Dalam ilmu ushul fiqih, kita banyak menemui penggunaan kata lafaz. Lafaz sendiri bermakna ucapan. Mengapa? Karena syariat turun dalam bentuk lafaz, yakni lafaz Allah. Maka, kita perlu mengerti “cara memahami lafaz” untuk dapat mengeluarkan maksud dari lafaz tersebut. Dalam ushul fiqih, kita menyebutnya dengan dalâlah.
Namun, sebenarnya, lafaz pun penggunaannya
tidak hanya dalam konteks syariat. Dalam keseharian kita, kita selalu
bersinggungan dengan lafaz, perkataan seseorang, itulah mengapa, pembahasan ushul
fiqih sendiri sangat kontekstual jika dibawa dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu pembahasan mengenai dalâlah
adalah mengenai dalâlah bi al-alfâzh, yakni mengenai hakikat dan majaz.
Hakikat adalah “lafaz yang dipahami sebagaimana
asalnya”. Contohnya, singa yang dipahami sebagai hewan buas. Majaz adalah “lafaz
yang dipahami tidak sebagaimana asalnya”. Contohnya, jika dikatakan, “Ada singa
di dalam ruangan ini”, artinya adalah ada orang yang pemberani.
Kemudian, yang jadi pertanyaan adalah, bagaimana
kita memahami sebuah lafaz/perkataan bahwa ia adalah sebuah hakikat ataukah
majaz?
Terdapat kaidah dalam memahami sebuah
perkataan. “al-ashlu fi al-kalâm al-haqiqah” (asalnya, sebuah perkataan
adalah hakikat). Jadi, pada asalnya, jika seseorang berkata, “terserah”, kata
tersebut dimaknai secara hakikat. Berarti ia menyerahkan pilihannya kepada
orang lain. Orang lain bisa memilihkan apa saja untuknya. Terdapat rambu-rambu
dalam hal ini, yakni, selama kata tersebut tidak banyak dimaknai sebagai majaz.
Bagaimana jika kondisinya, kata tersebut sering
dimaknai sebagai majaz? Ahli ushul membagi tiga acara dalam memahaminya:
1. Jika pemaknaan kata tersebut secara hakikat
sama banyaknya dengan pemaknaannya secara majaz, maka, maknai kata tersebut
secara hakikat, mengikuti kaidah asal (“asalnya, sebuah perkataan adalah
hakikat”).
2. Jika pemaknaan kata tersebut secara majaz
lebih sering/banyak digunakan daripada pemaknaannya secara hakikat, dan makna
hakikatnya sendiri sudah usang (secara adat, memang sudah tidak terpakai), maka,
maknai kata tersebut secara majaz. Contohnya, jika seseorang berkata, “tanya
kantor polisi saja,” maka, sudah jelas dan merupakan adat, bahwa yang dimaksud,
bukanlah menanyakan bangunan kantor polisi, tetapi, orang yang ada di kantor
polisi. Kata “kantor polisi” dibawa ke makna majaz, yakni “orang yang ada di kantor
polisi”.
3. Jika pemaknaan kata tersebut secara majaz lebih
sering digunakan daripada pemaknaannya secara hakikat, namun makna hakikatnya
belum usang, ulama berbeda pendapat apakah sebuah kata akan dimaknai secara hakikat
atau majaz.
a. Abu Hanifah berpendapat untuk memahaminya
secara hakikat, karena hakikat adalah asal perkataan
b. Abu Yusuf berpendapat untuk memahaminya
secara majaz, karena sesuai kondisinya di atas, ia lebih sering digunakan
c. al-Baidhowi, Ibnu Subki, dan Sofiyuddin al-Hindi
berpendapat untuk tidak memahaminya dengan apapun, kecuali terdapat kata/kalimat
yang menjadi pembanding/penjelas kata tersebut.
Contoh permasalahan fikih yang bisa terjadi
dalam perbedaan ini adalah:
Jika seseorang bersumpah, “Saya bersumpah tidak
akan minum dari sungai.” Maka, pengikut pendapat Abu Hanifah akan mengatakan
bahwa orang tersebut tidak melanggar sumpah kalua ia menciduk air sungai menggunakan
gelas, kemudian meminumnya, karena Abu Hanifah memahami perkataannya secara
hakikat, bahwa ia bersumpah tidak akan minum (langsung) dari sungai. Pengikut
pendapat Abu Yusuf akan mengatakan sebaliknya, bahwa ia telah melanggar sumpah
jika menciduk air sungai menggunakan gelas, kemudian meminumnya, karena Abu
Yusuf memahaminya dengan majaz, bahwa ia telah bersumpah tidak akan minum
(dengan gelas/perantara apapun) dari sungai. Sedangkan pengikut pendapat
al-Baidhowi tidak akan berpendapat apapun sebelum melihat petunjuk lain yang
jadi pembanding/penjelasnya.
Maka, jika seseorang berkata “terserah”, cara
kita memahaminya dengan cara pikir ala ahli ushul fiqih adalah: Melihat dulu,
apakah orang tersebut lebih sering menggunakan kata tersebut secara hakikat
atau secara basa-basi (majaz)? 1) Jika ia kadang menggunakannya secara hakikat,
dan kadang basa-basi, maka bawa kata tersebut ke hakikat , karena ia asalnya.
Pilihkan sesuatu untuk orang tersebut pilihan sesuai dengan yang kita mau, 2) Namun,
jika sudah sama-sama paham, bahwa ia hanya basa-basi, dan pilihan anda sama
sekali tidak terpakai, bawa ia ke majaz, artinya pilihkan sesuatu untuk orang
tersebut sesuai dengan kesukaan/kebiasaan dia, 3) Jika majaz lebih sering
digunakan, tapi pilihan anda masih terpakai (namun jarang), maka menjadi tergantung,
anda penganut mazhab siapa? Kalo pengikut Abu Hanifah, maka, maknai ke nomor satu
(hakikat), jika pengikut Abu Yusuf, maknai ke nomor dua (majaz), jika pengikut al-Baidhowi,
maka tanya dan gali lagi sampai jelas kemauan sebenernya orang tersebut.
Referensi: Irsyad al-‘Uqûl ilâ Qawâ’id al-Ushûl
No comments:
Post a Comment