Beberapa waktu
yang lalu di kelas, dosen saya merekomendasikan sebuah buku yang terdengar
menarik secara judul. “Musykilah al faqr wa kaifa ‘ilajuha fi al islam”
(Masalah kemiskinan dan bagaimana Islam mengobatinya). Buku tersebut ditulis
oleh Syaikh Yusuf Al-Qardhawi. Saya mencoba mencari bukunya, membaca, dan mengulas bukunya di blog ini.
Syaikh Qardhawi
membagi buku ini menjadi empat bagian besar, dan kita hanya akan bahas poin kedua, dan ketiga:
- Pandangan beberapa golongan terhadap kemiskinan
- Pandangan Islam terhadap kemiskinan
- Wasilah penyelesaian kemiskinan menurut Islam
- Kemenangan Islam atas kemiskinan
Kita mengetahui bahwa kemiskinan telah menjadi masalah di segala tempat, sejak dahulu. Berbagai agama dan falsafah telah mencoba mengurai dan menyelesaikan masalah ini untuk meringankan kesulitan orang miskin. Ada yang melihat dengan pendekatan ajakan, ancaman, perintah, dan janji. Ada juga yang melalui pendekatan pandangan terhadap dunia yang ideal, di mana tidak terdapat kelas-kelas sosial, tidak ada perbandingan satu sama lain, tidak ada kemiskinan, dan itu lah dunia yang digambarkan Plato dalam bukunya "Republik".
Kondisi ini sering dimanfaatkan orang yang ingin menyebarkan paham, atau misinya dengan wajah "melayani orang miskin". Tentu tujuannya banyak, entah politis, ideologis, atau ekonomi. Menjadi buruk jika orang yang memanfaatkannya memiliki tujuan yang buruk, yang mampu menumpulkan akal pikir mereka, mendegradasi akhlak dan moralnya, memutus mereka ke akses dan pengetahuan politik yang lebih tinggi, sehingga mereka pada akhirnya tetap pada jurang kebodohan dan kesulitan.
Oleh karena itu, wajib bagi orang yang memiliki ilmu, untuk menjelaskan hakikat ajaran Islam yang merupakan petunjuk hidup dan bersifat rahmah. Menjelaskan hakikat bahwa ia merupakan ajaran yang melihat pada kehidupan, manusia, pekerjaan, harta, individu, dan masyarakat. Menyelisihi paham kanan-kiri. Bebas dan berdiri sendiri. Tidak ketimuran atau kebaratan, namun bersifat ketuhanan dan kemanusiaan.
Pandangan Islam terhadap kemiskinan
Kondisi ini sering dimanfaatkan orang yang ingin menyebarkan paham, atau misinya dengan wajah "melayani orang miskin". Tentu tujuannya banyak, entah politis, ideologis, atau ekonomi. Menjadi buruk jika orang yang memanfaatkannya memiliki tujuan yang buruk, yang mampu menumpulkan akal pikir mereka, mendegradasi akhlak dan moralnya, memutus mereka ke akses dan pengetahuan politik yang lebih tinggi, sehingga mereka pada akhirnya tetap pada jurang kebodohan dan kesulitan.
Oleh karena itu, wajib bagi orang yang memiliki ilmu, untuk menjelaskan hakikat ajaran Islam yang merupakan petunjuk hidup dan bersifat rahmah. Menjelaskan hakikat bahwa ia merupakan ajaran yang melihat pada kehidupan, manusia, pekerjaan, harta, individu, dan masyarakat. Menyelisihi paham kanan-kiri. Bebas dan berdiri sendiri. Tidak ketimuran atau kebaratan, namun bersifat ketuhanan dan kemanusiaan.
Pandangan Islam terhadap kemiskinan
1. Islam menolak
pandangan “kerahiban” terhadap kemiskinan
Islam menolak
pandangan yang memandang bahwa kemiskinan merupakan nikmat dari Allah (sehingga tidak membutuhkan solusi atasnya). Tidak
terdapat satupun pujian terhadap kemiskinan yang bersumber dari Alquran dan
hadis nabi, akan tetapi yang ada yaitu pujian terhadap sifat zuhud. Dan zuhud
menuntut kepemilikan atas sesuatu yang di-zuhud-kan. Prinsip zuhud
adalah ia meletakkan harta di tangannya, bukan di hatinya. Prinsip islam
dalam melihat kekayaan adalah bahwa kekayaan merupakan sebuah nikmat dan wajib
menyertakan syukur di dalamnya. Islam memandang bahwa kemiskinan merupakan sebuah masalah yang perlu dicarikan solusinya, karena ia memiliki berbagai dampak:
a. Kemiskinan
berbahaya terhadap aqidah
Kemiskinan
merupakan salah satu “penyakit” yang paling berbahaya bagi aqidah. Terlebih
jika orang miskin tersebut adalah seorang pekerja keras yang bekerja dari pagi
hingga malam, sedangkan terdapat orang kaya yang memiliki privilege untuk
kaya sejak lahir tanpa dibarengi dengan kerja keras. Hal ini menyebabkan
prasangka manusia menuduh pada ketidakadilan tuhan dalam pembagian rizkiNya.
Sebagian ulama terdahulu berkata: (Jika kemiskinan mendatangi sebuah negara,
maka kekufuran berkata kepadanya, “ambillah diriku untuk ikut bersamamu”).
Terdapat juga hadis nabi yang mengatakan, “Hampir-hampir kemiskinan menjadi
kekufuran”.
b. Kemiskinan
berbahaya terhadap akhlak dan tata krama
Kemiskinan tidak
hanya berbahaya ditinjau dari sisi aqidah, namun juga akhlak. Terlebih jika
lingkungan sekitarnya merupakan orang-orang kaya yang tamak, hal ini berbahaya
dalam mengantarkan orang tersebut ke perilaku yang tidak sejalan dengan akhlak
baik; seperti penjarahan, pencurian.
“Suara yang
berasal dari perut lebih kuat daripada suara yang berasal dari hati”.
Nabi -Shallallahu
‘alaihi wa sallam- menjelaskan, “Kerasnya tekanan kemiskinan dirasakan oleh
yang menderita, dan bekasnya terdapat di perilakunya.”
Dalam
menjelaskan dampak hutang bagi orang-orang yang berhutang, Rasul bersabda:
“Sesungguhnya seseorang, jika ia berhutang, ketika ia berbicara, ia berdusta,
ketika ia berjanji, ia mengingkari.”
c. Kemiskinan
berbahaya bagi pemikiran
Tidak cukup
berbahaya bagi aspek ruhani, akhlak, kemiskinan juga berbahaya bagi pemikiran.
Jika seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok bagi dirinya, keluarga, dan anaknya, bagaimana
mungkin ia mampu berfikir secara tepat? Bagaimana keadaan anak-anak yang tumbuh dengan keadaan malnutrisi?
Hal ini
disebabkan kemiskinan merusak daya pikir, karena ia membuat pikiran dalam
kondisi kesibukan memikirkan kebutuhan dasarnya. Emosi mempengaruhi benarnya
pemahaman. Nabi pun bersabda, “Tidak ada putusan bagi seorang hakim yang memutuskan dalam
keadaan marah”. Para ahli fiqih meng-qiyas-kan “marah” dalam hadis tersebut dengan rasa
“lapar yang parah” dan “haus yang parah”.
d. Kemiskinan
berbahaya bagi keluarga
Dari sisi
keluarga, kemiskinan dapat berdampak dalam beberapa aspek; pembentukannya,
keberlanjutannya, dan penyatuannya. Dalam aspek pembentukan keluarga, kita tau
bahwa kemiskinan merupakan salah satu penghalang terbesar bagi pemuda untuk
menikah. Terdapat banyak pertimbangan, seperti mahar, nafkah, kemerdekaan
finansial. Hal tersebut terutama saya temui di Mesir, di mana banyak pemudanya
yang belum menikah, karena wali dari perempuan meminta kesiapan finansial yang
cukup memberatkan pihak lelaki.
Dari aspek keberlanjutan
pernikahan, kita juga melihat bahwa kemiskinan merupakan salah satu pendorong
terbesar yang mempengaruhinya. Hukum islam sendiri mempertimbangkan hal
tersebut, sehingga hakim bisa memproses talak dari perempuan jika pihak
laki-laki tidak mampu memberi nafkah kepadanya, sesuai kaidah fiqih; “la
dharrara wala dhiror” (Tidak memudharatkan dan tidak dimudharatkan).
Alquran sendiri
memotret dengan jelas fenomena yang terjadi di jaman jahiliyah; sebagian ayah
yang membunuh anak-anaknya karena takut akan kemiskinan. Seperti diabadikan
dalam surah 6:151, dan 17:31.
“Wa laa taqtuluu
awlaadakum khasyata imlaaq…” (Dan janganlah kalian bunuh anak-anak kalian
karena takut akan kemiskinan) (QS 17:31). Hal ini memperlihatkan bahayanya
kemiskinan pada ketahanan keluarga. Jika kita bawa dalam konteks kekinian, kita juga dapat
melihat penyebab perceraian terbesar adalah perkara ekonomi.
e. Kemiskinan
berbahaya bagi kestabilan sosial
Abu dzar -radhiyallahu 'anhu-
berkata: “Sungguh menakjubkan siapa yang tidak menemukan makanan (pokok) di
rumahnya: bagaimana mungkin ia tidak keluar dari rumahnya membawa pedang?!”
Perkataan ini betapa
daruratnya pemenuhan kebutuhan pokok bagi seseorang, hingga hamper-hampir ketiadaannya
menuntun orang-orang untuk melakukan kekerasan demi mendapatkannya. Terlebih
jika terdapat ketimpangan yang terjadi di masyarakat.
2. Islam menolak pandangan jabbariyyin
Di samping
menolak pandangan "kerahiban", Islam juga menolak pandangan yang mengatakan bahwa kemiskinan dan kekayaan adalah takdir Allah yang harus kita terima, dan kita tidak bisa merubahnya. Pandangan ini disebarkan oleh orang-orang kaya, dan diterima oleh orang-orang miskin.
Allah berfirman dalam surah Yasin:47
Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Infakkanlah sebagian rezeki yang diberikan Allah kepadamu" Orang-orang yang kafir itu berkata kepada orang-orang yang beriman, "Apakah pantas kami memberi makan kepada orang-orang yang jika Allah menghendaki, Dia akan memberinya makan? Kamu benar-benar dalam kesesatan yang nyata."
Konsep besar Islam dalam memandang pemahaman ini adalah; setiap misteri di dunia ini terdapat penyelesaiannya, setiap penyakit terdapat obatnya, setiap penyakit terdapat penyembuhannya. Penyakit merupakan bagian dari takdir Allah, dan penyembuhan juga merupakan bagian dari takdir Allah. Maka seorang mu'min, ia mendorong takdir dengan takdir yang lain.
Karena itu, Umar Bin Khatthab, ketika ia kembali dari Syam karena takut akan wabah penyakit yang terdapat didalamnya, ditanya oleh seseorang yang bersama dengannya, "Apakah engkau lari dari takdir Allah wahai amirul mu'minin?" Umar menjawab, "Ya, aku lari dari takdir Allah ke takdir Allah yang lain." Sehingga jelas dengan ini bahwa pandangan jabbariyyin ditolak dalam konsep besar Islam. Kita dapat mengusahakan apa-apa yang terkait dengan rezeki tesebut.
Makna qanaah dan ridha
Sering kita mendengar anjuran untuk qanaah dan ridha terhadap apa yang sudah Allah tentukan. Namun apa sebenarnya makna kata ini? Apakah bermakna pasrah dan menerima terhadap kemiskinan? Meninggalkan usaha atasnya?
Di antara doa Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam- yang juga kita hapal, "allahumma inni as'aluka alhuda wa attuqo wa al'afaf wa alghinaa". (Ya Allah, aku meminta kepadamu petunjuk, ketakwaan, kebaikan, dan kekayaan). Di antara doa nabi, yaitu meminta akan kekayaan. Nabi juga pernah mendoakan sahabat dan pelayannya, "allahumma aktsir maalihi" (Ya Allah, perbanyaklah hartanya). Oleh karena itu, apa makna sebenarnya dari qanaah?
Pertama, secara natural, tabiat manusia adalah serakah dan berhasrat pada dunia. Digambarkan dalam hadis nabi, "Jika anak adam memiliki dua lembah berisi emas, ia akan menginginkan yang ketiga. Dan tidak akan memuaskan mata anak adam kecuali tanah (tidak akan puas hingga wafat)." Oleh karena itu agama memainkan perannya sebagai petunjuk bagaimana seharusnya manusia menyikapi hal ini. Agama menuntun kita untuk seimbang, dan lurus dalam mencari rezeki, melarang untuk berlebihan hingga melelahkan jiwa dan badan secara bersamaan.
Sikap berlebihan ini yang menuntun manusia untuk tidak pernah merasa kenyang, selalu melihat harta sekelilingnya. Sehingga tidak cukup dengan yang halal, ia berpaling ke yang haram juga. Ini lah jawaban dari fenomena korupsi yang sering kita lihat. Apakah pelakunya orang yang kekurangan harta?
Peran iman adalah untuk menuntun manusia untuk mengenal hakikat yang kekal, yang melampaui semua horizon yang kita lihat di dunia. Dengan penanaman kesadaran akan hal yang kekal tersebut, manusia akan lebih realistis, dan seimbang dalam mencari dunianya.
Kedua, hendaknya manusia membandingkan rezeki sebagaimana ia membandingkan bakat. Setiap orang harus sadar bahwa mereka memiliki rezekinya masing-masing. Sebagaimana terdapat orang yang pendek, ada orang yang tinggi, ada orang yang diberi kecerdasan, ada yang tidak, ada yang berfisik kuat, ada yang lemah, begitu juga terdapat orang yang rezekinya dalam bentuk harta banyak, ada yang sedikit. Hal ini bukan mengantarkan kita pada pemahaman jabbariyyin yang pasrah terhadap takdir Allah. Terdapat banyak sekali perintah untuk berusaha dan bekerja, namun kesadaran ini perlu dipupuk agar worldview kita dalam melihat dunia ini lebih sehat. Tugas manusia hanya berusaha semampunya, menjemput apa yang telah digariskan untuknya, tanpa perlu membandingkan dengan pencapaian orang lain. Agama mencegah dan melarang manusia untuk memiliki rasa benci, tamak ketika melihat apa yang dimiliki orang lain. Sehingga secara makna, qanaah adalah penerimaan manusia akan apa yang telah Allah berikan, yang ia tidak mampu untuk merubahnya.
3. Islam menolak pandangan "kebaikan individu dan pertolongan secara sukarela"
Pandangan ketiga ini aktif menyeru kepada ajakan bersedekah, dan menolong fakir miskin. Mereka melihat bahwa penyelesaian masalah kemiskinan ini ada di tangan orang-orang kaya, oleh karena itu kita harus menyeru mereka untuk menolong. Akan tetapi Islam menolak pandangan ini. Pandangan ini bukan merupakan solusi yang solutif bagi masalah kemiskinan, terlebih jika kondisi orang-orang kaya sekitar telah membatu hatinya, menguat egonya, juga lemah imannya.
Doktor Ibrahim Al-laban membahas dalam penelitiannya, beliau mengatakan model seperti ini telah dilakukan oleh agama-agama samawi untuk menyelesaikan masalah kemiskinan, namun model ini tidak mencabut masalah sampai akarnya, oleh karena itu, wajib bagi kita untuk mempelajari lagi hakikat masalah tersebut agar mampu melihat di mana kegagalan dalam upaya memurnikan masyarakat dari masalah ini.
Terdapat dua sisi yang harus kita lihat, yaitu sisi kewajiban, dan hak. Sebagai contoh dalam jual beli. Harga merupakan kewajiban yang harus ditunaikan pembeli dalam transaksi, dan harga merupakan hak bagi penjual dalam menentukan. Dalam konteks yang lebih luas, pemilik hak dapat memiliki kekuatannya dari dua pihak; orang yang menuntut haknya dan tidak meninggalkan tuntutannya tersebut, dan kesadaran negara sendiri untuk menunaikan kewajibannya.
Pemahaman ini yang penting untuk dijadikan dasar dalam melihat masalah ini. Bahwa orang-orang miskin memiliki hak untuk ditunaikan kebutuhannya. Selama ini, pandangan ini hanya melihat bahwa orang-orang kaya wajib "memberi", tapi kita tidak melihat sisi orang-orang miskin yang memiliki hak. Pandangan "kebaikan individu" ini juga tidak bisa mengatur siapa yang dijawibkan berbuat "kebaikan" tersebut, kapan, dan berapa yang harus ia tunaikan? Negara dapat mengatur soal pajak, namun tidak bisa mengatur soal "kebaikan" tersebut. Hal ini pada akhirnya menjatuhkan orang miskin ke jurang kemiskinan yang jauh, dan tidak terdapat sistem yang mampu menanggung mereka.
4. Islam menolak paham kapitalisme
Doktor Qardhawi mengatakan paham kapitalisme adalah paham "Qarun" yang telah kita kenal di quran dengan kisahnya. Ia adalah paham yang salah satunya meyakini bahwa seseorang merupakan pemilik mutlak dari hartanya. Ia bersedekah jika ia mau, menahan uangnya jika ia mau.
Islam menolak pandangan ini dari akarnya. Worldview islam soal harta adalah; harta merupakan pemberian Allah. Manusia hanya pengurus harta tersebut, atau dengan kata lain; manusia adalah wakil dari pemilik harta yang hakiki (Allah), seperti yang termaktub di surah al hadid ayat 7: (wa anfiquu mimma ja'alakum mustakhlifiina fiih) (Dan berinfaklah dari apa-apa yang Allah jadikan kalian sebagai penguasanya (harta).
Dengan kesadaran itu, maka menjadi logis jika Islam mengatur pengelolaan harta tersebut. Menyambung pada pembahasan sebelumnya, negara harus masuk untuk "mengambil" bagian orang miskin dari harta orang kaya dan memberikannya kepada yang berhak
Syaikh Al Qardhawi juga mengkritik sistem jaminan sosial yang dipratekkan di barat era modern. Sistem ini memberikan bantuan berdasarkan seberapa banyak seseorang membayar dalam bentuk angsuran. Siapa yang membayar lebih banyak, maka bisa mendapat kompensasi/jaminan lebih besar, begitu juga sebaliknya, walaupun kebutuhan yang ia miliki banyak.
Adapun sistem jaminan sosial yang diaplikasikan dalam Islam, tidaklah mensyaratkan angsuran seperti yang sebelumnya. Dan ia tidak memberi orang yang membutuhkan berdasar angsuran yang ia bayar, akan tetapi berdasarkan kebutuhannya.
Selanjutnya, kritiknya terhadap jaminan sosial ala barat, akan selalu menemui dua keterbatasan:
1. Tidak meliputi setiap individu yang membutuhkan
2. Keterbatasan dalam memenuhi kecukupan yang sempurna bagi fakir miskin, sebagaimana yang dijamin oleh sistem islam seperti; zakat, dan selainnya (yang akan dibahas di bagian selanjutnya). Ia hanya memberi, entah mencukupi atau tidak mencukupi.
5. Islam menolak paham marxisme
Pandangan ini menganggap bahwa kemiskinan adalah penyakit yang penyembuhannya adalah merisak kelas borjuis, meniadakan prinsip kepemilikan individu, dan mengobarkan perlawanan kelas. Islam menolak pandangan ini dari akarnya, karena bertentangan dengan prinsip dan asasnya.
1. Terdapat golongan orang kaya yang memakan hak dhuafa, fakir, miskin, merusak lingkungannya dengan harta, namun ada pula golongan orang kaya yang mensyukuri nikmat harta, menunaikan hak Allah, dan hak manusia di dalamnya.
QS An Najm:37-38: (Bahwa seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain) (Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang diusahakannya).
2. Islam mengakui prinsip kepemilikan individu, karena di dalamnya terdapat pemenuhan kebutuhan pokok manusiawi. Tentu saja Islam meletakkan aturan-aturan dalam kepemilikan individu, akan tetapi secara umum, ia menghormati kepemilikan individu dan menjaganya dengan hukum-hukumnya. Serta ia juga menjadikan kepemilikan individu sebagai asas dalam sistem ekonomi.
Adapun kerusakan dan penyalahgunaan harta yang dilakukan, bukanlah prinsip dari kepemilikan individu itu sendiri, melainkan hal tersebut datang dari jiwa manusia. Jika jiwanya baik, maka harta yang ada di tangannya menjadi perangkat untuk kebaikan serta perbaikan.
Nabi bersabda, “Sebaik-baik harta adalah harta yang dikelola oleh orang yang salih (baik).”
Oleh karena itu, pertama-tama Islam mengarahkan pada perbaikan jiwa dan melatih hati agar lurus.
3. Islam membangun hubungan antar manusia dengan asas kekeluargaan, dan tolong-menolong, dan tidak mengakui permusuhan, dan pertentangan antar kelas sosial. Dalam kacamata Islam, dengki, dan dendam merupakan penyakit. Nabi mengisyaratkan dengan “daa’u al umam” (penyakit umat).
“Innama almu’minuuna ikhwatun faaslihuu baina akhawaikum” (Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, maka perbaikilah (keadaan) di antara kalian) (QS: Al hujurat:10)
“Wa kuunuu ‘ibadallah ikhwanan” (Dan jadilah hamba Allah dan bersaudaralah) (HR Bukhari & Muslim)
4. Islam tidak menerima penyelesaian masalah dengan masalah yang lain. Komunis mencoba untuk menyelesaikan masalah kemiskinan dengan mencekik kebebasan rakyat, memaksakan kediktatoran yang kencang. Bisa dikatakan dengan ungkapan yang lain; mewajibkan ketundukan rakyat menjadi lemah, yang dipimpin oleh seorang pemimpin, dengan kekuatan kepolisian dan militer, serta penjara-penjaranya. Dan di kondisi ini, manusia tidak mampu untuk berkata, “kenapa?” kepada negara.
5. Tindakan komunis dan sosialis yang merampas kebebasan rakyat, menasionalisasi kepemilikan individu, dan alat produksi -atas nama kemaslahatan- tidak mampu menyelesaikan masalah kemiskinan. Ia justru menurunkan orang yang berada di tingkatan kaya menjadi miskin, dan tidak mampu menaikkan tingkatan orang miskin menjadi kaya.
Data pendapatan individu per tahun juga menggambarkan bahwa negara komunis tidak bisa mengangkat ekonomi di negaranya sendiri. (buku ini ditulis pada tahun 1966):
Adapun penyebab terbelakangnya produksi, dan rendahnya pendapatan di negara
sosialis yaitu berasal dari tabiat sistem itu sendiri yang mengharamkan
kepemilikan individu, dan membunuh ambisi, serta menjadikan individu tidak
memiliki nilai dan kebebasan. Hal ini juga yang menjadikannya selalu di bawah
negara kapitalis dalam produksi.
6. Ketika kita tinjau marxisme dari asal, maka kita temukan bahwa ia bukanlah ideologi yang memelihara orang miskin, orang yang lemah, akan tetapi ia berorientasi pada kelas proletariat, yaitu para buruh, petani untuk mengambil alat-alat produksi guna membalikkan sistem sosial. Dan ini merupakan golongan yang lain lagi. Tidak terdapat bagian bagi orang yang tidak berdaya, para janda, orang-orang tua, orang yang cacat mental atau fisik. Pandangan ini kemudian sejalan dengan falsafah: “Barangsiapa yang tidak bekerja, maka ia tidak makan.”
Bersambung.....
Makna qanaah dan ridha
Sering kita mendengar anjuran untuk qanaah dan ridha terhadap apa yang sudah Allah tentukan. Namun apa sebenarnya makna kata ini? Apakah bermakna pasrah dan menerima terhadap kemiskinan? Meninggalkan usaha atasnya?
Di antara doa Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam- yang juga kita hapal, "allahumma inni as'aluka alhuda wa attuqo wa al'afaf wa alghinaa". (Ya Allah, aku meminta kepadamu petunjuk, ketakwaan, kebaikan, dan kekayaan). Di antara doa nabi, yaitu meminta akan kekayaan. Nabi juga pernah mendoakan sahabat dan pelayannya, "allahumma aktsir maalihi" (Ya Allah, perbanyaklah hartanya). Oleh karena itu, apa makna sebenarnya dari qanaah?
Pertama, secara natural, tabiat manusia adalah serakah dan berhasrat pada dunia. Digambarkan dalam hadis nabi, "Jika anak adam memiliki dua lembah berisi emas, ia akan menginginkan yang ketiga. Dan tidak akan memuaskan mata anak adam kecuali tanah (tidak akan puas hingga wafat)." Oleh karena itu agama memainkan perannya sebagai petunjuk bagaimana seharusnya manusia menyikapi hal ini. Agama menuntun kita untuk seimbang, dan lurus dalam mencari rezeki, melarang untuk berlebihan hingga melelahkan jiwa dan badan secara bersamaan.
Sikap berlebihan ini yang menuntun manusia untuk tidak pernah merasa kenyang, selalu melihat harta sekelilingnya. Sehingga tidak cukup dengan yang halal, ia berpaling ke yang haram juga. Ini lah jawaban dari fenomena korupsi yang sering kita lihat. Apakah pelakunya orang yang kekurangan harta?
Peran iman adalah untuk menuntun manusia untuk mengenal hakikat yang kekal, yang melampaui semua horizon yang kita lihat di dunia. Dengan penanaman kesadaran akan hal yang kekal tersebut, manusia akan lebih realistis, dan seimbang dalam mencari dunianya.
Kedua, hendaknya manusia membandingkan rezeki sebagaimana ia membandingkan bakat. Setiap orang harus sadar bahwa mereka memiliki rezekinya masing-masing. Sebagaimana terdapat orang yang pendek, ada orang yang tinggi, ada orang yang diberi kecerdasan, ada yang tidak, ada yang berfisik kuat, ada yang lemah, begitu juga terdapat orang yang rezekinya dalam bentuk harta banyak, ada yang sedikit. Hal ini bukan mengantarkan kita pada pemahaman jabbariyyin yang pasrah terhadap takdir Allah. Terdapat banyak sekali perintah untuk berusaha dan bekerja, namun kesadaran ini perlu dipupuk agar worldview kita dalam melihat dunia ini lebih sehat. Tugas manusia hanya berusaha semampunya, menjemput apa yang telah digariskan untuknya, tanpa perlu membandingkan dengan pencapaian orang lain. Agama mencegah dan melarang manusia untuk memiliki rasa benci, tamak ketika melihat apa yang dimiliki orang lain. Sehingga secara makna, qanaah adalah penerimaan manusia akan apa yang telah Allah berikan, yang ia tidak mampu untuk merubahnya.
3. Islam menolak pandangan "kebaikan individu dan pertolongan secara sukarela"
Pandangan ketiga ini aktif menyeru kepada ajakan bersedekah, dan menolong fakir miskin. Mereka melihat bahwa penyelesaian masalah kemiskinan ini ada di tangan orang-orang kaya, oleh karena itu kita harus menyeru mereka untuk menolong. Akan tetapi Islam menolak pandangan ini. Pandangan ini bukan merupakan solusi yang solutif bagi masalah kemiskinan, terlebih jika kondisi orang-orang kaya sekitar telah membatu hatinya, menguat egonya, juga lemah imannya.
Doktor Ibrahim Al-laban membahas dalam penelitiannya, beliau mengatakan model seperti ini telah dilakukan oleh agama-agama samawi untuk menyelesaikan masalah kemiskinan, namun model ini tidak mencabut masalah sampai akarnya, oleh karena itu, wajib bagi kita untuk mempelajari lagi hakikat masalah tersebut agar mampu melihat di mana kegagalan dalam upaya memurnikan masyarakat dari masalah ini.
Terdapat dua sisi yang harus kita lihat, yaitu sisi kewajiban, dan hak. Sebagai contoh dalam jual beli. Harga merupakan kewajiban yang harus ditunaikan pembeli dalam transaksi, dan harga merupakan hak bagi penjual dalam menentukan. Dalam konteks yang lebih luas, pemilik hak dapat memiliki kekuatannya dari dua pihak; orang yang menuntut haknya dan tidak meninggalkan tuntutannya tersebut, dan kesadaran negara sendiri untuk menunaikan kewajibannya.
Pemahaman ini yang penting untuk dijadikan dasar dalam melihat masalah ini. Bahwa orang-orang miskin memiliki hak untuk ditunaikan kebutuhannya. Selama ini, pandangan ini hanya melihat bahwa orang-orang kaya wajib "memberi", tapi kita tidak melihat sisi orang-orang miskin yang memiliki hak. Pandangan "kebaikan individu" ini juga tidak bisa mengatur siapa yang dijawibkan berbuat "kebaikan" tersebut, kapan, dan berapa yang harus ia tunaikan? Negara dapat mengatur soal pajak, namun tidak bisa mengatur soal "kebaikan" tersebut. Hal ini pada akhirnya menjatuhkan orang miskin ke jurang kemiskinan yang jauh, dan tidak terdapat sistem yang mampu menanggung mereka.
4. Islam menolak paham kapitalisme
Doktor Qardhawi mengatakan paham kapitalisme adalah paham "Qarun" yang telah kita kenal di quran dengan kisahnya. Ia adalah paham yang salah satunya meyakini bahwa seseorang merupakan pemilik mutlak dari hartanya. Ia bersedekah jika ia mau, menahan uangnya jika ia mau.
Islam menolak pandangan ini dari akarnya. Worldview islam soal harta adalah; harta merupakan pemberian Allah. Manusia hanya pengurus harta tersebut, atau dengan kata lain; manusia adalah wakil dari pemilik harta yang hakiki (Allah), seperti yang termaktub di surah al hadid ayat 7: (wa anfiquu mimma ja'alakum mustakhlifiina fiih) (Dan berinfaklah dari apa-apa yang Allah jadikan kalian sebagai penguasanya (harta).
Dengan kesadaran itu, maka menjadi logis jika Islam mengatur pengelolaan harta tersebut. Menyambung pada pembahasan sebelumnya, negara harus masuk untuk "mengambil" bagian orang miskin dari harta orang kaya dan memberikannya kepada yang berhak
Syaikh Al Qardhawi juga mengkritik sistem jaminan sosial yang dipratekkan di barat era modern. Sistem ini memberikan bantuan berdasarkan seberapa banyak seseorang membayar dalam bentuk angsuran. Siapa yang membayar lebih banyak, maka bisa mendapat kompensasi/jaminan lebih besar, begitu juga sebaliknya, walaupun kebutuhan yang ia miliki banyak.
Adapun sistem jaminan sosial yang diaplikasikan dalam Islam, tidaklah mensyaratkan angsuran seperti yang sebelumnya. Dan ia tidak memberi orang yang membutuhkan berdasar angsuran yang ia bayar, akan tetapi berdasarkan kebutuhannya.
Selanjutnya, kritiknya terhadap jaminan sosial ala barat, akan selalu menemui dua keterbatasan:
1. Tidak meliputi setiap individu yang membutuhkan
2. Keterbatasan dalam memenuhi kecukupan yang sempurna bagi fakir miskin, sebagaimana yang dijamin oleh sistem islam seperti; zakat, dan selainnya (yang akan dibahas di bagian selanjutnya). Ia hanya memberi, entah mencukupi atau tidak mencukupi.
5. Islam menolak paham marxisme
Pandangan ini menganggap bahwa kemiskinan adalah penyakit yang penyembuhannya adalah merisak kelas borjuis, meniadakan prinsip kepemilikan individu, dan mengobarkan perlawanan kelas. Islam menolak pandangan ini dari akarnya, karena bertentangan dengan prinsip dan asasnya.
1. Terdapat golongan orang kaya yang memakan hak dhuafa, fakir, miskin, merusak lingkungannya dengan harta, namun ada pula golongan orang kaya yang mensyukuri nikmat harta, menunaikan hak Allah, dan hak manusia di dalamnya.
QS An Najm:37-38: (Bahwa seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain) (Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang diusahakannya).
2. Islam mengakui prinsip kepemilikan individu, karena di dalamnya terdapat pemenuhan kebutuhan pokok manusiawi. Tentu saja Islam meletakkan aturan-aturan dalam kepemilikan individu, akan tetapi secara umum, ia menghormati kepemilikan individu dan menjaganya dengan hukum-hukumnya. Serta ia juga menjadikan kepemilikan individu sebagai asas dalam sistem ekonomi.
Adapun kerusakan dan penyalahgunaan harta yang dilakukan, bukanlah prinsip dari kepemilikan individu itu sendiri, melainkan hal tersebut datang dari jiwa manusia. Jika jiwanya baik, maka harta yang ada di tangannya menjadi perangkat untuk kebaikan serta perbaikan.
Nabi bersabda, “Sebaik-baik harta adalah harta yang dikelola oleh orang yang salih (baik).”
Oleh karena itu, pertama-tama Islam mengarahkan pada perbaikan jiwa dan melatih hati agar lurus.
3. Islam membangun hubungan antar manusia dengan asas kekeluargaan, dan tolong-menolong, dan tidak mengakui permusuhan, dan pertentangan antar kelas sosial. Dalam kacamata Islam, dengki, dan dendam merupakan penyakit. Nabi mengisyaratkan dengan “daa’u al umam” (penyakit umat).
“Innama almu’minuuna ikhwatun faaslihuu baina akhawaikum” (Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, maka perbaikilah (keadaan) di antara kalian) (QS: Al hujurat:10)
“Wa kuunuu ‘ibadallah ikhwanan” (Dan jadilah hamba Allah dan bersaudaralah) (HR Bukhari & Muslim)
4. Islam tidak menerima penyelesaian masalah dengan masalah yang lain. Komunis mencoba untuk menyelesaikan masalah kemiskinan dengan mencekik kebebasan rakyat, memaksakan kediktatoran yang kencang. Bisa dikatakan dengan ungkapan yang lain; mewajibkan ketundukan rakyat menjadi lemah, yang dipimpin oleh seorang pemimpin, dengan kekuatan kepolisian dan militer, serta penjara-penjaranya. Dan di kondisi ini, manusia tidak mampu untuk berkata, “kenapa?” kepada negara.
5. Tindakan komunis dan sosialis yang merampas kebebasan rakyat, menasionalisasi kepemilikan individu, dan alat produksi -atas nama kemaslahatan- tidak mampu menyelesaikan masalah kemiskinan. Ia justru menurunkan orang yang berada di tingkatan kaya menjadi miskin, dan tidak mampu menaikkan tingkatan orang miskin menjadi kaya.
Data pendapatan individu per tahun juga menggambarkan bahwa negara komunis tidak bisa mengangkat ekonomi di negaranya sendiri. (buku ini ditulis pada tahun 1966):
Amerika | US$ 1453 |
Kanada | US$ 875 |
Swiss | US$ 749 |
Swedia | US$ 780 |
Inggris | US$ 773 |
Denmark | US$ 689 |
Australia | US$ 679 |
Belgia | US$ 582 |
Belanda | US$ 502 |
Perancis | US$ 482 |
Cekoslovakia | US$ 371 |
Rusia | US$ 308 |
Polanda | US$ 300 |
Hungaria | US$ 269 |
Cina |
US$ 27
|
Table 1
Data diambil dari buku Maher Nasim berjudul (An nizham assyuyu'i)
6. Ketika kita tinjau marxisme dari asal, maka kita temukan bahwa ia bukanlah ideologi yang memelihara orang miskin, orang yang lemah, akan tetapi ia berorientasi pada kelas proletariat, yaitu para buruh, petani untuk mengambil alat-alat produksi guna membalikkan sistem sosial. Dan ini merupakan golongan yang lain lagi. Tidak terdapat bagian bagi orang yang tidak berdaya, para janda, orang-orang tua, orang yang cacat mental atau fisik. Pandangan ini kemudian sejalan dengan falsafah: “Barangsiapa yang tidak bekerja, maka ia tidak makan.”
Bersambung.....
No comments:
Post a Comment