1. Skema pertama: IMBT diawali dengan akad ijarah, kemudian ketika telah selesai periode ijarah, dan semua biaya sewa telah dibayar, hak milik otomatis berpindah ke penyewa tanpa adanya akad baru.
Catatan:
a. Bahwa di awal, akad ini adalah akad ijarah ditandai dengan pihak yang menyewakan berhak menarik barang jika penyewa tidak dapat membayar biaya sewa, dan sighat menggunakan lafaz "ajartuka".
b. Dalam waktu yang bersamaan, akad bai' ada bersama akad ijarah. Hal ini ditandai dengan kondisi faktual bahwa penyewa yang menanggung biaya pemeliharaan, atau kerusakan (sebagaimana kondisi bai'), padahal, dalam ijarah, biaya pemeliharaan, atau kerusakan menjadi tanggung jawab pemilik barang, kecuali dalam keadaan keteledoran penyewa.
Terdapat beberapa kecacatan dalam skema pertama IMBT ini:
a. Setiap barang jual-beli, harus ada harga. Dalam akad ini, tidak ada.
b. Biaya sewa di sini tidak mengikuti biaya sewa pada umumnya, karena akad ini menuntut biaya dinaikkan karena pada hakikatnya, ia mengikuti harga barang (karena yang dituju sebenarnya adalah akad jual-beli).
c. Maksud sebenarnya dari penyewa adalah membelinya, bukan menyewanya.
Terdapat dua pendapat dalam penyesuaian fikih yang terjadi dalam skema pertama ini :
a. Bahwa gambaran ini merupakan akad bai' bi al-taqsith (jual-beli kredit).
Penjelasan: Dalam akad ini, biaya sewa yang dibayarkan tidak mengikuti biaya sewa pada umumnya, namun biayanya cenderung lebih besar, sebanding dengan harga jual barangnya. Kemudian, niat penyewa sendiri sedari awal adalah membelinya, bukan menyewanya. Alasan mengapa akad ini diarahkan ke IMBT adalah karena dari sisi pemilik barang, ia takut penyewa tidak bisa membayar cicilannya, dan dari sisi penyewa, ia ingin membeli barangnya, namun tidak bisa membayarnya secara tunai.
b. Bahwa gambaran ini meliputi dua akad: ijarah, dan akad bai' yang terkait dengan berakhirnya biaya sewa (ijarah).
Catatan: pendapat ini dibantah dengan argumen bahwa biaya yang dibayar setiap periode adalah biaya sewa, bagaimana bisa tiba-tiba berubah menjadi harga barang?
Dari sini, terdapat dua pendapat dalam hukum IMBT dengan skema ini:
Pendapat pertama: Skema ini dihukumi haram. Pendapat ini berdalil dengan beberapa dalil:
a. Skema ini meliputi akad ijarah, dan bai' pada satu waktu, dan objek yang satu. Hal ini dilarang dengan hadis, "Tidak halal hutang, dan jual-beli bersamaan, dua syarat dalam jual-beli, tidak juga mengambil keuntungan pada sesuatu yang tidak bisa dijamin, tidak juga menjual sesuatu yang bukan milikmu, dan dilarang juga dua jual-beli dalam satu jual-beli (bai'atain fi bai'ah)"
b. Dua akad ini berbeda hukum, dan pengaruhnya masing-masing. Kepemilikan otomatis berpindah dalam akad jual-beli, dan pembeli otomatis menjadi orang yang bertanggung jawab atas barang tersebut, sedangkan dalam ijarah, kepemilikan masih menjadi pemilik asli barang, dan tanggung jawab juga berada padanya, maka dua akad ini tidak bisa dicampurkan.
c. Terdapat gharar. Pembeli bisa saja mengalami kesulitan membayar pada akhir periode. Sedangkan, biaya yang selama ini ia bayar pasti lebih mahal dari biaya ijarah seharusnya, karena pada hakikatnya, ia membayar harga jual barang tersebut, bukan biaya sewa. Jika ia kesulitan membayar di akhir, dan barang ditarik pemilik barang, maka pembeli bisa merugi.
d. Skema ini bisa mempermudah orang untuk melakukan IMBT, dikhawatirkan jika sembarang orang, tanpa pertimbangan finansial yang baik melakukannya, bisa menimbulkan dharar (kerusakan).
e. Bertentangan dengan kaidah syariah: "Setiap akad memiliki hukum, dan pengaruhnya tepat setelah ia dilakukan"
Pendapat kedua: Bolehnya skema ini. Pendapat ini berdalil dengan dalil:
a. Hakikatnya, skema ini jual-beli kredit, ijarah di sini hanya formalitas. Dan akad diliat dari hakikatnya, bukan dari sisi formalitasnya. Hal ini berpengaruh pada kepemilikan yang otomatis berpindah ketika akad dilakukan (sebagaimana akad jual-beli).
b. Skema ini disertai dengan syarat (syarth al-jaza'i). Bahwa kepemilikan tidak berpindah kepada pembeli, kecuali ia telah menyelesaikan cicilan. Dan syarat ini boleh, karena tidak ada dalil yang melarangnya.
Diskusi:
a. Barang masih menjadi tanggung jawab pemilik barang, maka akad ini secara hakikat adalah ijarah, bukan hanya formalitas saja.
b. Syarat "kepemilikan tidak berpindah kepada pembeli, kecuali ia telah menyelesaikan cicilan" tidak bisa dilakukan, karena bertentangan dengan tujuan akad jual-beli, yakni memindahkan kepemilikan.
Jawaban pendukung pendapat ini: Syarat ini sah, karena syarat dari jual-beli adalah saling ridha. Jika saling ridha tercapai, maka tidak mengapa. Pada asalnya, syarat sah jika tidak ada dalil yang melarangnya.
Pendapat terkuat:
Penulis berpendapat, bahwa pendapat pertama lebih kuat, bahwa IMBT dengan skema ini tidak boleh.
Namun, terdapat alternatif syar'i yang bisa dilakukan pada skema ini, yakni memisahkan dua akad, sehingga masing-masing akad berjalan terpisah. Hal ini dilakukan melalui beberapa syarat tertentu:
1. Tanggung jawab (selama proses cicilan) ada di tangan pemilik asli barang. Sehingga ia yang bertanggung jawab atas biaya pemeliharaan, dan kerusakan, kecuali disebabkan keteledoran penyewa
2. Biaya operasional (misal: listrik, air) ada di tangan penyewa
3. Syarth al-jaza'i (Syarat denda) yang diberikan oleh pemilik barang kepada penyewa jika penyewa tidak menyelesaikan cicilannya
4. Jaminan harus bersifat sukarela
5. Akad berbentuk jual-beli yang diberi syarat: kepemilikan tidak berpindah kecuali telah cicilan telah dibayar semuanya. Pensyaratan ini dibolehkan oleh sebagian ulama Malikiyyah, dan Imam Ahmad dalam satu riwayat.
6. Atau, akad diikat dengan janji pemindahan kepemilikan di akhir periode ijarah.
Sumber: qadhâyâ fiqhiyyah mu'âshirah
No comments:
Post a Comment