Mahar secara istilah berarti sesuatu yang menjadi "pengganti" ('iwadh) dalam pernikahan. Ulama menjelaskan bahwa ia wajib ditunaikan dalam sebuah pernikahan. Mazhab Maliki memasukkan mahar ke dalam rukun nikah. Dalil pensyariatan dari mahar di antaranya adalah QS An-Nisa:4
وَاٰتُوا النِّسَاۤءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحْلَةً ۗ فَاِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْۤـًٔا مَّرِيْۤـًٔا
Terjemah :
Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.
Jika kita membahas pertanyaan dari judul tulisan ini, menurut saya, agaknya ia bisa terjawab ketika kita mempelajari tafsir dari QS An-Nisa:4 ini, dan mengkaji lebih panjang mengenai hakikat pernikahan dalam Islam, khususnya mengenai hak, dan kewajiban. Namun, tulisan ini hanya akan berusaha membahas sedikit dari sisi tafsir ayat ini guna meluruskan cara pandang kita dalam melihat mahar.
Allah menyebutkan dalam ayat-Nya, "Dan berikanlah mahar kepada perempuan secara 'nihlah'". Ulama mendefinisikan nihlah sebagai "'athiyyatun min ghairi 'iwadh" yakni "pemberian tanpa imbalan". Dari definisi ini terlihat hakikat mahar adalah layaknya hibah, pemberian tanpa adanya balasan atas pemberian tersebut. Jika kita melihat kata ini saja, terlihat bahwa cara memandang mahar harusnya sudah berbeda dengan memandang harga dari suatu barang -sebagaimana yang menjadi tesis di judul-. Harga senantiasa dipadankan dalam transaksi jual-beli, baik jasa, atau barang. Titik perbedannya adalah harga merupakan pemberian dengan suatu imbalan. Jika seseorang membayar sebesar x, maka ia mendapat barang/jasa senilai sekian. Sedangkan posisi mahar sebagaiman dijelaskan sebelumnya, tidak demikian.
Kemudian pertanyaannya, pemberian dari siapa? Ulama menjelaskan bahwa ia adalah "'athiyyatun min Allah ta'ala," yakni pemberian dari Allah ta'ala sebagai wujud takrîm/pemuliaan kepadanya. Dari sini saja, agaknya cara kita memosisikan mahar sudah cukup jelas, bahwa ia bukan lah harga, namun pemberian tanpa adanya imbalan (dari perempuan) yang berasal dari Allah ta'ala.
Penyamaan mahar sebagai sebuah harga atas perempuan sebenarnya lebih cocok dipadankan dengan praktek perbudakan di zaman jahiliyyah, atau saat ini pun kita bisa melihatnya dalam praktek prostitusi, dan perdagangan manusia modern yang masih ada. Dalam praktek-praktek tersebut, jelas bahwa perempuan dipandang sebagai suatu objek yang memiliki harga. Ketika harga telah dibayarkan, maka perempuan tersebut harus memberi imbalannya mengikuti apa yang pembeli mau. Secara hakikat, praktek-praktek tersebut jelas berbeda dengan pernikahan, yang mana terdapat kewajiban, hak, dan manfaat yang berbeda di dalamnya. (Sedikit mengenai konsep keluarga: dalam https://muammarfarras.blogspot.com/2021/01/risalah-keluarga-dalam-islam-1.html dan https://muammarfarras.blogspot.com/2021/01/risalah-keluarga-dalam-islam-2.html)
Jika kita merenungkan sedikit lagi mengenai aspek fikih lainnya dalam mahar, misalnya, bahwa mayoritas ulama membolehkan mahar dalam bentuk manfaat (misalnya: maharnya adalah mengajarkan si perempuan surah dalam Al-Qur'an, atau mengajarkannya kerajinan tangan), atau aspek lainnya, seperti bolehnya istri memberikan maharnya kepada suami dengan syarat bahwa bahwa istrinya ridha, maka cara pandang "mahar adalah harga atas perempuan" yang sangat sarat nilai transaksional, dan materialistis agaknya semakin jauh dari cara pandang kita terhadapnya.
Referensi:
Tafsîr Âyât al-Ahkâm karya Syaikh Muhammad Ali as-Sayis
al-Wajîz fî Fiqh al-Usrah karya Dr. Ahmad Ali Thaha Rayyan
No comments:
Post a Comment