Sebuah pemerintahan/kepemimpinan memiliki dua pondasi: kekuatan, dan keamanahan. Kekuatan yang dimaksud di sini bergantung pada posnya. Dalam konteks militer misalnya, maka maksud kekuatan adalah tentang keberanian, keteguhan hati, pengalaman mengenai peperangan, dan siasat. Dalam konteks peradilan, maka kekuatan adalah tentang ilmu mengenai keadilan, hukum, serta kemampuan untuk menerapkannya.
Sedang amanah, kembali pada ketakutan pada Allah, tidak menjual ayat-ayatNya dengan murah (dengann segala keluasan maknanya), serta meninggalkan ketakutan terhadap manusia, dan intervensinya.
Mencari orang yang memiliki dua hal ini amat sulit. Maka, kita memilih orang untuk mengurus sesuatu berdasarkan bidang, dan kebutuhannya. Ketika satu bidang lebih membutuhkan poin kekuatan, maka orang dengan kekuatan lebih dipilih walau dari sisi keamanahannya lemah, begitu juga sebaliknya.
Imam Ahmad pernah ditanya mengenai mana orang yang didahulukan untuk memimpin perang, orang yang kuat, tapi sering maksiat (fajir), atau orang yang lemah, tapi saleh. Imam Ahmad menjawab, "Orang yang kuat, tapi fajir, kekuatannya untuk kaum muslimin, sedangkan maksiatnya untuk diri sendiri, sedangkan orang yang lemah, tapi saleh, kesalehannya untuk dirinya sendiri, sedangkan kelemahannya berdampak bagi kaum muslimin, maka berperanglah dengan orang yang kuat tapi fajir."
Begitu juga dengan apa yang terjadi di jaman Rasulullah ﷺ, sejak berislamnya Khalid bin Walid, ia selalu menjadi panglima perang karena kompetensinya dalam peperangan. Hal ini berlanjut sampai kekhilafahan Abu Bakar radhiyallahu 'anhu. Padahal, terkadang, Khalid bin Walid melakukan sesuatu yang Rasulullah ﷺ ingkari, sampai pernah Rasulullah ﷺ berdoa, "Ya Allah, aku berlepas diri dari apa yang Khalid lakukan." karena tindakan Khalid yang berlebihan saat ia diutus ke Bani Judzaimah.
Jika suatu pos memerlukan keamanahan lebih daripada kekuatan, maka diutamakan orang yang amanah daripada orang yang memiliki kekuatan pada pos tersebut. Misal, dalam pengurusan harta negara, dan semacamnya.
Dalam urusan kehakiman, jika perkara yang diurus telah jelas mana yang benar, kemudian ada kekhawatiran bahwa perkara tersebut memancing hawa nafsu untuk berbuat kecurangan, maka didahulukan hakim yang lebih wara' (menjaga diri dari perbuatan dosa). Sedangkan, pada perkara yang membutuhkan penggalian hukum lebih jauh, maka didahulukan hakim yang lebih berpengetahuan dan menguasai hukum.
Oleh karena itu, memilih orang yang kompeten dalam konteks pemerintahan, tidak terlepas dari tujuan suatu pemerintahan itu sendiri. Apa tujuan suatu pemerintahan tersebut, maka orang yang sesuai dengan kebutuhannya lah yang dipilih. Adapun, terdapat tujuan wajib dari setiap negara menurut Ibnu Taimiyyah, memperbaiki keadaan, dan kualitas beragama suatu masyarakat, yang mana jika ia tidak ada, merugilah suatu negara, dan tiadalah bermanfaat segala urusan dunia, dan memperbaiki keadaan keuangan yang terbagi jadi dua bagian: mendistribusikan harta kepada orang yang berhak, serta menegakkan hukuman bagi orang yang bersalah.
Sumber: as-siyasah asy-syar'iyyah fi ishlah ar-ra'i wa ar-ra'iyyah
No comments:
Post a Comment