Sunday, March 14, 2021

Apakah Mahar Merupakan "Harga" atas Perempuan?

Mahar secara istilah berarti sesuatu yang menjadi "pengganti" ('iwadh) dalam pernikahan. Ulama menjelaskan bahwa ia wajib ditunaikan dalam sebuah pernikahan. Mazhab Maliki memasukkan mahar ke dalam rukun nikah. Dalil pensyariatan dari mahar di antaranya adalah QS An-Nisa:4

وَاٰتُوا النِّسَاۤءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحْلَةً ۗ فَاِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْۤـًٔا مَّرِيْۤـًٔا 

Terjemah :

Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.

Jika kita membahas pertanyaan dari judul tulisan ini, menurut saya, agaknya ia bisa terjawab ketika kita mempelajari tafsir dari QS An-Nisa:4 ini, dan mengkaji lebih panjang mengenai hakikat pernikahan dalam Islam, khususnya mengenai hak, dan kewajiban. Namun, tulisan ini hanya akan berusaha membahas sedikit dari sisi tafsir ayat ini guna meluruskan cara pandang kita dalam melihat mahar.

Allah menyebutkan dalam ayat-Nya, "Dan berikanlah mahar kepada perempuan secara 'nihlah'". Ulama mendefinisikan nihlah sebagai "'athiyyatun min ghairi 'iwadh" yakni "pemberian tanpa imbalan". Dari definisi ini terlihat hakikat mahar adalah layaknya hibah, pemberian tanpa adanya balasan atas pemberian tersebut. Jika kita melihat kata ini saja, terlihat bahwa cara memandang mahar harusnya sudah berbeda dengan memandang harga dari suatu barang -sebagaimana yang menjadi tesis di judul-. Harga senantiasa dipadankan dalam transaksi jual-beli, baik jasa, atau barang. Titik perbedannya adalah harga merupakan pemberian dengan suatu imbalan. Jika seseorang membayar sebesar x, maka ia mendapat barang/jasa senilai sekian. Sedangkan posisi mahar sebagaiman dijelaskan sebelumnya, tidak demikian.

Kemudian pertanyaannya, pemberian dari siapa?  Ulama menjelaskan bahwa ia adalah "'athiyyatun min Allah ta'ala," yakni pemberian dari Allah ta'ala sebagai wujud takrîm/pemuliaan kepadanya. Dari sini saja, agaknya cara kita memosisikan mahar sudah cukup jelas, bahwa ia bukan lah harga, namun pemberian tanpa adanya imbalan (dari perempuan) yang berasal dari Allah ta'ala.

Penyamaan mahar sebagai sebuah harga atas perempuan sebenarnya lebih cocok dipadankan dengan praktek perbudakan di zaman jahiliyyah, atau saat ini pun kita bisa melihatnya dalam praktek prostitusi, dan perdagangan manusia modern yang masih ada. Dalam praktek-praktek tersebut, jelas bahwa perempuan dipandang sebagai suatu objek yang memiliki harga. Ketika harga telah dibayarkan, maka perempuan tersebut harus memberi imbalannya mengikuti apa yang pembeli mau. Secara hakikat, praktek-praktek tersebut jelas berbeda dengan pernikahan, yang mana terdapat kewajiban, hak, dan manfaat yang berbeda di dalamnya. (Sedikit mengenai konsep keluarga: dalam https://muammarfarras.blogspot.com/2021/01/risalah-keluarga-dalam-islam-1.html dan https://muammarfarras.blogspot.com/2021/01/risalah-keluarga-dalam-islam-2.html)

Jika kita merenungkan sedikit lagi mengenai aspek fikih lainnya dalam mahar, misalnya, bahwa mayoritas ulama membolehkan mahar dalam bentuk manfaat (misalnya: maharnya adalah mengajarkan si perempuan surah dalam Al-Qur'an, atau mengajarkannya kerajinan tangan), atau aspek lainnya, seperti bolehnya istri memberikan maharnya kepada suami dengan syarat bahwa bahwa istrinya ridha, maka cara pandang "mahar adalah harga atas perempuan" yang sangat sarat nilai transaksional, dan materialistis agaknya semakin jauh dari cara pandang kita terhadapnya.

Referensi:

Tafsîr Âyât al-Ahkâm karya Syaikh Muhammad Ali as-Sayis

al-Wajîz fî Fiqh al-Usrah karya Dr. Ahmad Ali Thaha Rayyan


Wednesday, March 10, 2021

Surah Al-Syarh: Setelah Ada Kesulitan, Ada Kemudahan



Surah Al-Insyirah merupakan salah satu surah yang dijadikan sebagian orang sebagai alat tuduhan kepada Nabi, yakni tuduhan yang menggugat sifat amanah (yakni salah satu sifat Nabi yang bermakna terjaga dari perbuatan dosa) pada Nabi.

Tuduhannya berasal dari ayat ke-2 (wawadha'nâ 'anka wizrak). Kata wizr dimaknai sebagian orang sebagai dzanbu, yakni dosa. Sehingga, makna ayat ini menjadi "Dan kami telah mengampuni dosamu," sehingga dari sini, Nabi ﷺ digambarkan pernah melakukan dosa sehingga ia butuh diampuni oleh Allah, dan hal ini membatalkan sifat amanah pada Nabi ﷺ. 

Kita perlu mempelajari asal dari surah ini untuk: 1) Membantah tuduhan tersebut, 2) Mengambil hikmah dari perjalanan Rasulullah ﷺ.

Surah ini mengisahkan tentang keadaan Rasulullah ﷺ ketika awal-awal masa dakwah, dan kenabian. Dikisahkan bahwa masa awal turunnya wahyu merupakan masa yang berat. Pertama, Rasulullah ﷺ belum terbiasa bertemu dengan malaikat. Pada pertemuan pertama kali, kita tahu kisah yang telah populer bahwa Rasulullah ﷺ pulang ke rumah dalam keadaan menggigil, dan meminta Sayyidah Khadijah menyelimutinya karena gugup bertemu malaikat pertama kali.

Tidak hanya itu, hal kedua adalah mengenai kesulitan yang juga terjadi dalam urusan dakwah. Begitu rusaknya keadaan masyarakat saat itu, dan banyaknya penolakan mereka membuat keadaannya berat bagi Nabi ﷺ. Berbagai hujatan, tekanan diterima Rasulullah ﷺ.

Kemudian, keadaan mulai berubah. Rasulullah ﷺ mulai terbiasa dengan turunnya malaikat. Dakwah pun pelan-pelan mulai diterima, dan berkembang. Keadaan ini seperti orang yang membawa beban yang berat di punggungnya, kemudian ia meletakkannya setelah sampai. Ketika ia membawa beban, ia akan merasakan rasa sakit, dan lelah. Namun, setelah ia letakkan bebannya, mulai hilang lah rasa sakit, dan lelah tersebut. 

Demikian juga yang Nabi ﷺ rasakan, merasa berat, dan lelah di awal, kemudian Allah gantikan rasa itu dengan kemudahan, dan istirahat. Demikian lah makna ayat tersebut, dan dengan memahami asal, serta makna dari surah ini, telah terbantahkan tuduhan akan sifat amanah pada Nabi. Kita juga dapat memahami sunnatullah dalam kehidupan bahwasanya ia berisi berbagai kesulitan. Namun, Allah juga letakkan kemudahan bersamanya.

Fa inna ma'a al-'usri yusran
(Sesungguhnya bersama kesulitan, ada kemudahan)

Kemudian diulang lagi sebagai penguat pada ayat setelahnya

Inna ma'a al-'usri yusran
(Sesungguhnya bersama kesulitan, ada kemudahan)

Referensi: al-Qoul al-Sadîd fi 'Ilmi al-Tauhîd

Bunga Bank

  Mesir sedang mengalami keterpurukan ekonomi di bulan Maret 2022 ini. Nilai tukar mata uang Mesir, Egyptian Pound (EGP), terhadap dollar me...