Islam
mengumumkan perang terhadap kemiskinan. Demi
mencegah kerusakan yang lebih besar di masyarakat. Oleh karena itu, ia
mewajibkan individu untuk hidup di masyarakatnya dengan keadaan telah terpenuhi
hajat hidup utamanya. Pakaian, minuman, tempat tinggal, pernikahan.
Dan tidak boleh
ada seseorang yang hidup dalam lingkungan islami -walau ia bukan seorang
muslim- untuk hidup dalam kondisi kelaparan dan tidak beralas kaki, atau
menjadi gelandangan tanpa tempat tinggal, atau tidak mampu untuk menikah dan
membentuk keluarga.
Apa
wasilah-wasilah yang Islam ambil dalam menjamin hal-hal tersebut?
1. Bekerja
Wasilah pertama
yang diajarkan Islam dalam memberantas kemiskinan adalah bekerja. Terdapat banyak
ayat, hadits, atsar terkait ini, diantaranya:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي
مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِن رِّزْقِهِ ۖ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ - 67:15
Ia (Allah) yang
menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya, dan
makanlah dari rezeki Allah. Dan hanya kepadaNya lah kamu dibangkitkan
Juga terdapat
hadits,
“Jika kalian
bertawakkal dengan sebenar-benarnya tawakkal, Allah pasti akan memberi kalian
rezeki seperti burung, ia keluar dari sarangnya dalam keadaan lapar, dan
kembali dalam keadaan kenyang”
Hadits ini
memberi gambaran bahwa yang dimaksud tawakkal adalah berserah yang diikuti
dengan usaha. Layaknya burung yang harus keluar dari sarangnya dahulu untuk
mendapatkan makanan. Maka, wajib bagi
tiap pribadi untuk berusaha memenuhi hajat hidupnya, karena itu merupakan
bagian dari perintah agama.
Dan hendaknya
bagi masyarakat, untuk memiliki jiwa saling tolong-menolong dalam hal ini,
hingga tiap individu mampu menemui penghidupannya yang layak sebagaimana yang
diwasiatkan dalam surah al maidah, “Wa ta’aawanu ‘ala al-birri wa attaqwa” (Dan
saling tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan).
Adapun, menjadi
tugas pemimpin, untuk memudahkan masyarakatnya dalam mencari kerja, mendorong
pembukaan lapangan pekerjaan. Karena Allah telah meletakkan tanggung jawab atas
masyarakat pada pemimpin,. Jika terdapat banyak pencari kerja yang membutuhkan
persiapan khusus atau pelatihan keahlian agar mereka mampu bekerja dengan
layak, maka hal itu juga merupakan tugas pemimpin dalam menyiapkan hal-hal
tersebut. Termasuk juga bantuan permodalan bagi calon pengusaha untuk mendanai
usahanya. Wajib bagi pemimpin untuk menyediakannya dari pendapatan zakat, atau
pendapatan negara lainnya.
2. Jaminan
dari kerabat (keluarga)
Pada asalnya,
wasilah utama dalam memerangi kemiskinan adalah bekerja. Namun bagaimana jika
terdapat orang-orang yang sudah tidak mampu bekerja? Para janda yang sudah tua?
Anak-anak kecil? Orang-orang sakit?
Islam memiliki
konsep besar dalam hal ini. Dalam konsep keislaman, dzawil qurba atau
kerabat (keluarga) wajib untuk saling membantu dan menjamin satu sama lain,
karena ikatan antar mereka paling kuat dibandingkan dengan yang lain. Sehingga
hendaknya yang kuat membantu yang lemah, dan yang kaya membantu yang miskin,
dan kerabat memiliki hak lebih besar untuk dibantu dibandingkan dengan golongan
yang lain.
وَآتِ ذَا الْقُرْبَىٰ حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ
السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا - 17:26
Dan
berikanlah haknya kepada kerabat, orang miskin, dan yang sedang dalam
perjalanan. Dan janganlah kamu berlaku boros.
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ
وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ
بِالْجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا
يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا - 4:36
Dan sembahlah
Allah dan jangan engkau persekutukan dengan apapun. Dan berbuat baiklah kepada
kedua orang tua, kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat, dan
jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahaya. Sungguh, Allah tidak
menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri.
Jika kita
perhatikan, dua ayat tersebut menyebutkan “kerabat” pertama kali ketika
menyebut golongan yang harus dibantu.
Terdapat juga
hadis dari Abu Hurairah yang telah sering kita dengar,
Seorang
lelaki datang kepada Nabi, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, siapa yang paling
berhak untuk aku berbakti padanya?” Rasul menjawab, “ibumu”, “kemudian siapa?”
“ibumu”, “kemudian siapa?”, “ibumu”, “kemudian siapa?” “ayahmu, lalu yang
paling dekat denganmu.”)
Ahli fikih
mensyaratkan dua hal dalam kewajiban memberi nafkah pada kerabat:
1. Merupakan
orang miskin. Sehingga tidak ada kewajiban atas kerabat yang berkecukupan.
2. Orang yang
memberi nafkah memiliki harta yang cukup untuk diri, dan keluarganya.
3. Zakat
Islam
memerintahkan setiap individu yang mampu untuk bekerja. Selain itu, ia juga
memerintahkan orang yang berkecukupan untuk membantu kerabatnya. Akan tetapi
tidak semua orang yang fakir memiliki kerabat yang berkecukupan. Lantas apa
yang bisa golongan ini lakukan?
Islam mengenal
satu syariat yang merupakan satu dari lima pilar utama Islam, zakat. Zakat
menurut ahli fikih bermakna pengeluaran harta tertentu dengan kadar yang juga
tertentu. Pembahasan mengenai zakat lebih mendalam akan dibahas di artikel yang
lain. Namun kali ini, kita akan membahas zakat dan hubungannya dengan
pemberantasan kemiskinan.
Zakat terbagi
menjadi dua; yakni zakat harta dan zakat fitri. Kedua jenis zakat ini tidak
diambil dari setiap orang dan harta. Namun untuk harta dan individu yang melewati batas
tertentu sehingga ia layak ditarik zakat. Pun, zakat ini penerimanya telah
jelas ditetapkan syariat, sehingga tidak bisa digunakan untuk hal-hal selainnya.
Siapakah mereka? Dalam at taubah ayat 58 dijelaskan; orang fakir, miskin, amil,
muallaf, hamba sahaya, orang yang berhutang, orang yang berjihad, ibnu sabil.
Syaikh Qardhawi
menjelaskan, fakir dan miskin merupakan golongan yang awal/utama untuk
diberikan zakat. Siapakah fakir dan miskin ini? Ulama menjelaskan; fakir adalah
orang yang tidak memiliki apapun, atau memiliki kurang dari setengah dari
kebutuhannya, dan miskin adalah orang yang memiliki setengah atau lebih, namun
tidak mampu mencukupi kebutuhannya
Yang menarik
untuk dicatat adalah; zakat bukan merupakan kebaikan individu semata, ia
seharusnya merupakan bagian dari sistem pengaturan sebuah negara. Terdapat
beberapa dalil tentang ini,
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم
بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ
عَلِيمٌ - 9:103
Ambillah zakat
dari mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk
mereka. Sesungguhnya doamu itu menumbuhkan ketentraman dalam jiwa mereka.
Sungguh Allah maha mendengar dan maha mengetahui.
Ayat ini
ditujukan kepada Rasulullah sebagai pemimpin saat itu, dan juga kepada siapa
saja yang memimpin umat muslim.
Terdapat juga
hadis dari Ibnu Abbas yang menggambarkan peristiwa ketika Rasulullah mengutus
Muadz -radhiyallahu ‘anhu- ke Yaman untuk menyiarkan Islam, Ia berkata,
“Ajarkan mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka zakat, yang diambil dari
orang kaya dan dikembalikan kepada orang miskin……..”
Imam Ibnu Hajar
berkata, “Dengan dalil ini, kita berdalil bahwa pemimpinlah yang mengambil
zakat dan menginfakkannya. Dan siapa yang menolak untuk mengeluarkannya, maka
akan diambil walau secara paksa.”
Zakat sendiri
sebenarnya merupakan satu pos pendapatan besar bagi negara untuk memberantas
kemiskinan. Dalam kasus Indonesia sendiri, Badan Amil Zakat Nasional
menjelaskan bahwa potensi zakat Indonesia sebesar Rp 232 Triliun, namun yang
berhasil dikumpulkan hanyalah Rp 8,1 Triliun.
4. Jaminan Baitul
Mal
Dalam sistem
negara islami, terdapat sebuah badan yang dikelola negara yang bertugas untuk
memungut zakat, dan infaq, wakaf, dan segala pungutan masyarakat, bernama baitul
mal. Kini kita mengenal Baitul mal sebagai lembaga yang terpisah
dari pengelolaan negara, namun tetap berfungsi sama.
Islam
memprioritaskan penggunaan dana yang terkumpul di Baitul mal ini kepada
fakir miskin. Al-Sarakhsi menulis dalam kitabnya, “Jika sebagian kaum muslimin
membutuhkan pemenuhan kebutuhannya, akan tetapi tidak ada dana dalam pos zakat,
dan infaq, maka pemimpin harus memberikannya melalui pos pajak. Dan hal itu
dianggap hutang bagi pos zakat dan infaq. Adapun, jika pemimpin membutuhkan
dana untuk pemenuhan kebutuhan militer, dan tidak ada dana dalam pos pajak, maka
jika pemimpin mengambil dana melalui pos zakat dan infaq, hal itu dianggap
hutang bagi pos pajak. Karena zakat dan infaq merupakan hak khusus kaum fakir
dan miskin.”
Dari penjelasan
ini, kita mesti merefleksikan kembali prioritas pengeluaran negara yang
seharusnya.
5. Wasilah
selain zakat
a. Sistem hidup bertetangga
Islam mengatur
hubungan bermasyarakat dan bersosial, termasuk di antaranya bertetangga, dan
menjadikan hubungan bertetangga sebagai sarana saling tolong menolong, termasuk
dalam hal kesejahteraan.
Terdapat hadis Nabi,
“Siapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhir,
hendaknya ia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Bukanlah seorang mukmin, ia yang tidur dalam keadaan kenyang, sedangkan tetangganya kelaparan, sedangkan ia mengetahuinya.” (HR. Thabrani, dan Baihaqi)
Adapun, siapa yang dimaksud tetangga di sini? Diterangkan di hadis riwayat Abu Daud, “Setiap 40 rumah adalah tetangga.” Sebagian ulama menafsirkan, yang dimaksud adalah 40 rumah dari segala sisinya. Sehingga, jika seseorang memperhatikan syariat, maka tidak akan ada yang membiarkan keluarga di sampingnya hingga 40 rumah kelaparan.
b. Bantuan daging kurban di hari raya idul adha
c. Kafarat dari
pelanggaran sumpah yang dilakukan seseorang
Sesuai dengan
yang termaktub dalam Al-Maidah:89
“Maka kafarat
baginya (orang yang melanggar sumpahnya) adalah memberi makan sepuluh orang
miskin sesuai dengan yang biasa ia dan keluarganya makan, atau membebaskan budak”
d. Kafarat dari
zihar
Zihar adalah
situasi ketika suami mengatakan kepada istrinya, “Kamu bagiku seperti punggung
ibuku sendiri, atau saudari perempuanku”. Maka istrinya diharamkan bagi sang
suami, sampai ia menunaikan kafarat (hukumannya); membebaskan budak,
atau siapa yang tidak mampu; berpuasa dua bulan berturut-turut, dan yang tidak
mampu juga; memberi makan 60 orang miskin.
e. Kafarat orang
yang berhubungan suami istri di siang hari ketika bulan Ramadhan
Hukumannya sama
dengan zihar.
f. fidyah dari
orang tua, orang sakit yang tidak mampu puasa
Fidyah merupakan
sesuatu yang harus ditunaikan oleh orang tua, orang sakit yang tidak mampu
berpuasa lagi. Sesuai dengan Al-Baqarah:184, “Dan bagi orang-orang yang
berat menjalankannya (puasa), maka wajib baginya membayar fidyah; memberi makan
seorang miskin….”
Fidyah ini
harus ditunaikan setiap hari di bulan Ramadhan.
g. Hadiy
Hadiy merupakan
sesuatu yang harus ditunaikan oleh orang yang melakukan sesuatu yang dilarang
ketika ihram dalam syariat haji, atau untuk orang yang berhaji tamattu’
(menunaikan umrah duluan, sebelum haji). Hadiy ditunaikan berupa unta,
sapi, atau kambing.
h. Hak dari kebun
yang baru dipanen
Terdapat ayat
dalam surah Al-An’am: 141 yang memerintahkan untuk memberi sedekah dari hasil kebun
yang baru dipanen. Para sahabat, seperti Ibnu Umar, menafsirkan bahwa hal ini bukan
merupakan bagian dari zakat, melainkan sedekah atas hasil panen semata.
i. Jaminan atas
orang fakir dan miskin
Ini merupakan poin
yang terpenting. Poin ini merupakan prinsip dasar Islam yang harus tertanam
dalam pikiran setiap individu. Bahwa wajib bagi tiap individu untuk saling
membantu dan bertanggung jawab atas fakir dan miskin. Terlebih jika pendapatan
zakat tidak mampu mencukupi kebutuhan ini. Terdapat banyak sekali dalil
mengenai hal ini, di antaranya:
Hadis nabi,
“Sesungguhnya
dalam harta itu terdapat hak selain zakat, kemudian Nabi membaca ayat, ‘laisa albirra
tuwallu wujuhakum qibalal masyriqi wal maghribi… sampe akhir’”
Maksudnya adalah, pertama, ayat yang dibaca nabi menerangkan tentang rukun dari sebuah kebaikan, yaitu memberi harta kepada kerabat, anak yatim, orang miskin, dan selainnya, menunaikan salat, dan memberi zakat. Penyebutan “memberi harta kepada anak kerabat, anak yatim, dan orang miskin” di awal, menandakan hal tersebut terpisah dari zakat, dan hal itu terhukumi wajib.
Juga,
“Permisalan
seorang muslim dengan muslim lainnya dalam simpati, berkasih saying seperti
tubuh yang satu, jika satu bagian tubuh mengaduh kesakitan, maka seluruh
anggota tubuh ikut merasa panas dan terjaga.”
Juga terdapat banyak sekali ancaman yang keras bagi orang yang menelantarkan orang miskin, seperti gambaran alasan bagi orang yang disiksa di neraka, “Wa laa yahudhu ‘ala tha’amil miskin”. Yaitu mereka yang tidak menghimbau untuk memberi makan orang miskin.
Demikian
merupakan wasilah-wasilah yang Islam ajarkan dalam menyelesaikan urusan
kemiskinan. Jika ditarik garis besar dari apa yang telah dirumuskan oleh Syaikh Qardhawi, Islam menekankan kerjasama antara negara, dan individu. Antara sistem, dan kesadaran pribadi. Intisari dari konsep besar ini seharusnya bisa diambil dan diterapkan dalam kehidupan bernegara di jaman sekarang dengan konteks politik, ekonomi, sosial, dan budaya tiap negara tersebut.
No comments:
Post a Comment