Oleh: Muammar Farras A.R. dan Adella
Novana R.
Fungsi Islam
Sebagai Sistem Kehidupan
Islam adalah sistem kehidupan. Ia adalah sekumpulan perangkat yang berfungsi
sebagai worldview bagi pemeluknya. Bahkan beberapa intelektual muslim menggugat
penggunaan agama sebagai terjemahan dari diin (diinul islam),
karena definisi agama yang dimuat dalam kamus-kamus tidak mampu mendefinisikan diin
secara utuh. Bahkan ketika definisi itu ditetapkan, ada agama yang termasuk
dalam definisi tersebut dan ada yang tidak, karena konsep setiap agama berbeda.[1]
Oleh karena Islam merupakan sebuah cara pandang, maka dipastikan ia mengatur
segala macam aspek dalam kehidupan, termasuk di dalamnya perekonomian.
Sifat Dasar Islam
Islam memiliki sifat dasar, yaitu wasathi.
“Dan kami telah jadikan kalian umat pertengahan (wasath) agar
kalian menjadi saksi atas manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas kalian” (QS
2:143).
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menerangkan makna wasath di antaranya
dengan yang paling baik, atau bisa juga keadilan. [2] Dalam istilah sekarang, wasath sering juga dimaknai dengan moderat.
Pada dasarnya, Islam sebagai agama yang wasath selalu memiliki posisi
yang proporsional. Ia berada di “pertengahan” dalam setiap perkara, sesuai
dengan penafsiran wasath sebagai pertengahan/yang paling baik.
Perekenomian ala Umar Abdul Azis
Membahas soal ekonomi islam, ia bukanlah sebuah sistem yang rigid. Islam
meletakkan beberapa batasan dan ketentuan yang menjadi pagarnya. Oleh karena
itu sah-sah saja membahas perekonomian islam melalui pengimplementasian, dalam
hal ini, kita akan mengambil contoh dari pengimplementasian ala Khalifah
Umar bin Abdul Azis رضي الله عنه--.
Mengapa? Karena sejarah mencatat bahwa ia adalah salah satu khalifah tersukses
yang pernah tercatat dalam sejarah Islam. Bahkan beberapa ulama menyebutkan
bahwa Umar adalah khulafaur rasyidin ke lima (Sebagai penggambaran akan
kehebatannya). Terdapat beberapa rambu dalam sebuah perekonomian Islam, seperti
riba, maisir, dan gharar. Namun tulisan ini tidak akan membahas rambu-rambu
tersebut. Pembahasan soal itu akan dibahas pada tulisan lainnya. Dalam tulisan
ini, kita akan mempelajari ekonomi islam melalui pengimplementasian yang
tercatat dalam sejarah. Ada beberapa poin penting yang akan kita bahas,
mengikuti rumusan yang ditulis oleh Dr. Ali Muhammad Ash-Shallabi, yakni: 1)
Sasaran dalam sistem perekonomian, 2) Langkah untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi negara, 3) Strategi pemasukan keuangan, 4) Strategi pengeluaran
keuangan.
Sasaran dalam Sistem Perekonomian
1. Membagikan kekayaan negara
dengan prinsip keadilan
Langkah pertama yang dilakukan oleh Umar bin Abdul Azis adalah mengembalikan
harta masyarakat yang pernah diambil secara tidak adil oleh penguasa kepada
pemiliknya. Ia sangat menekankan pada pelarangan pejabat dan penguasa untuk
mengambil keuntungan dari masyarakat.
Selain itu, ia selalu menekankan pada pemerataan kekayaan, ia pernah
berkata, “Aku ingin agar orang-orang kaya mau berkumpul dan menyisihkan harta
mereka untuk dibagikan kepada orang-orang miskin, agar seluruh lapisan
masyarakat dapat setara secara ekonomi, dan aku akan menjadi orang pertama yang
akan melakukannya.” [3]
Umar bin Abdul Azis berfokus pada kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakatnya
yang mana jika kebutuhan tersebut tidak ada, kehidupan seseorang akan sulit. Keberpihakan
pada orang yang kesulitan merupakan prinsip utama dalam strategi ekonomi Umar
bin Abdul Azis.
2. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan
Umar bin Abdul Azis berusaha keras untuk memperbaiki kesalahan yang
diciptakan oleh penguasa sebelumnya, dan meningkatkan perekonomian negaranya
guna kemakmuran rakyatnya. Proses ini berhasil, hingga terdengar oleh kita saat
ini bahwa di zaman Umar, Baitul mal yang menyalurkan zakat mengalami
kebingungan karena tidak ada orang yang membutuhkan zakat di negara tersebut.
Langkah-langkah yang diambil Umar untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi negaranya
1. Menciptakan iklim negara yang kondusif
Umar bin Abdul Azis berusaha menciptakan situasi sekondusif mungkin di
negaranya. Hal ini terwujud dengan cara meniadakan kesewenang-wenangan
penguasa, memastikan keamanan, dan mengembalikan hak seseorang yang terlanggar.
2. Menerapkan sistem “pasar bebas”
Untuk memastikan perputaran ekonomi, Umar bin Abdul Azis juga menerapkan
sistem “pasar bebas” di mana hal tersebut memacu perputaran roda ekonomi karena
terdapat kebebasan dalam berniaga dan penanaman modal. Sistem ini akrab kita
dengar dengan istilah kapitalisme di saat ini. Salah satu kisah yang
menggambarkan nilai kapitalisme dalam sistem Umar adalah riwayat dari
Abdurrahman bin Syauban, ia berkata: Aku pernah bertanya kepada Umar bin Abdul
Azis: “Wahai khalifah, mengapa harga barang-barang pada masa pemerintahanmu ini
sangat mahal, padahal barang-barang ini pada masa pemerintahan khalifah
sebelummu harganya murah?” Umar menjawab: “Sesungguhnya pada pemerintahan
sebelumku, mereka selalu membebankan kepada ahlu dzimmah (orang kafir yang taat
pada pemerintah Islam) beban yang sangat berat hingga di luar batas kemampuan
mereka, sehingga mereka tidak mau menjual barang mereka atau merendahkan harga
serendah-rendahnya. Sementara aku membebaskan masyarakat untuk menjual
barangnya sesuai keinginan mereka sendiri.” Lalu aku (Abdurrahman) bertanya
lagi: “Mengapa engkau tidak tetapkan saja harganya?” Umar menjawab, “Kita tidak
memiliki hak untuk ikut campur dalam menentukan harga, Allah yang akan
menentukannya.” [3]
Melihat jawaban terakhir Umar, kita terbayang konsep invicible hand milik
Adam Smith yang menjelaskan bahwa permintaan dan penawaran akan menemui titik
keseimbangannya sendiri dalam pasar bebas.
Adapun kebebasan ala Umar, tetap memiliki batasan. Ia juga melakukan
beberapa intervensi pasar, seperti melarang jual beli barang dagangan yang
diharamkan syariat seperti minuman keras. Alasannya selain karena melanggar
syariat, ia menumbulkan beberapa akibat buruk bagi masyarakat.
3. Memberantas biaya dan pajak yang berat, serta penyalahgunaan wewenang
Di zaman kekhilafan, terdapat tanah khiraj (pajak tanah orang
kafir yang masuk ke dalam wilayah Islam). Di zaman penguasa sebelum Umar, tanah
yang seharusnya dimiliki oleh umum, diperjual belikan, sehingga mengakibatkan
aset yang seharusnya dimiliki oleh negara, menjadi milik pribadi. Praktek ini
dihentikan oleh Umar di zamannya, guna menjaga agar tanah itu tetap menjadi
milik bersama dan keuntungannya tidak dimiliki individu saja.
Selain itu, Umar memberantas berbagai pajak dan biaya-biaya yang
dibebankan kepada petani. Hal ini dibebankan oleh penguasa sebelumnya sehingga
para petani merasa keberatan, meninggalkan ladang mereka, lalu ladang tersebut
rusak dan tidak subur. Ia juga melarang adanya praktek “tengkulak” yang dinilai
merugikan petani. Tengkulak membeli hasil tani dari petani dengan harga yang
sangat rendah secara kredit, lalu ia menjualnya kepada konsumen dengan harga
yang sangat tinggi. Praktek ini dinilai merugikan kesejahteraan petani dan
menurunkan gairah mereka dalam bertani.
4. Mendorong pemanfaatan lahan
Guna memanfaatkan lahan kosong, Umar bin Abdul Azis mengizinkan petani
untuk mengelola tanah negara yang tidak terkelola agar lahan tersebut menjadi
produktif. Skema yang diterapkan adalah bagi hasil 50:50. Jika petani tidak
sanggup dengan skema bagi hasil (yang besarannya tergantung kemampuan petani),
maka petani boleh mengelolanya tanpa harus membagi hasilnya ke baitul mal.
Bahkan jika tetap tidak sanggup, negara mendorong petani untuk tetap
memanfaatkan lahan kosong tersebut dengan memberikan modal.
5. Membangun fasilitas umum
Umar bin Abdul Azis banyak membangun sumber air, jalan, tempat
peristirahatan bagi jamaah haji, juga proyek lainnya yang dapat menghasilkan multiplier
effect.
Strategi pemasukan negara
Hal yang juga menjadi prinsip utama dalam siasat pengaturan pemasukan
negara ala Umar adalah mencegah adanya praktek ketidak adilan dalam penambahan
pemasukan negara. Praktek KKN diberantas, pungutan-pungutan liar yang semula
dikira dapat menambah pemasukan negara dihentikan. Secara kasat mata, hal ini
terlihat mengurangi pemasukan negara, namun ternyata hal ini justru
meningkatkan perekonomian karena rakyat merasa mendapat keadilan dan
kesejahteraan. Dengan meningkatnya perekonomian, meningkat juga penerimaan
negara dari zakat, khiraj, dan usyur (bea cukai). [3]
1. Zakat
Zakat adalah pemberian yang wajib dikeluarkan dengan syarat-syarat
tertentu, dengan kadar (jumlah) tertentu kepada pihak-pihak yang berhak
menerimanya. [4]
Reformasi yang dilakukan Umar bin Abdul Azis adalah mengembalikan pengelolaan
zakat pada asalnya. Sebagaimana yang telah diatur oleh syariat, pihak yang
berhak menerima zakat terdapat 8 golongan; fakir, miskin, amil, mualaf, budak,
orang yang berhutang (untuk selain keburukan), orang yang berjihad, dan orang
yang dalam perjalanan (ibnu sabil). [5]
Permasalahan yang terjadi dalam penarikan zakat adalah zakat ditarik dari
orang yang tidak seharusnya membayar zakat, lalu orang yang seharusnya membayar
zakat, tidak membayarnya, dan zakat disalurkan pada orang yang tidak berhak menerima
zakat. Umar bin Abdul Azis menertibkan kembali pengelolaan tersebut. Ia
menunjuk petugas-petugas yang dapat dipercaya sehingga mencegah adanya
kebocoran.
Dengan berkembangnya perekonomian hasil strategi dari Umar bin Abdul Azis
sebelumnya, pemasukan negara dari zakat meningkat drastis. Selain itu, reputasi
Umar sebagai pemimpin membuat orang kafir saat itu tertarik untuk masuk islam
(sehingga ikut membayar zakat), dan orang muslim sendiri berbondong-bondong
secara sukarela membayarkan zakatnya.
2. Jizyah
Jizyah adalah kewajiban yang dibebankan pada orang kafir yang menetap di
negara islam. Masalah yang terjadi pada penguasa sebelumnya adalah mereka
menarik jizyah dari orang kafir yang telah masuk islam, karena berpendapat
bahwa orang tersebut masuk islam hanya karena ingin menghindari jizyah. Sesuai
dengan prinsip utama dalam kepemimpinan Umar bin Abdul Azis, yakni keadilan,
hal ini dihapuskan.
Selain itu, penarikan jizyah pun dilakukan dengan mempertimbangkan
kondisi finansial masing-masing. Bahkan kepada orang kafir yang fakir, Umar
membantu mereka melalui baitul mal. Pengusaha tidak dibebankan jizyah melainkan
ketika usahanya untung, dan petani pun tidak dibebankan jizyah melainkan ketika
lahannya menghasilkan.
3. Khiraj
Dengan kebijakan pelarangan jual beli khiraj, penerimaan negara melalui
pos ini melonjak drastis. Hal ini disebabkan oleh tanah tersebut dimiliki oleh
umum dan dikelola oleh Baitul mal, sehingga pemanfaatannya bisa optimal. Selain
itu aspek kemakmuran juga meningkat karena kekayaan lebih terdistribusi. Khiraj
di wilaya Khurasan (Bagian timur laut Iran) saja mampu melebihi kebutuhan
negara.[3] Hal ini juga disebabkan oleh pemanfaatan lahan-lahan kosong
sehingga lahan tersebut menjadi produktif.
4. Usyur (Bea cukai)
Usyur adalah biaya yang harus dipungut oleh pedagang kafir ketika
melewati batas negara islam. Ia memiliki kadar yang berbeda antara kafir harbi
(orang kafir yang berperang dengan negara islam), dan kafir dzimmi (orang kafir
yang memiliki perjanjian damai dengan negara islam). Di antara ketentuannya
adalah ia dibayarkan sekali dalam setahun untuk barang yang sama. Umar
memerintahkan untuk menuliskan bukti pembayaran agar tidak ada
pungutan-pungutan liar yang menghadirkan ketidak adilan. Ia juga menghapus
biaya-biaya tambahan yang juga menghadirkan ketidak adilan.
5. Ganimah dan Fai
Ganimah adalah harta yang diambil setelah terjadinya peperangan. Sedang
fai adalah hartai yang diserahkan tanpa terjadinya peperangan. Pada masa Umar,
pendapatan dari pos ini tidak lah banyak, karena ia lebih banyak melakukan
perbaikan dalam negeri. Umar mengumpulkan ganimah dan fai ini untuk disalurkan
kepada orang-orang yang tersebut dalam Surah Al Anfal (Keluarga nabi, dst).
Selain itu ia juga membaginya kepada orang-orang yang terhimpit kebutuhan.
Strategi pengeluaran keuangan
Untuk masyarakat umum
Sasaran pengeluaran negara dalam hal ini adalah kepada kaum fakir,
miskin, janda, anak-anak, orang sakit, cacat, dan orang tidak mampu lainnya.
Perhatiannya terhadap kelompok yang kesulitan ini tergambar dalam suratnya:
“Laporkan kepadaku nama anak yatim, atau yang tidak memiliki siapa-siapa lagi,
aku akan memberikan satu orang pelayan bagi setiap lima anak untuk melayani
kebutuhan mereka.” [3]
Selain itu, Umar juga menyalurkan uang negara untuk bantuan kepada
orang-orang yang mempunyai hutang, tawanan, hambah sahaya, orang yang singgah
dalam perjalanan. Salah satu suratnya kepada salah satu pejabatnya: “Bangunlah
tempat peristirahatan di wilayahmu, apabila ada seorang muslim yang berlalu di
sana maka persilahkanlah kepadanya untuk menggunakan tempat tersebut untuk
menginap satu hari satu malam, dan rawatlah hewan kendaraan mereka. Apabila
mereka jatuh sakit, biarkan lah mereka menginap lebih lama. Jika mereka
kehabisan ongkos, berilah ia ongkos agar ia bisa pulang ke negerinya.”
Untuk kepentingan negara
Pos ini sering kali disalahgunakan oleh pihak yang memiliki kekuasaan.
Harta yang seharusnya menjadi hak rakyat sering kali malah digunakan untuk
kepentingan pribadi. Umar bin Abdul Azis melarang keras hal itu terjadi di masa
kekuasaannya, baik terjadi pada dirinya sendiri, maupun pada
pejabat-pejabatnya.
Ia mengembalikan fasilitas, dan segala perhiasan yang lazim digunakan
oleh khalifah ke Baitul mal. Kisah yang menggambarkan betapa “hati-hatinya”
Umar soal ini adalah ketika gubernur Yordania mengirimkan buah anggur, namun
gubernur itu menggunakan hewan kendaraan milik negara. Umar segera menjual
anggur tersebut, dan uangnya ia gunakan untuk memberi makan hewan tersebut.
Ia juga menerapkan pengiritan dalam operasional negara. Segalanya serba
sederhana. Ia menempatkan sesuatu pada tempatnya. Hal yang menggambarkan betapa
iritnya ia dalam menjalankan operasional negara adalah ketika gubernur Madinah
meminta tambahan kertas untuk mengirim, Umar berkata: “Apabila suratku ini
telah sampai kepadamu, maka runcingkanlah penamu, dan rapatkanlah tulisanmu.
Gabungkan semua yang ingin kamu katakan dalam satu lembar saja. Rakyat tidak
boleh merugi hanya karena kata-kata yang berlebih.”
No comments:
Post a Comment