadahnya secara rinci, maka tidak boleh salah. Contoh: Dalam salat, kita wajib menentukan salat apa yang sedang kita lakukan. Jika seseorang salat zuhur dengan niat maghrib, atau salat fardhu dengan niat sunnah, maka salatnya tidak sah.

Referensi: al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah wa Tathbîqâthuhâ fi al-Madzhab al-Syâfi’î

 

Monday, April 12, 2021

Derajat Puasa

 Imam Al-Ghazali dalam Ihyâ’-nya membagi puasa menjadi tiga derajat:

1. Puasa umum (صوم العموم)

2. Puasa khusus (صوم الخصوص)

3. Puasa khusus dari yang paling khusus (صوم خصوص الخصوص)

Puasa pertama adalah menahan perut dan kemaluan dari hal-hal yang membatalkannya (makan, minum, berhubungan badan).

Puasa kedua adalah menahan pendengaran, pandangan, lisan, tangan, kaki, dan segala anggota badan dari dosa. Ini adalah derajat puasa orang-orang saleh. Derajat puasa ini lebih tinggi dibanding yang pertama

Puasa ketiga adalah menahan hati dan pikiran dari hal-hal yg rendah dan bersifat keduniaan, dan mengkhususkannya untuk Allah semata. Ini adalah derajat para Nabi, dan orang-orang yg dekat dengan Allah. Ini adalah derajat paling tinggi dalam puasa.

Ada enam hal yang bisa membuat kita mencapai derajat puasa kedua

1. Menundukkan dan menahan pandangan dari segala hal yang dicela syariat, serta menyibukkan hati untuk mengingat Allah

2. Menahan lisan dari berbicara yang tidak perlu, berbohong, ghibah, mengadu domba, bermusuhan, dan menyibukkannya untuk tilawah dan berdzikir

3. Menahan pendengaran dari mendengar hal yang dicela syariat. Terdapat kaidah: segala yang haram diucapkan, haram juga untuk didengar

4. Menahan tangan dan kaki dari segala yang dicela syariat, dan berbuka dengan makanan yang halal

5. Menahan dari makan dan minum berlebihan saat berbuka. Ruh dari puasa adalah "melemahkan kekuatan" dengan mengurangi makan dan minum karena banyaknya makan dan minum merupakan perantara setan mengantarkan kita pada keburukan dan syahwat. Ketika berbuka dengan berlebihan, kita menghilangkan esensi dari puasa itu sendiri.

6. Memposisikan hati di antara "takut" dan "harap" pada waktu berbuka. "Takut" jika Allah menolak puasanya dan "harap" agar Allah menerima puasanya. Hendaknya perasaan ini ada dalam setiap ibadah kita.

Referensi: Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn


Wednesday, April 7, 2021

Cara Memahami Perkataan ala Ahli Ushul Fiqih

Dalam ilmu ushul fiqih, kita banyak menemui penggunaan kata lafaz. Lafaz sendiri bermakna ucapan. Mengapa? Karena syariat turun dalam bentuk lafaz, yakni lafaz Allah. Maka, kita perlu mengerti “cara memahami lafaz” untuk dapat mengeluarkan maksud dari lafaz tersebut. Dalam ushul fiqih, kita menyebutnya dengan dalâlah.

Namun, sebenarnya, lafaz pun penggunaannya tidak hanya dalam konteks syariat. Dalam keseharian kita, kita selalu bersinggungan dengan lafaz, perkataan seseorang, itulah mengapa, pembahasan ushul fiqih sendiri sangat kontekstual jika dibawa dalam kehidupan sehari-hari.

Salah satu pembahasan mengenai dalâlah adalah mengenai dalâlah bi al-alfâzh, yakni mengenai hakikat dan majaz.

Hakikat adalah “lafaz yang dipahami sebagaimana asalnya”. Contohnya, singa yang dipahami sebagai hewan buas. Majaz adalah “lafaz yang dipahami tidak sebagaimana asalnya”. Contohnya, jika dikatakan, “Ada singa di dalam ruangan ini”, artinya adalah ada orang yang pemberani.

Kemudian, yang jadi pertanyaan adalah, bagaimana kita memahami sebuah lafaz/perkataan bahwa ia adalah sebuah hakikat ataukah majaz?

Terdapat kaidah dalam memahami sebuah perkataan. “al-ashlu fi al-kalâm al-haqiqah” (asalnya, sebuah perkataan adalah hakikat). Jadi, pada asalnya, jika seseorang berkata, “terserah”, kata tersebut dimaknai secara hakikat. Berarti ia menyerahkan pilihannya kepada orang lain. Orang lain bisa memilihkan apa saja untuknya. Terdapat rambu-rambu dalam hal ini, yakni, selama kata tersebut tidak banyak dimaknai sebagai majaz.

Bagaimana jika kondisinya, kata tersebut sering dimaknai sebagai majaz? Ahli ushul membagi tiga acara dalam memahaminya:

1. Jika pemaknaan kata tersebut secara hakikat sama banyaknya dengan pemaknaannya secara majaz, maka, maknai kata tersebut secara hakikat, mengikuti kaidah asal (“asalnya, sebuah perkataan adalah hakikat”).

2. Jika pemaknaan kata tersebut secara majaz lebih sering/banyak digunakan daripada pemaknaannya secara hakikat, dan makna hakikatnya sendiri sudah usang (secara adat, memang sudah tidak terpakai), maka, maknai kata tersebut secara majaz. Contohnya, jika seseorang berkata, “tanya kantor polisi saja,” maka, sudah jelas dan merupakan adat, bahwa yang dimaksud, bukanlah menanyakan bangunan kantor polisi, tetapi, orang yang ada di kantor polisi. Kata “kantor polisi” dibawa ke makna majaz, yakni “orang yang ada di kantor polisi”.

3. Jika pemaknaan kata tersebut secara majaz lebih sering digunakan daripada pemaknaannya secara hakikat, namun makna hakikatnya belum usang, ulama berbeda pendapat apakah sebuah kata akan dimaknai secara hakikat atau majaz.

a. Abu Hanifah berpendapat untuk memahaminya secara hakikat, karena hakikat adalah asal perkataan

b. Abu Yusuf berpendapat untuk memahaminya secara majaz, karena sesuai kondisinya di atas, ia lebih sering digunakan

c. al-Baidhowi, Ibnu Subki, dan Sofiyuddin al-Hindi berpendapat untuk tidak memahaminya dengan apapun, kecuali terdapat kata/kalimat yang menjadi pembanding/penjelas kata tersebut.

Contoh permasalahan fikih yang bisa terjadi dalam perbedaan ini adalah:

Jika seseorang bersumpah, “Saya bersumpah tidak akan minum dari sungai.” Maka, pengikut pendapat Abu Hanifah akan mengatakan bahwa orang tersebut tidak melanggar sumpah kalua ia menciduk air sungai menggunakan gelas, kemudian meminumnya, karena Abu Hanifah memahami perkataannya secara hakikat, bahwa ia bersumpah tidak akan minum (langsung) dari sungai. Pengikut pendapat Abu Yusuf akan mengatakan sebaliknya, bahwa ia telah melanggar sumpah jika menciduk air sungai menggunakan gelas, kemudian meminumnya, karena Abu Yusuf memahaminya dengan majaz, bahwa ia telah bersumpah tidak akan minum (dengan gelas/perantara apapun) dari sungai. Sedangkan pengikut pendapat al-Baidhowi tidak akan berpendapat apapun sebelum melihat petunjuk lain yang jadi pembanding/penjelasnya.

Maka, jika seseorang berkata “terserah”, cara kita memahaminya dengan cara pikir ala ahli ushul fiqih adalah: Melihat dulu, apakah orang tersebut lebih sering menggunakan kata tersebut secara hakikat atau secara basa-basi (majaz)? 1) Jika ia kadang menggunakannya secara hakikat, dan kadang basa-basi, maka bawa kata tersebut ke hakikat , karena ia asalnya. Pilihkan sesuatu untuk orang tersebut pilihan sesuai dengan yang kita mau, 2) Namun, jika sudah sama-sama paham, bahwa ia hanya basa-basi, dan pilihan anda sama sekali tidak terpakai, bawa ia ke majaz, artinya pilihkan sesuatu untuk orang tersebut sesuai dengan kesukaan/kebiasaan dia, 3) Jika majaz lebih sering digunakan, tapi pilihan anda masih terpakai (namun jarang), maka menjadi tergantung, anda penganut mazhab siapa? Kalo pengikut Abu Hanifah, maka, maknai ke nomor satu (hakikat), jika pengikut Abu Yusuf, maknai ke nomor dua (majaz), jika pengikut al-Baidhowi, maka tanya dan gali lagi sampai jelas kemauan sebenernya orang tersebut.

Referensi: Irsyad al-‘Uqûl ilâ Qawâ’id al-Ushûl

Bunga Bank

  Mesir sedang mengalami keterpurukan ekonomi di bulan Maret 2022 ini. Nilai tukar mata uang Mesir, Egyptian Pound (EGP), terhadap dollar me...