Thursday, February 25, 2021

Ijarah Muntahiyah bi al-Tamlik: Penyesuaian Fikih terhadap Skema-Skema IMBT (3 - Akhir)

Skema keempat: Skema IMBT dilakukan dengan ijarah, kemudian dilakukan perpindahan kepemilikan dengan hibah. Terdapat dua gambaran:
Pertama: Akad dilakukan dengan ijarah di awal. Ijarah atas barang tertentu, dengan biaya tertentu, dan periode tertentu. Kemudian, pemilik barang berjanji untuk meng-hibah-kan barang di akhir periode jika penyewa menyelesaikan biaya cicilan ijarah-nya. 
Kedua: Akad dilakukan dengan ijarah di awal bersamaan dengan syarat hibah yang menempel bersamaan dengan berakhirnya semua biaya cicilan ijarah-nya.

Hukum gambaran pertama dibangun atas hukum menepati janji dalam syariat, yang pendapat terkuatnya dalam hal ini adalah wajib untuk menepati janji kecuali ada alasan (udzur), dan jika janji berkaitan dengan suatu sebab, maka wajib diganti. Maka, mengikuti skema-skema sebelumnya beserta dengan aturan-aturannya, gambaran pertama ini dibolehkan karena tidak terdapat unsur yang dilarang dalam syariat.

Akad ini sah dengan:
1. Menetapkan periode ijarah, dan menepati hukum-hukum ijarah sepanjang periode tersebut.
2. Menetapkan biaya cicilan
3. Perpindahan kepemilikan terjadi di akhir ketika biaya cicilan ijarah selesai, beramal dengan janji untuk meng-hibah-kan yang dilakukan dengan ijab, dan qobul antara pemilik, dan penyewa.

Hukum gambaran kedua termasuk ke dalam perbedaan pendapat ulama, mengikuti perbedaan pendapat ulama terkait hukum mengaitkan hibah dengan syarat yang akan datang.
Pandangan pertama: Gambaran kedua tidak diperbolehkan, dan ini pendapat mayoritas ulama Hanafiyyah, Syafi'iyyah, Hanabilah, dan Zhahiriyyah. Mereka berdalil dengan beberapa dalil:
a. Di antara rukun hibah adalah tidak terkait dengan resiko yang berkaitan dengan "ada atau tidak ada", misalnya dikaitkan dengan "datang atau tidaknya Zaid." Hibah juga tidak boleh dikaitkan dengan waktu, seperti "Aku hibahkan kamu barang ini besok," karena hibah adalah perpindahan kepemilikan saat itu juga.
Pandangan kedua: Boleh. Ini adalah pendapat sebagian ulama Hanafiyyah, Malikiyyah, dan riwayat dari Imam Ahmad, juga Ibnul Qoyyim. Mereka berdalil dengan beberapa dalil:
a. Hadis dari Ummu Kultsum bahwa ketika Rasulullah ﷺ menikahi Ummu Salamah, ia ﷺ berkata, "Aku telah menghadiahkan kepada Najasyi perhiasan dan misk, dan Najasyi telah wafat, sedangkan aku melihat bahwa hadiahku ditolak. Jadi hadiah itu dikembalikan, maka hadiah itu menjadi milikmu." Hadiah itu kemudian dikembalikan, dan Rasulullah ﷺ memberikan istri-istrinya satu ons misk, dan memberi Ummu Salamah sisa misk-nya, dan perhiasannya.

b. Hadis riwayat Jabir bahwa Rasulullah ﷺ berkata kepadanya, "Jika harta dari Bahrain datang, aku akan memberimu tiga dari harta tersebut," harta tersebut tidak datang hingga Nabi ﷺ wafat, kemudian ketika Nabi ﷺ wafat dan ketika Abu Bakar mengumumkan apakah ada yang memiliki piutang, atau janji atas Nabi, maka Jabir berkata, "Nabi ﷺ telah menjanjikanku harta."

Dalil ini menunjukkan kebolehan mengikatkan hibah dengan syarat.
Pendapat terkuat: Pendapat kedua yang membolehkan dengan kekuatan dalil mereka. 

 

No comments:

Post a Comment

Bunga Bank

  Mesir sedang mengalami keterpurukan ekonomi di bulan Maret 2022 ini. Nilai tukar mata uang Mesir, Egyptian Pound (EGP), terhadap dollar me...