Sunday, July 19, 2020

Hikmah #1 dari Kitab al-Hikam Karya Ibn Athaillah as-Sakandary


Menyelami lautan hikmah dari Ibnu Athaillah as-Sakandary
Hikmah pertama:


من علامة الاعتماد على العمل نقصان الرجاء عند وجود الزلل

Merupakan tanda dari penyandaran diri pada amal: berkurangnya harapan pada Allah ketika kita melakukan dosa

Apa yang ada di pikiran kita ketika beramal salih? Apakah berharap Allah akan memasukkan kita ke dalam surga karenanya? Pernahkah kita merasa berpuas diri setelah melakukan suatu amal "besar"?

Jika begitu, apa makna hadits nabi berikut?
 
لن يدخل أحدكم الجنة عمله. قالوا: ولا أنت يا رسول الله؟ قال: ولا أنا إلا يتغمدني الله برحمته
Tidak seorangpun masuk surga karena amalnya. (Para sahabat) bertanya: “bahkan engkau sekalipun wahai Rasulullah?” Bahkan aku, kecuali karena Allah melimpahkan rahmatnya kepadaku

Mungkin, ada yang berangganggan bahwa hubungan Allah dan hamba-Nya seperti hubungan penjual dan pembeli. Seorang penjual menetapkan harga atas barang, pembeli membayar sebesar harga tersebut, lalu ia memiliki barang yang ia beli. Hal ini kemudian disamakan dengan kondisi Allah memerintahkan dan melarang sesuatu, lalu seorang hamba mengerjakan perintah-Nya, kemudian hamba tersebut memperoleh surga sebagai ganti dari usaha menaati perintah-Nya. Persis seperti pembeli yang mendapatkan barang sebagai ganti harga yang telah ia bayar.

Pemahaman ini keliru karena amal bukan hal yang memasukkan kita ke surga, melainkan rahmat-Nya lah yang memasukkan kita ke surga. Maka, yang harus kita cari dan niatkan ketika beribadah adalah ridha-Nya, kemurahan, serta ampunan-Nya, bukan balasan yang disifati sebagaimana harga yang kita bayar untuk mendapat surga.

Dari hal tersebut, maka tidak boleh bagi kita untuk meyakini bahwa kita berhak terhadap surga Allah karena kita telah mengerjakan apa yang Ia perintahkan. Hal ini mengisyaratkan bahwa kita meyakini segala ibadah yang kita kerjakan merupakan hasil dari diri kita sendiri. Meyakini bahwa kita berhak akan surga karena amal kita seakan-akan kita mengatakan pada Allah: “Ini, saya telah melaksanakan perintahMu, maka berikan aku surga yang telah Engkau janjikan!”

Syaikh Ibrahim al-Laqqani dalam Jauharah at-Tauhid mengatakan:
فإن يثبنا فبمحض الفضل و إن يعذب فبمحض العدل
Jika Allah membalas kita dengan pahala, maka itu merupakan buah dari kemurahan-Nya, dan jika ia mengadzab, maka itu karena keadilan-Nya

Mari lihat apa yang Rabi’ah al-Adawiyah imani dalam ibadahnya untuk memudahkan kita dalam memahami bagaimana seharusnya kita beraqidah, ia berkata:

اللهم إني ما عبدتك حين عبدتك طمعا في جنتك و لا خوفا من نارك, و لكني علمت أنك رب تستحق العبادة فعبدتك
Ya Allah, sungguh aku tidaklah dikatakan menyembahmu ketika aku menyembahmu karena menginginkan surga dan takut akan neraka, akan tetapi sesungguhnya aku mengetahui bahwa engkau adalah Tuhan yang berhak untuk disembah, maka aku menyembahmu.

Sebagian orang mencela Rabi’ah al-Adawiyah dengan mengatakan bahwa ia tidak membutuhkan surga -padahal, surga merupakan bagian dari janji Allah pada orang salih. Tuduhan ini sebenernya keliru. Rabi’ah al-Adawiyah juga berdoa meminta surga dan dijauhkan dari neraka kepada Allah, akan tetapi ia tidak memintanya sebagai balasan atas ibadahnya, namun ia meminta surga dan dijauhkan dari neraka karena Allah adalah Tuhan Yang Maha Kaya dan Maha Pemurah, dan ia merupakan hamba yang fakir dan menginginkan kemurahannya.

Apakah keyakinan bahwa kita masuk surga karena rahmat-Nya bertentangan dengan fakta bahwa Ia juga memerintahkan kita untuk beribadah kepadanya? Jawabannya adalah tidak, karena mengibadahi Allah merupakan hak-Nya sebagai Tuhan, dan kewajiban kita sebagai hamba, sedangkan surga, merupakan semata pemberian-Nya sesuai dengan sifat penyayang dan pengampun-Nya, dan kita pun tahu bahwa manusia yang paling utama dalam menerima rahmat-Nya, adalah ia yang paling banyak menunaikan hak-Nya.

Kembali kepada perkataan dari Ibnu Athaillah tadi, bahwa jika rasa harap kita kepada rahmat Allah menghilang ketika amalan kita sedang buruk dan kita sedang sering bermaksiat, maka itu merupakan tanda bahwa kita telah bersandar pada amalan kita -yang mana itu merupakan sebuah kesalahan. Sadarilah bahwa bukan amal kita yang memasukkan kita ke surga, namun rahmat-Nya, maka, jika kita merasa amal kita sedang buruk, teruslah berharap atas rahmat-Nya sembari berusaha memperbaikinya sebaik mungkin.
 
Referensi: Syarh al-Hikam al-'Athaiyyah karya Syaikh Sayyid Ramadhan al-Bouthi

Monday, July 13, 2020

Organ Manusia: Pandangan Fikih Kontemporer terhadap Donor (2)


Hukum donor organ manusia
Ketika kita membicarakan donor organ, maka perbedaan jelasnya dengan jual-beli adalah dalam donor, ia dilakukan secara sukarela, alias tanpa ada kompensasi berupa bayaran yang didapat. Bagaimana hukumnya kemudian?

Donor organ manusia yang hidup
Terdapat perbedaan pendapat ulama dalam masalah ini, pertama, terdapat golongan yang mengharamkannya, di antaranya: Syaikh Mutawalli asy-Sya’rawi, Doktor Hasan asy-Syadzili, Doktor Abdussalam as-Sukri, Doktor Abdurrahman al-Adawi.

Golongan pertama berdalil, dengan beberapa dalil, di antaranya:
1. Dengan Al-Qur’an
 وَأَنفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَأَحْسِنُوا ۛ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ - 2:195
Dan berinfaklah di jalan Allah, dan jangan melemparkan diri sendiri pada kerusakan, dan berbuatlah kebaikan sesungguhnya Allah mencintai orang yang berbuat baik

وَلَا تَقْتُلُوا أَنفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا - 4:29
Dan janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri, sesungguhnya Allah maha penyayang pada kalian

Dua ayat ini memberi gambaran bahwa Allah melarang manusia untuk berbuat kerusakan pada dirinya sendiri, dan memberi organ pada orang lain merupakan contoh daripadanya.

2. Hadits Nabi
لا ضرر و لا ضرار
Tidak boleh berbuat sesuatu yang berbahaya, dan membahayakan

Hadits ini bermakna bahwa tidak boleh menghilangkan sebuah bahaya, dengan berbuat suatu bahaya yang lainnya.

Sedangkan golongan kedua, yaitu mereka yang membolehkan donor organ jika terdapat kedaruratan, dan tidak menyebabkan bahaya bagi si pendonor, di antaranya: majami’ fiqhiyyah, haiat islamiyyah, badan fatwa internasional, dan kebanyakan ulama kontemporer.
Mereka berdalil, dengan beberapa dalil, di antaranya:

1. Dari Al-Qur’an
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ - 5:2
Dan saling tolong-menolonglah dalam kebaikan dan takwa, dan janganlah tolong-menolong dalam dosa, dan permusuhan

وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ - 59:9
Dan mereka mengutamakannya atas diri mereka sendiri walau mereka sendiri dalam keadaan membutuhkan

Ayat ini mengisyaratkan pada manusia agar saling tolong-menolong dalam kebaikan. Mendonorkan organ, jika tanpa membahayakan diri sendiri, maka termasuk ke dalam hal ini.

2. Hadits Nabi
وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Siapa yang membantu kebutuhan saudaranya maka Allah akan membantu kebutuhannya. Siapa yang menghilangkan satu kesusahan seorang muslim, maka Allah menghilangkan satu kesusahan baginya dari kesusahan-kesusahan hari qiyamat.

Hadits ini jelas memberi isyarat untuk menghilangkan kesusahan orang lain, dan donor merupakan bagian dari hal tersebut.

Adapun, terdapat syarat yang harus dipenuhi dalam pembolehannya:
1. Terdapat persetujuan dari pemilik organ
2. Bahwa kehidupan orang sakit tersebut bergantung pada organ tersebut
3. Tidak menyebabkan bahaya bagi pendonor
4. Merupakan satu-satunya wasilah penyembuhan terhadap pasien
5. Proses pendonoran sudah biasa dilakukan, dan umumnya berhasil
6. Tidak terdapat transaksi jual-beli sebagai pengganti donor

Pendapat terkuat:
Pendapat terkuat dalam hal ini adalah bolehnya pendonoran organ manusia dalam rangka saling tolong-menolong dalam kebaikan, selama proses pendonoran memenuhi syarat yang telah disebutkan

Donor organ manusia yang telah wafat
Terdapat dua kemungkinan dalam hal ini, pertama pendonoran terjadi sebelum manusia itu wafat, berati melalui wasiatnya sebelum ia wafat, atau terjadi setelah ia wafat, dengan persetujuan ahli waris/walinya (tanpa ada wasiat), pada kedua kemungkinan, hukumnya sama.

Adapun ulama berbeda pendapat dalam perkara ini, golongan pertama mengharamkannya, di antaranya: Syaikh Mutawalli asy-Sya’rawi, Doktor Abdussalam as-Sukri.

Mereka berdalil, dengan beberapa dalil, di antaranya:
1. Al-Qur’an
وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آذَانَ الْأَنْعَامِ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ  - 4:119
Dan pasti kusesatkan mereka, dan akan kubangkitkan angan-angan mereka, dan akan kusuruh mereka memotong telinga hewan ternak mereka, dan akan kusuruh mereka mengubah ciptaan Allah

Ayat tersebut menceritakan tentang perbuatan syaithan dan bujukan mereka kepada bani adam, maka mengubah ciptaan Allah termasuk di antaranya pendonoran organ mayat.

2. Hadits Nabi
سْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا

Mematahkan tulang mayat seperti mematahkan tulang orang yang hidup

Hadits ini mengisyaratkan ketidakbolehan merusak tulang mayat sebagaimana merusak orang yang hidup, ini menggambarkan ketidakbolehan memindahkan organ mayat.

Sedangkan, terdapat golongan kedua yang membolehkan donor organ mayat, entah orang itu memberi wasiat sebelum ia meninggal, atau tanpa wasiat, yaitu dengan seizin wali/ahli waris mayat tersebut setelah ia meninggal, di antaranya: Syaikh Muhammad Khotir, Syaikh Jadul Haq Ali Jadul Haq, Doktor Muhammad Sayyid Thanthawi, Doktor Hasan asy-Syadzili, dan badan-badan fatwa internasional.

Mereka berdalil dengan beberapa dalil, di antaranya:

1. Al-Qur’an
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ ۖ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ - 2:173

Sesungguhnya Dia mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, hewan yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah. Tetapi barangsiapa yang terpaksa memakannya, bukan karena menginginkannya, dan tidak melampaui batas, maka tidak ada dosa atasnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang

Ayat ini memberi gambaran kebolehan memakan sesuatu yang haram karena darurat. Orang sakit yang membutuhkan donor organ termasuk ke dalam kasus kedaruratan, karena kehidupannya terancam, maka diperbolehkan pendonoran terhadapnya

2. Hadits Nabi
من استطاع منكم أن ينفع أخاه فليفعل
Barangsiapa di antara kalian yang mampu bermanfaat bagi saudaranya, maka berbuatlah

Hadits ini memberi gambaran bahwa merupakan kesunnahan untuk menolong, dan memberi manfaat bagi orang lain ketika ia mampu.

Adapun terdapat syarat yang harus dipenuhi mengenai kebolehannya:
1. Orang yang diberi donor merupakan orang yang dalam keadaan darurat membutuhkannya
2. Terdapat bagian dari mayat lain selain mayat manusia dalam pendonorannya
3. Organ yang didonorkan tidak bertentangan dengan nash syar’i seperti, donor rambut, atau sperma
4. Dilakukan oleh dokter, dan tidak terdapat metode penyembuhan lainnya
5. Terdapat izin, entah dari orang tersebut sebelum ia meninggal (dalam bentuk wasiat), atau melalui izin kerabatnya (setelah ia wafat namun tanpa ada wasiat), adapun jika mayat tersebut tidak memiliki keduanya, maka harus ada izin dari pemimpin/pihak yang berwenang
6. Tidak terdapat pengganti seperti uang, dalam rangka menjaga kemuliaan manusia.

Pendapat terkuat:

Pendapat terkuat dalam hal ini adalah pendapat yang membolehkan pendonoran, jika syarat-syarat yang disebutkan terpenuhi, karena hal ini masuk ke dalam saling tolong-menolong dalam kebaikan.

Organ Manusia: Pandangan Fikih Kontemporer terhadap Jual-beli (1)


Kalo nonton drama hospital playlist, pasti ngeliat banyak adegan transplantasi organ, terutama hati. Kira-kira gimana ya fikih memandangnya?

Pertama, perkara ini merupakan perkara kontemporer, karena teknologi transplantasi adalah perkara modern, sehingga tidak ada pendapat ulama klasik terhadap masalah ini. Maka kita akan bedah pendapat para ulama kontemporer dalam melihat masalah ini. Tulisan ini tidak akan banyak membahas dalil dari masing-masing pendapat karena akan Panjang 😊. Cukup dikit aja, lalu yang paling penting: kesimpulannya.

Setidaknya ada tiga pembahasan yang bisa kita liat:
1. Hukum jual-beli organ manusia
2. Hukum mendonorkan organ manusia yang masih hidup
3. Hukum mendonorkan organ manusia yang sudah wafat


Kita mulai dari yang pertama.

Hukum jual-beli organ manusia
Ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Ada yang mengharamkannya, seperti Syaikh Mutawalli asy-Sya’rawi, Syaikh Jadul Haq Ali Jadul Haq, Doktor Hasan asy-Syadzili, serta majma’ buhuts islamiyyah di Mesir.

Mereka berdalil dengan beberapa dalil, di antaranya:

1. Surah Al-Isra ayat 70
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا - 17:70
Dan sungguh telah kami muliakan anak cucu Adam, dan kami angkut mereka di darat dan laut, dan kami beri mereka rezeki yang baik, dan kami lebihkan mereka di atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan dengan sempurna

Allah telah memuliakan manusia atas segala makhluk yang lain, dan menjual-belikan organ yang merupakan bagian dari manusia merupakan suatu bentuk penghinaan dan merendahkan kedudukan manusia itu sendiri

2. Hadits Nabi :
قَالَ اللَّهُ تَعَالَى ثَلَاثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِهِ أَجْرَهُ

Allah berkata: Tiga golongan yang menjadi musuhku dari kiamat: Orang yang bersumpah atas namaku lalu mengingkarinya, orang yang menjual manusia yang merdeka kemudian makan dari uangnya, orang yang mempekerjakan manusia, kemudian ia tidak memberinya upah

Hadits ini menunjukkan bahwa Allah mengharamkan jual-beli manusia yang merdeka. Maka, tidak ada bedanya dengan menjual organnya.

Kemudian, ada pendapat kedua yang membolehkan jual-beli organ manusia dalam rangka kedaruratan, dan untuk menjaga hidup manusia yang lain, di antara ulama yang berpendapat demikian, adalah Doktor Muhammad Nu’aim Yasin, Ahmad Muhammad Jamal, Hisamuddin al-Ahwani.

Terdapat syarat yang harus dipenuhi dalam pembolehan ini:

1. Jual-beli ini tidak bertentangan dengan kehormatan manusia, artinya tujuan dari jual-beli ini bukan mencari keuntungan, tetapi menyelamatkan manusia
2. Organ yang dijual-beli dipergunakan sebagaimana fungsi awal ia diciptakan, dan kedua pihak mengetahuinya
3. Jual-beli tidak bertentangan dengan nash syar’i, misal: jual-beli rambut, atau jual-beli sperma
4. Tidak ada alternatif lain (misalnya: tidak ada organ buatan yang bisa menggantikannya)
5. Jual-beli dilakukan di bawah pengawasan badan yang resmi dan berwenang
6. Merupakan wasilah satu-satunya untuk mendapatkan organ tersebut

Golongan kedua ini berdalil dengan beberapa dalil dari qiyas, dan ma’qul:
1. Qiyas atas bolehnya jual-beli ASI: Sebagaimana bolehnya jual-beli ASI yang mana ia merupakan bagian dari manusia, maka, boleh pula jual-beli terhadap bagian manusia yang lain.
2. Dari ma’qul, bahwasanya jual-beli organ manusia bukan merupakan penghinaan, dan perendahan bagi kehormatan manusia jika ia bertujuan untuk menyelamatkan manusia yang lain, berbeda jika ia memang ditujukan untuk mencari keuntungan semata.

Pendapat yang terkuat:
Berdasarkan kekuatan istidlal masing-masing pendapat, maka, pendapat terkuat dalam masalah jual-beli organ manusia ini adalah pendapat yang mengatakan bahwa ia merupakan perkara haram, dalam rangka menjaga kehormatan manusia (untuk tidak diperjual-belikan), dan menutup potensi masalah yang lebih besar, semisal pencurian organ manusia dengan menculiknya sebagaimana yang sering kita lihat.

Bunga Bank

  Mesir sedang mengalami keterpurukan ekonomi di bulan Maret 2022 ini. Nilai tukar mata uang Mesir, Egyptian Pound (EGP), terhadap dollar me...