Wednesday, April 7, 2021

Cara Memahami Perkataan ala Ahli Ushul Fiqih

Dalam ilmu ushul fiqih, kita banyak menemui penggunaan kata lafaz. Lafaz sendiri bermakna ucapan. Mengapa? Karena syariat turun dalam bentuk lafaz, yakni lafaz Allah. Maka, kita perlu mengerti “cara memahami lafaz” untuk dapat mengeluarkan maksud dari lafaz tersebut. Dalam ushul fiqih, kita menyebutnya dengan dalâlah.

Namun, sebenarnya, lafaz pun penggunaannya tidak hanya dalam konteks syariat. Dalam keseharian kita, kita selalu bersinggungan dengan lafaz, perkataan seseorang, itulah mengapa, pembahasan ushul fiqih sendiri sangat kontekstual jika dibawa dalam kehidupan sehari-hari.

Salah satu pembahasan mengenai dalâlah adalah mengenai dalâlah bi al-alfâzh, yakni mengenai hakikat dan majaz.

Hakikat adalah “lafaz yang dipahami sebagaimana asalnya”. Contohnya, singa yang dipahami sebagai hewan buas. Majaz adalah “lafaz yang dipahami tidak sebagaimana asalnya”. Contohnya, jika dikatakan, “Ada singa di dalam ruangan ini”, artinya adalah ada orang yang pemberani.

Kemudian, yang jadi pertanyaan adalah, bagaimana kita memahami sebuah lafaz/perkataan bahwa ia adalah sebuah hakikat ataukah majaz?

Terdapat kaidah dalam memahami sebuah perkataan. “al-ashlu fi al-kalâm al-haqiqah” (asalnya, sebuah perkataan adalah hakikat). Jadi, pada asalnya, jika seseorang berkata, “terserah”, kata tersebut dimaknai secara hakikat. Berarti ia menyerahkan pilihannya kepada orang lain. Orang lain bisa memilihkan apa saja untuknya. Terdapat rambu-rambu dalam hal ini, yakni, selama kata tersebut tidak banyak dimaknai sebagai majaz.

Bagaimana jika kondisinya, kata tersebut sering dimaknai sebagai majaz? Ahli ushul membagi tiga acara dalam memahaminya:

1. Jika pemaknaan kata tersebut secara hakikat sama banyaknya dengan pemaknaannya secara majaz, maka, maknai kata tersebut secara hakikat, mengikuti kaidah asal (“asalnya, sebuah perkataan adalah hakikat”).

2. Jika pemaknaan kata tersebut secara majaz lebih sering/banyak digunakan daripada pemaknaannya secara hakikat, dan makna hakikatnya sendiri sudah usang (secara adat, memang sudah tidak terpakai), maka, maknai kata tersebut secara majaz. Contohnya, jika seseorang berkata, “tanya kantor polisi saja,” maka, sudah jelas dan merupakan adat, bahwa yang dimaksud, bukanlah menanyakan bangunan kantor polisi, tetapi, orang yang ada di kantor polisi. Kata “kantor polisi” dibawa ke makna majaz, yakni “orang yang ada di kantor polisi”.

3. Jika pemaknaan kata tersebut secara majaz lebih sering digunakan daripada pemaknaannya secara hakikat, namun makna hakikatnya belum usang, ulama berbeda pendapat apakah sebuah kata akan dimaknai secara hakikat atau majaz.

a. Abu Hanifah berpendapat untuk memahaminya secara hakikat, karena hakikat adalah asal perkataan

b. Abu Yusuf berpendapat untuk memahaminya secara majaz, karena sesuai kondisinya di atas, ia lebih sering digunakan

c. al-Baidhowi, Ibnu Subki, dan Sofiyuddin al-Hindi berpendapat untuk tidak memahaminya dengan apapun, kecuali terdapat kata/kalimat yang menjadi pembanding/penjelas kata tersebut.

Contoh permasalahan fikih yang bisa terjadi dalam perbedaan ini adalah:

Jika seseorang bersumpah, “Saya bersumpah tidak akan minum dari sungai.” Maka, pengikut pendapat Abu Hanifah akan mengatakan bahwa orang tersebut tidak melanggar sumpah kalua ia menciduk air sungai menggunakan gelas, kemudian meminumnya, karena Abu Hanifah memahami perkataannya secara hakikat, bahwa ia bersumpah tidak akan minum (langsung) dari sungai. Pengikut pendapat Abu Yusuf akan mengatakan sebaliknya, bahwa ia telah melanggar sumpah jika menciduk air sungai menggunakan gelas, kemudian meminumnya, karena Abu Yusuf memahaminya dengan majaz, bahwa ia telah bersumpah tidak akan minum (dengan gelas/perantara apapun) dari sungai. Sedangkan pengikut pendapat al-Baidhowi tidak akan berpendapat apapun sebelum melihat petunjuk lain yang jadi pembanding/penjelasnya.

Maka, jika seseorang berkata “terserah”, cara kita memahaminya dengan cara pikir ala ahli ushul fiqih adalah: Melihat dulu, apakah orang tersebut lebih sering menggunakan kata tersebut secara hakikat atau secara basa-basi (majaz)? 1) Jika ia kadang menggunakannya secara hakikat, dan kadang basa-basi, maka bawa kata tersebut ke hakikat , karena ia asalnya. Pilihkan sesuatu untuk orang tersebut pilihan sesuai dengan yang kita mau, 2) Namun, jika sudah sama-sama paham, bahwa ia hanya basa-basi, dan pilihan anda sama sekali tidak terpakai, bawa ia ke majaz, artinya pilihkan sesuatu untuk orang tersebut sesuai dengan kesukaan/kebiasaan dia, 3) Jika majaz lebih sering digunakan, tapi pilihan anda masih terpakai (namun jarang), maka menjadi tergantung, anda penganut mazhab siapa? Kalo pengikut Abu Hanifah, maka, maknai ke nomor satu (hakikat), jika pengikut Abu Yusuf, maknai ke nomor dua (majaz), jika pengikut al-Baidhowi, maka tanya dan gali lagi sampai jelas kemauan sebenernya orang tersebut.

Referensi: Irsyad al-‘Uqûl ilâ Qawâ’id al-Ushûl

No comments:

Post a Comment

Bunga Bank

  Mesir sedang mengalami keterpurukan ekonomi di bulan Maret 2022 ini. Nilai tukar mata uang Mesir, Egyptian Pound (EGP), terhadap dollar me...