Maqashid Syariah
Dan merupakan sebuah hak bagi setiap manusia untuk mendapatkan keamanan dalam hidup. Allah telah memuliakan manusia dalam Al-Qur’an (QS 17:70),
و لقد كرمنا بني ءادم و حملناهم في البر و البحر و رزقناهم من الطيبات و فضلناهم على كثير ممن خلقنا تفصيلا
Dan sungguh telah kami muliakan anak-anak Adam, dan telah kami angkut mereka di daratan dan lautan, dan telah kami beri rezeki dari yang baik-baik, dan telah kami lebihkan mereka atas kebanyakan ciptaan kami
Pemuliaan ini mencakup keseluruhan manusia, tanpa pengecualian, tanpa memandang jenis kelamin, kepercayaan, maupun warna kulit mereka. Sehingga pelanggaran terhadap hak seseorang amat dilarang, tidak hanya terkait kehidupan mereka, tapi juga termasuk dalam bentuk celaan-celaan, karena Allah telah memuliakan setiap manusia. Termasuk juga di antaranya, memuliakan kebebasan dan kehendaknya sebagai manusia.
Islam sangat memandang perihal ini dengan serius, Islam tidak mengecilkan nyawa seorang manusiapun, Ia berfirman dalam QS 5:32,
من قتل نفسا بغير نفس أو فساد في الأرض فكأنما قتل الناس جميعا
Barangsiapa yang membunuh seseorang, bukan karena orang tersebut membunuh orang lain, atau membuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh seluruh manusia
Mengapa? Karena manusia telah diciptakan dari jiwa yang satu (Nabi Adam), sehingga membunuh satu orang dipandang Islam sebagai pembunuhan atas segalanya, karena ia merupakan sebagian dari keseluruhan (juz’un min al-kul)
Pelarangan Islam terhadap pembunuhan, tidak hanya berhenti dalam tataran fisik, namun juga secara maknawiyah, yang tergambar dengan berbagai bentuk, seperti -yang banyak terjadi- pemerintahan diktator, merendahkan orang lain, merampas kebebasan orang lain, memenjarakan orang lain karena perbedaan pendapat, dll.
Begitu besar Islam menempatkan posisi kehormatan seorang manusia, hingga ia ditempatkan lebih besar dari kehormatan kakbah, sesuai dengan hadits nabi ﷺ, و الذي نفس محمد بيده لحرمة المؤمن عند الله أعظم من حرمتك (Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di tangannya, kehormatan seorang mukmin lebih agung di sisi Allah daripada kehormatanmu (kakbah).
Terdapat beberapa tuduhan bahwa Islam merupakan agama yang tidak menghargai nyawa manusia dengan disyariatkannya hukum rajam, qishash. Maka, untuk menjawabnya, pertama kita mesti melihat sifat agama ini sesuai dengan yang digambarkan oleh Al-Qur’an, bahwa ia merupakan agama rahmah (kasih saying).
Hal ini terwujud, pertama dengan terbukanya pintu taubat sebesar-besarnya bagi pelaku dosa, serta perintahnya kepada pelaku dosa untuk tidak berputus asa terhadap rahmatNya.
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ – 39:53
Katakanlah, “wahai hamba-hambaku yang telah melampaui batas atas dirinya, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni segala dosa. Sungguh Ia Maha Pengampun dan Maha Penyayang
Bagaimana terhadap hukum-hukum yang tadi disebutkan? Syariat memberikan persyaratan yang begitu ketat dalam penerapan hukum ini, dan Rasulullah ﷺ berwasiat untuk tidak menerapkan hukum ini manakala terdapat keraguan terhadap kebenerannya (syubhat) sekecil apapun.
ادرءوا الحدود بالشبهات
Cegahlah hudud (hukuman) dengan keraguan (syubhat)
Tidak hanya itu, ketika datang pelaku zina yang mengakui perbuatannya dan meminta hukuman kepada Nabi ﷺ, Nabi ﷺ menolaknya sampai tiga kali. Ketika pemuda tersebut terus memaksa Nabi ﷺ, Rasulullah ﷺ terus mempertanyakannya, seakan Ia ﷺ ingin pemuda tersebut menarik pengakuannya.
لعلك فعلت كذا أو كذا مما لا يصل إلى حد الزنا
Barangkali kamu hanya melakukan ini, dan itu yang tidak sampai ke tingkat zina
Al-Qur’an sendiri telah memberi syarat yang ketat dalam penegakan hukuman rajam ketika menghukumi pelaku zina, yaitu terdapatnya empat saksi. Ahli fikih juga mensyaratkan bahwa saksi tersebut harus melihat dan jelas, tanpa ada keraguan sedikitpun, dan jika ada keraguan walau sedikit, maka persaksiannya tertolak. Maka, secara logika, apakah mungkin syarat tersebut bisa terpenuhi?
Terdapat juga riwayat mengenai apa yang dilakukan para sahabat terhadap pencuri, diriwayatkan, suatu hari, Umar bin Khatthab didatangi seorang pencuri. Maka Umar, bertanya padanya,
هل سرقت؟ قل لا
Apakah kamu telah mencuri? Katakanlah, “tidak”!
Ini dimaksudkan Umar, agar tidak terdapat pengakuan dari si pencuri, agar hukuman potong tangan tidak ditegakkan, dan si pencuri dikenai hukuman lain yang diputuskan oleh hakim.
Pada akhirnya, tuduhan-tuduhan ini tertolak, ketika kita mengenal Islam secara lebih dalam, serta mengerti bahwa maqashid syariah meletakkan maslahat manusia di tingkatan awal.
- hifdz an-nafs (menjaga jiwa)
Dan merupakan sebuah hak bagi setiap manusia untuk mendapatkan keamanan dalam hidup. Allah telah memuliakan manusia dalam Al-Qur’an (QS 17:70),
و لقد كرمنا بني ءادم و حملناهم في البر و البحر و رزقناهم من الطيبات و فضلناهم على كثير ممن خلقنا تفصيلا
Dan sungguh telah kami muliakan anak-anak Adam, dan telah kami angkut mereka di daratan dan lautan, dan telah kami beri rezeki dari yang baik-baik, dan telah kami lebihkan mereka atas kebanyakan ciptaan kami
Pemuliaan ini mencakup keseluruhan manusia, tanpa pengecualian, tanpa memandang jenis kelamin, kepercayaan, maupun warna kulit mereka. Sehingga pelanggaran terhadap hak seseorang amat dilarang, tidak hanya terkait kehidupan mereka, tapi juga termasuk dalam bentuk celaan-celaan, karena Allah telah memuliakan setiap manusia. Termasuk juga di antaranya, memuliakan kebebasan dan kehendaknya sebagai manusia.
Islam sangat memandang perihal ini dengan serius, Islam tidak mengecilkan nyawa seorang manusiapun, Ia berfirman dalam QS 5:32,
من قتل نفسا بغير نفس أو فساد في الأرض فكأنما قتل الناس جميعا
Barangsiapa yang membunuh seseorang, bukan karena orang tersebut membunuh orang lain, atau membuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh seluruh manusia
Mengapa? Karena manusia telah diciptakan dari jiwa yang satu (Nabi Adam), sehingga membunuh satu orang dipandang Islam sebagai pembunuhan atas segalanya, karena ia merupakan sebagian dari keseluruhan (juz’un min al-kul)
Pelarangan Islam terhadap pembunuhan, tidak hanya berhenti dalam tataran fisik, namun juga secara maknawiyah, yang tergambar dengan berbagai bentuk, seperti -yang banyak terjadi- pemerintahan diktator, merendahkan orang lain, merampas kebebasan orang lain, memenjarakan orang lain karena perbedaan pendapat, dll.
Begitu besar Islam menempatkan posisi kehormatan seorang manusia, hingga ia ditempatkan lebih besar dari kehormatan kakbah, sesuai dengan hadits nabi ﷺ, و الذي نفس محمد بيده لحرمة المؤمن عند الله أعظم من حرمتك (Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di tangannya, kehormatan seorang mukmin lebih agung di sisi Allah daripada kehormatanmu (kakbah).
Terdapat beberapa tuduhan bahwa Islam merupakan agama yang tidak menghargai nyawa manusia dengan disyariatkannya hukum rajam, qishash. Maka, untuk menjawabnya, pertama kita mesti melihat sifat agama ini sesuai dengan yang digambarkan oleh Al-Qur’an, bahwa ia merupakan agama rahmah (kasih saying).
Hal ini terwujud, pertama dengan terbukanya pintu taubat sebesar-besarnya bagi pelaku dosa, serta perintahnya kepada pelaku dosa untuk tidak berputus asa terhadap rahmatNya.
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ – 39:53
Katakanlah, “wahai hamba-hambaku yang telah melampaui batas atas dirinya, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni segala dosa. Sungguh Ia Maha Pengampun dan Maha Penyayang
Bagaimana terhadap hukum-hukum yang tadi disebutkan? Syariat memberikan persyaratan yang begitu ketat dalam penerapan hukum ini, dan Rasulullah ﷺ berwasiat untuk tidak menerapkan hukum ini manakala terdapat keraguan terhadap kebenerannya (syubhat) sekecil apapun.
ادرءوا الحدود بالشبهات
Cegahlah hudud (hukuman) dengan keraguan (syubhat)
Tidak hanya itu, ketika datang pelaku zina yang mengakui perbuatannya dan meminta hukuman kepada Nabi ﷺ, Nabi ﷺ menolaknya sampai tiga kali. Ketika pemuda tersebut terus memaksa Nabi ﷺ, Rasulullah ﷺ terus mempertanyakannya, seakan Ia ﷺ ingin pemuda tersebut menarik pengakuannya.
لعلك فعلت كذا أو كذا مما لا يصل إلى حد الزنا
Barangkali kamu hanya melakukan ini, dan itu yang tidak sampai ke tingkat zina
Al-Qur’an sendiri telah memberi syarat yang ketat dalam penegakan hukuman rajam ketika menghukumi pelaku zina, yaitu terdapatnya empat saksi. Ahli fikih juga mensyaratkan bahwa saksi tersebut harus melihat dan jelas, tanpa ada keraguan sedikitpun, dan jika ada keraguan walau sedikit, maka persaksiannya tertolak. Maka, secara logika, apakah mungkin syarat tersebut bisa terpenuhi?
Terdapat juga riwayat mengenai apa yang dilakukan para sahabat terhadap pencuri, diriwayatkan, suatu hari, Umar bin Khatthab didatangi seorang pencuri. Maka Umar, bertanya padanya,
هل سرقت؟ قل لا
Apakah kamu telah mencuri? Katakanlah, “tidak”!
Ini dimaksudkan Umar, agar tidak terdapat pengakuan dari si pencuri, agar hukuman potong tangan tidak ditegakkan, dan si pencuri dikenai hukuman lain yang diputuskan oleh hakim.
Pada akhirnya, tuduhan-tuduhan ini tertolak, ketika kita mengenal Islam secara lebih dalam, serta mengerti bahwa maqashid syariah meletakkan maslahat manusia di tingkatan awal.