Mayoritas 'ulama ushul fiqh mendefinisikan hukum sebagai:
خطاب الله المتعلق بأفعال المكلفين بالاقتضاء أو التخيير أو الوضع
Perkataan Allah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf dengan cara perintah, memberi pilihan, atau melahirkan sebuah kondisi (wadh'i)
Penjelasan definisi
Perkataan Allah: Maksud dari perkataan Allah di sini adalah setiap yang tersambung kepada Allah, entah itu secara langsung, seperti al-qur'an, atau dengan perantara, seperti hadits, ijma', dan qiyas. Mengapa hadits, ijma', dan qiyas juga termasuk dari "perkataan Allah"? Karena ia semua kembali, atau bersandar kepada Allah.
Yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf: Maksudnya adalah ranah dari hukum adalah perbuatan seseorang yang telah baligh dan berakal, mencakup perbuatan yang sifatnya perkataan, seperti membaca al-fatihah dalam salat, haramnya ghibah, perbuatan anggota badan, seperti membunuh, ruku', dan mencakup juga perbuatan hati, seperti niat, ikhlas.
Dengan cara perintah: Maksudnya adalah antara wajib, sunnah, haram, dan makruh.
Memberi pilihan: Maksudnya adalah mubah.
Melahirkan kondisi: Maksudnya adalah menjadikan sesuatu sebagai sebab, atau syarat, atau pencegah (mani').
Jenis-jenis hukum syar'i
Hukum syar'i terbagi menjadi dua bagian:
1. Hukum taklifi (لحكم التكليفي)
Ia adalah perkataan Allah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf dengan cara perintah, atau memberi pilihan. Artinya, ranah hukum taklifi adalah terkait dengan wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram.
2. Hukum wadh'i (الحكم الوضعي)
Ia adalah perkataan Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, pencegah, shahih, atau rusak (fasid). Poin-poin tersebut merupakan ranah hukum wadh'i.
Penjelasan mengenai masing-masing jenis ini akan terdapat di tulisan selanjutnya.
Perbedaan antara hukum taklifi dan wadh'i
1. Hukum taklifi dimaksudkan untuk memberi "pembebanan" dengan perintah, larangan, atau memberi pilihan, sedangkan wadh'i tidak dimaksudkan untuk memberi "pembebanan", namun ia bersifat pengikatan antara dua hal, misalnya, sebab, dan akibatnya, pencegah, dan larangannya, agar seseorang bisa tahu kapan ada/tidak adanya hukum.
2. Hukum taklifi mensyaratkan adanya ilmu dari seorang mukallaf terhadap perbuatan yang dibebankan kepadanya, dan kemampuan dalam menjalankannya. Misalnya, hukum kewajiban berpuasa bisa gugur jika seseorang sedang sakit, karena ketiadaan kemampuan dalam menjalankannya. Sedangkan, hukum wadh'i tidak mensyaratkan kedua hal tersebut.
3. Hukum taklifi hanya berkaitan dengan perbuatan mukallaf (orang yang baligh dan berakal), sedangkan hukum wadh'i tidak. Maka, jika seorang anak kecil merusak barang lain, wali dari anak tersebut wajib menggantinya. Hal ini bukan ranah hukum taklifi, tetapi ranah wadh'i, yaitu menjadikan perusakan barang seorang anak menjadi sebab penggantian dari walinya.
Sumber: irsyad al-'uqul ila qawa'id al-ushul
No comments:
Post a Comment