Sunday, June 30, 2019

Refleksi Sistem Ekonomi Islam: Di Persimpangan Komunisme dan Kapitalisme [PART 2]

Oleh: Muammar Farras A.R. dan Adella Novana R.

Komunisme vs Kapitalisme
Dalam diskursus filsafat ekonomi, kita mengenal dua kutub ekstrem. Di kiri kita akan menemukan komunisme, dan di kanan akan kita temukan kapitalisme. Kapitalisme adalah aliran filsafat ekonomi yang ditandai dengan kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi ekonomi (sumber daya, peralatan, modal). Aliran ini menekankan pada kebebasan swasta dalam beraktivitas dalam roda perekenomian, sehingga pasar (market) menjadi hal yang fundamental dalam ekonomi kapitalisme. [6]

Kepemilikan atas alat produksi, partisipasi produksi, dan distribusi hasil produksi yang berbeda antara pemilik modal dengan pekerjanya menciptakan hubungan yang berat sebelah, sehingga tercipta struktur masyarakat yang berkelas. Konsekuensi lain dari kapitalisme ini yaitu persaingan bebas antar pemilik modal, sehingga pemilik modal akan melakukan penindasan (dhulm) kepada kaum buruh/pekerja melalui mekanisme pengurangan upah buruh agar biaya produksi menurun dan harga yang ditawarkan di pasaran bisa lebih murah sehingga dapat memenangkan persaingan. [7] Di tangan pemilik modal yang jumlahnya sedikit, terkumpul modal besar yang jumlahnya terus bertambah. Pertanyaannya dimana letak kesejahteraan para pekerja? Ini yang dijadikan motivasi ekonomi dalam komunisme yaitu meringkas peran motif profit dengan memasukkan non-profit motivations untuk menghapuskan peluang terjadinya kesenjangan pendapatan yang terjadi pada aliran kapitalisme.

Komunisme diperkenalkan oleh seorang tokoh fenomenal yang bernama Karl Marx. Marx mendefinisikan komunisme sebagai paham ekonomi yang berusaha meniadakan kepemilikan pribadi, karena negara telah memenuhi kebutuhan rakyatnya melalui pemanfaatan alat-alat produksi. Ia adalah fase akhir dari suatu negara yang tidak lagi terdapat di dalamnya kelas sosial, swasta, bahkan negara itu sendiri. Aliran komunisme ini berasal dari aliran sosialisme, yaitu paham ekonomi yang menjadikan pemerintah sebagai komunisme dipakai untuk aliran sosialis yang lebih radikal, menuntut penghapusan total hak pusat dalam aktivitas perekonomian (central planning).

Dua kata ini semula sama artinya tetapi kata komunisme dipakai untuk aliran sosialis yang lebih radikal, menuntut penghapusan hak milik pribadi dan kesamaan konsumsi serta mengharapkan keadaan lebih baik bukan dari kebaikan pemerintah tetapi dari perjuangan kaum miskin/terhisap.[8]  Perbedaan antara sosialisme dengan komunisme yang sangat mencolok dapat terlihat dalam hal cara dan sarana yang dipakai untuk mentransformasikan kapitalisme menjadi sosialisme. Kaum sosialis yakin bahwa transformasinya itu dapat dilakukan dengan cara-cara damai dan demokrasi, sedangkan kaum komunis merasa bahwa hal itu tidak cukup, perubahan harus dilakukan dengan cara revolusioner dan selama masa transisi diperlukan peran pemerintahan yang diktatorial sampai tercapai fase akhir seperti yang telah dijelaskan di atas. [9] Jika transisi gagal untuk mewujudkan cita-cita sosialisme yaitu meniadakan kesenjangan sosial, maka pemerintah yang otoriter justru dapat menyalahgunakan kekuasaannya dan memungkinkan kaum kapitalisme untuk lebih leluasa menjalankan perannya. Alih-alih meningkatkan kesejahteraan rakyat justru komunisme akan membuat roda perekonomian berjalan lebih lambat karena inovasi dan kreativitas warganegaranya terhambat akibat tidak adanya persaingan dan penghapusan hak-hak perseorangan atas alat-alat produksi.
Sistem Ekonomi Wasathi
Jika kita belajar mengenai sistem ekonomi islam melalui implementasi Umar bin Abdul Azis, kita dapat mengambil beberapa prinsip utama dalam sistem ekonomi islam. Di antaranya; keberpihakan pada kaum membutuhkan, keadilan sosial, kebebasan, penghapusan KKN, optimalisasi ekonomi, dan prinsip egaliter antara penguasa dan rakyat (sehingga tidak ada pengistimewaan pada pejabat). Ia selalu menempatkan setiap kebijakannya (dalam hal ini kebijakan ekonomi) di posisi pertengahan. Tidak ekstrem kiri, maupun kanan. Terlihat dari kebijakannya yang membebaskan pasar bekerja menemukan titik keseimbangannya, juga membebaskan rakyat untuk berjualan apapun tanpa ada halangan (bahkan didorong untuk itu). Tapi kebebasan tersebut tetap memiliki pembatasan, seperti dilarangnya penjualan minuman keras dan hal yang dilarang syariat lainnya (yang juga berdampak buruk secara sosial). Selain itu, negara juga melakukan beberapa intervensi, seperti menertibkan “tengkulak” guna menciptakan keadilan sosial, meregulasi pembukaan lahan baru.
Umar juga menggalakkan ajaran Islam yang punya dampak sosial yang nyata, seperti zakat. Pada masa itu, seperti digambarkan Dr. Ash-Shallabi, umat muslim berbondong-bondong membayarkan zakatnya. Apa fungsi zakat itu sendiri? Pemerataan kekayaan. Karena zakat diambil dari orang yang spesifik (mampu, memiliki harta sesuai nishab (kadar minimum)), dan disalurkan kepada orang yang juga spesifik (8 kategori yang telah disebutkan). Selain itu juga ia menindak tegas penyelewengan wewenang, KKN, dan pungutan-pungutan liar guna mewujudkan keadilan sosial, sesuai dengan perintah Allah dalam banyak teks quran dan hadits, seperti dalam QS 2:188.

و لا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل

“Dan janganlah kalian memakan harta orang-orang di sekitar kalian dengan cara yang bathil/buruk”

Pada situasi di mana persinggungan antara sosialisme dan kapitalisme mengemuka, kalangan pemikir dan ilmuwan islam mulai sadar dan menerobos keluar dari dua kubu besar. Nyatanya memang islam tidak menemukan tempat yang pas di antara keduanya. Karena keduanya sama-sama kehilangan moral sebagai kekuatan utama, yang justru menjadi driving force dalam islam. [7]
 
Salah satu cendekiawan Islam yang mencoba melawan arus dari keduanya adalah Mawlana Mawdudi. Ia bukan seorang ekonom, tapi pandangannya terhadap sistem ekonomi dan bagaimana seharusnya negara menempatkan Islam sebagai sistem yang menyeluruh, patut diapresiasi.. Mawdudi memberikan penekanan dalam bentuk integrasi moral dan ekonomi yang gagal diintegrasikan baik dari Kapitalisme maupun Sosialisme. Mawdudi menekankan, dalam Islam individu boleh menguasai dan mengelola hartanya. Namun dia bukanlah pemilik harta yang hakiki, melainkan sebatas pemegang amanah (trustees). Karena itu mereka harus menjalankan dan mengelola hartanya seiring dengan panduan moral islam yang telah mengaturnya. [7]

Sementara itu fungsi pemerintah menurut Mawdudi bukanlah sebagai industrialis, pedagang, atau penguasa tanah (landlord), tapi lebih kepada pihak yang menyelenggarakan dan mengawal keadilan dan menggunakan kekuasaan serta segenap otoritas yang disematkan kepadanya untuk menjaga dan mendistribusikan kesejahteraan kepada rakyat. Hal ini telah tercermin di zaman pemerintahan Umar bin Abdul Aziz. [7]


Referensi:

[1] Zarkasyi, H. F. (2018). Konsep Din Al-Islam. Islamia, 19.
 
[2] (n.d.). Retrieve d from جامعة الملك سعود: المصحف الإلكتروني: www.quran.ksu.edu.sa/tafseer/katheer/sura2-aya143.html#katheer
[3] Ash-shallabi, D. A. (2010). Umar bin Abdul Azis: Khalifah Pembaru dari Bani Umayyah. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar.
[4] Asy-Syarbini, M. K. (n.d.). Al iqna fi hal alfaz abi syuja. In M. K. Asy-Syarbini, Al iqna fi hal alfaz abi syuja (p. 249). Kairo: Daar Ibn Jawzy.
[5] Bantani, M. N. (n.d.). Kasyifatu As-Saja. In M. N. Bantani, Kasyifatu As-Saja (pp. 6-7). Surabaya: Daar Al Ilm.
[6] Frederick P. Stutz, B. W. (2015). The World Economy. Pearson.
[7] Hamidi, M. L. (2012). The Quranomics : The Crisis. Jakarta Selatan: Republika.
[8] Suseno, F. M. (2001). Pemikiran Karl Marx. Jakarta: Gramedia.

[9] Saiman. (2000). Neo-sosialisme : Antara Ideologi dan Realita Masyarakat Sosial. Bestari, 20.



 



 


1 comment:

  1. 👏 mantap menarik sekali bahasannya. sebagai rakyat biasa yang ga paham2 amat tentang perekonomian, akhir2 ini aku cukup terusik dengan gaya hidup masyarakat dunia yang konsumtif tersebab kapitalisme. dengan dalih peningkatan produktifitas, peningkatan ekonomi untuk kesejahteraan, seolah-olah dibenarkan untuk untuk memanfaatkan secara maksimal segala sumber daya, yang jatuhnya malah mirip eksploitasi (?). seolah-olah tidak ada limit dalam pemanfaatan sumber daya asal manusia dan teknologinya mampu melakukannya.
    jumlah produksi kian meningkat jauh melebihi kebutuhan, tapi tingkat konsumsi sama meningkatnya. iya betul itu karena akan selalu tercapai kesetimbangan baru. tapi sampai sejauh apa perilaku ini dibenarkan?
    melihat global footprint hari ini rasanya agak ngeri ya, jadi bertanya2 sampai kapan bumi ini akan bertahan menopang keinginan manusia.
    pun meski akhir2 ini sustainable development lagi rame digaungkan, tapi kok rasanya agak percuma kalau gaya hidup dan cara berekonomi ini masih mendorong masyarakat berperilaku konsumtif.
    kalau dikaitkan dengan bahasan postingan ini dan sebelumnya, kondisi sekarang tuh harusnya digimanain ya? kok rasanya saat ini sangat jauh dari sistem ekonomi islam. butuh pencerahan ehe.

    ReplyDelete

Bunga Bank

  Mesir sedang mengalami keterpurukan ekonomi di bulan Maret 2022 ini. Nilai tukar mata uang Mesir, Egyptian Pound (EGP), terhadap dollar me...