Thursday, April 15, 2021

Makna dan Hukum Se-kufu' (Setara) dalam Pernikahan

 Kafaah (الكفاءة) memiliki arti setara, sebanding. Maksud kufu' dalam konteks pernikahan adalah bahwa seorang suami hendaknya setara dengan istrinya dalam status sosial, harta, dan akhlak. Bagaimana pandangan mazhab fikih mengenai maksudnya lebih rinci dan hukumnya?

 Kepada siapa kufu' ini harus diperhatikan

Kufu' diperhatikan dari sisi suami, bukan istri. Maksudnya, suami yang dipersyaratkan untuk setara dengan istrinya, dan istri tidak dipersyaratkan untuk setara dengan suami. Sehingga, perempuan yang jadi "parameter" bagi laki-laki untuk mengejar status "setara"-nya.

Pandangan mazhab-mazhab fikih terkait hukumnya

Zhahiriyyah

Ibnu Hazm dari Mazhab Zhahiriyyah berpendapat bahwa kufu' tidak dipersyaratkan sama sekali. Ia berpendapat bahwa setiap muslim -selama bukan pezina- berhak menikahi muslimah mana pun -selama bukan pezina-.

Malikiyyah

Mazhab Maliki berpendapat bahwa kufu' diperhitungkan. Adapun poin yang harus diperhatikan hanyalah: ke-istiqomah-an dan akhlak. Maka, nasab (keturunan), kekayaan, dan hal lainnya tidak diperhitungkan sama sekali. Jika dua hal tersebut tidak terpenuhi, misalnya, terdapat laki-laki dengan akhlak yang buruk, maka laki-laki tersebut tidak setara dengan perempuan ber-akhlak baik.

Ibnu Rusyd dalam Bidâyah al-Mujtahid berkata, "Tidak ada perselisihan dalam Mazhab Maliki bahwa jika seorang ayah menikahkan anak perempuannya dengan peminum khamr, maka ia dapat menolaknya, dan hakim dapat memisahkannya."

Imam asy-Syaukani berkata bahwa Umar bin Khatthab, Ibnu Mas'ud, Umar bin Abdul Azis, Muhmmad bin Sirin berpendapat demikian juga.

Mayoritas ahli fikih

Mayoritas ahli fikih selain yang tersebut di atas mengatakan bahwa kufu' diperhitungkan, namun mereka tidak membatasi kufu' pada poin istiqomah dan akhlak semata, namun, ada beberapa poin lagi yang diperhitungkan:

1. Nasab (keturunan)

Sebagian kabilah Arab lebih afdhol dibanding kabilah yang lain, orang non-Arab tidak kufu' dengan orang Arab, Arab dari kabilah Quraisy lebih afdhol dibanding kabilah lainnya.

Persoalan nasab ini menurut Imam Syafi'i hanya terjadi di antara Arab. Adapun, sesama non-Arab, dianggap setara semuanya. Sehingga, orang Jawa sah menikah dengan orang Sumatera, atau dengan orang Eropa.

Namun, Sayyid Sabiq mengomentari hal ini, "Adapun, yang benar, tidak demikian. Rasulullah menikahkan dua anak perempuannya (yang berasal dari Quraisy -nasab Arab tertinggi-) dengan Utsman dan menikahkan Abul Ash dengan Zainab.

Dari sini, nasab anak perempuan Rasulullah sebenarnya lebih tinggi daripada Utsman dan Abul Ash, namun mereka bisa menikahinya. Sayyid Sabiq menyimpulkan bahwa nasab tidaklah diperhitungkan, dan ilmu berada di atas segalanya. Maka, seorang alim (yang berilmu) kufu' dengan perempuan manapun.

2. Islam

Maksudnya adalah, kufu' dilihat dari keislaman ayah dan keturunannya terus ke atas (kakeknya, dst.)

Maka, seorang muslimah yang memiliki ayah dan kakek yang muslim tidak se-kufu' dengan muslim yang hanya memiliki ayah yang muslim sedangkan kakeknya bukan. Sedangkan, jika sama-sama hanya ayah mereka yang muslim, maka mereka se-kufu'.

Abu Yusuf berpendapat bahwa satu keturunan di atas saja sudah cukup untuk se-kufu'. Maka, muslimah yang memiliki ayah dan kakek yang muslim dengan laki-laki yang hanya memiliki ayah yang muslim sedangkan kakeknya bukan sudah se-kufu'.

3. Pekerjaan

Maksudnya adalah, kufu' dilihat dari kemuliaan pekerjaan seseorang. Standarnya adalah adat setempat. Adat yang menilai suatu pekerjaan lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan pekerjaan yang lain. 

Abu Yusuf berpendapat bahwa pekerjaan tidak diperhitungkan dalam kufu' selama pekerjaan tersebut bukan sesuatu yang haram (melampaui batas).

4. Harta

Terdapat perbedaan pendapat dalam Mazhab Syafi'i, sebagian berkata bahwa harta diperhitungkan dan sebagian berkata tidak diperhitungkan. Kalangan yang memperhitungkan harta beralasan bahwa nafkah perempuan yang fakir berbeda dengan nafkah perempuan yang kaya. Sedangkan, kalangan yang tidak memperhitungkan berpendapat bahwa harta bukanlah hal yang esensial dan orang yang memiliki kehormatan tidak membanding-bandingkan harta.

Dalam Mazhab Hanafi, yang diperhitungkan dalam harta adalah kemampuan nafkah dan memberi mahar. Jika memiliki keduanya, maka sudah se-kufu'.

Sedangkan menurut Imam Ahmad, kesetaraan harta diperhitungkan. Karena, nafkah bagi perempuan yang kaya berbeda dengan nafkah perempuan yang fakir.

5. Kekurangan fisik

Mazhab Syafi'i memperhitungkan kekurangan fisik. Begitu juga Imam Malik. Maksudnya seperti cacat fisik. Termasuk di dalamnya kusta, lemah akal.

Sedangkan Mazhab Hanafi dan Hambali tidak memperhitungkannya. Namun, perempuan bisa memilih untuk melanjutkan akad nikahnya atau tidak.

Referensi: Fiqh al-Sunnah

No comments:

Post a Comment

Bunga Bank

  Mesir sedang mengalami keterpurukan ekonomi di bulan Maret 2022 ini. Nilai tukar mata uang Mesir, Egyptian Pound (EGP), terhadap dollar me...