Thursday, April 30, 2020

Serial Maqashid Syariah #3: hifdz annafs (Menjawa Jiwa)

Maqashid Syariah
  1. hifdz an-nafs (menjaga jiwa)
Hak terhadap kehidupan merupakan hak paling asas yang dimiliki setiap manusia. Dalam Islam, hak ini juga dimiliki oleh janin, sehingga Islam mengharamkan praktek aborsi (kecuali dengan alasan medis). Terdapat dua sisi yang dilanggar dalam praktek ini, pertama, pelanggaran terhadap hak manusia yang berhak untuk hidup, kedua, pelanggaran terhadap hak Allah sebagai satu-satunya zat yang berhak menghidupkan dan mematikan manusia.

Dan merupakan sebuah hak bagi setiap manusia untuk mendapatkan keamanan dalam hidup. Allah telah memuliakan manusia dalam Al-Qur’an (QS 17:70),
و لقد كرمنا بني ءادم و حملناهم في البر و البحر و رزقناهم من الطيبات و فضلناهم على كثير ممن خلقنا تفصيلا
Dan sungguh telah kami muliakan anak-anak Adam, dan telah kami angkut mereka di daratan dan lautan, dan telah kami beri rezeki dari yang baik-baik, dan telah kami lebihkan mereka atas kebanyakan ciptaan kami

Pemuliaan ini mencakup keseluruhan manusia, tanpa pengecualian, tanpa memandang jenis kelamin, kepercayaan, maupun warna kulit mereka. Sehingga pelanggaran terhadap hak seseorang amat dilarang, tidak hanya terkait kehidupan mereka, tapi juga termasuk dalam bentuk celaan-celaan, karena Allah telah memuliakan setiap manusia. Termasuk juga di antaranya, memuliakan kebebasan dan kehendaknya sebagai manusia.

Islam sangat memandang perihal ini dengan serius, Islam tidak mengecilkan nyawa seorang manusiapun, Ia berfirman dalam QS 5:32,
من قتل نفسا بغير نفس أو فساد في الأرض فكأنما قتل الناس جميعا
Barangsiapa yang membunuh seseorang, bukan karena orang tersebut membunuh orang lain, atau membuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh seluruh manusia

Mengapa? Karena manusia telah diciptakan dari jiwa yang satu (Nabi Adam), sehingga membunuh satu orang dipandang Islam sebagai pembunuhan atas segalanya, karena ia merupakan sebagian dari keseluruhan (juz’un min al-kul)

Pelarangan Islam terhadap pembunuhan, tidak hanya berhenti dalam tataran fisik, namun juga secara maknawiyah, yang tergambar dengan berbagai bentuk, seperti -yang banyak terjadi- pemerintahan diktator, merendahkan orang lain, merampas kebebasan orang lain, memenjarakan orang lain karena perbedaan pendapat, dll.

Begitu besar Islam menempatkan posisi kehormatan seorang manusia, hingga ia ditempatkan lebih besar dari kehormatan kakbah, sesuai dengan hadits nabi ﷺ, و الذي نفس محمد بيده لحرمة المؤمن عند الله أعظم من حرمتك (Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di tangannya, kehormatan seorang mukmin lebih agung di sisi Allah daripada kehormatanmu (kakbah).

Terdapat beberapa tuduhan bahwa Islam merupakan agama yang tidak menghargai nyawa manusia dengan disyariatkannya hukum rajam, qishash. Maka, untuk menjawabnya, pertama kita mesti melihat sifat agama ini sesuai dengan yang digambarkan oleh Al-Qur’an, bahwa ia merupakan agama rahmah (kasih saying).

Hal ini terwujud, pertama dengan terbukanya pintu taubat sebesar-besarnya bagi pelaku dosa, serta perintahnya kepada pelaku dosa untuk tidak berputus asa terhadap rahmatNya.
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ – 39:53
Katakanlah, “wahai hamba-hambaku yang telah melampaui batas atas dirinya, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni segala dosa. Sungguh Ia Maha Pengampun dan Maha Penyayang

Bagaimana terhadap hukum-hukum yang tadi disebutkan? Syariat memberikan persyaratan yang begitu ketat dalam penerapan hukum ini, dan Rasulullah ﷺ berwasiat untuk tidak menerapkan hukum ini manakala terdapat keraguan terhadap kebenerannya (syubhat) sekecil apapun.

ادرءوا الحدود بالشبهات
Cegahlah hudud (hukuman) dengan keraguan (syubhat)

Tidak hanya itu, ketika datang pelaku zina yang mengakui perbuatannya dan meminta hukuman kepada Nabi ﷺ, Nabi ﷺ menolaknya sampai tiga kali. Ketika pemuda tersebut terus memaksa Nabi ﷺ, Rasulullah ﷺ terus mempertanyakannya, seakan Ia ﷺ ingin pemuda tersebut menarik pengakuannya.

لعلك فعلت كذا أو كذا مما لا يصل إلى حد الزنا
Barangkali kamu hanya melakukan ini, dan itu yang tidak sampai ke tingkat zina

Al-Qur’an sendiri telah memberi syarat yang ketat dalam penegakan hukuman rajam ketika menghukumi pelaku zina, yaitu terdapatnya empat saksi. Ahli fikih juga mensyaratkan bahwa saksi tersebut harus melihat dan jelas, tanpa ada keraguan sedikitpun, dan jika ada keraguan walau sedikit, maka persaksiannya tertolak. Maka, secara logika, apakah mungkin syarat tersebut bisa terpenuhi?

Terdapat juga riwayat mengenai apa yang dilakukan para sahabat terhadap pencuri, diriwayatkan, suatu hari, Umar bin Khatthab didatangi seorang pencuri. Maka Umar, bertanya padanya,

هل سرقت؟ قل لا
Apakah kamu telah mencuri? Katakanlah, “tidak”!

Ini dimaksudkan Umar, agar tidak terdapat pengakuan dari si pencuri, agar hukuman potong tangan tidak ditegakkan, dan si pencuri dikenai hukuman lain yang diputuskan oleh hakim.

Pada akhirnya, tuduhan-tuduhan ini tertolak, ketika kita mengenal Islam secara lebih dalam, serta mengerti bahwa maqashid syariah meletakkan maslahat manusia di tingkatan awal.

Serial Maqashid Syariah #2

Syariah Islamiyyah

Syariah Islamiyyah dalam makna terluasnya bermakna agama yang datang dari sisi Allah. Allah berfirman,
شرع لكم من الدين ما وصى به نوحا و الذي أوحينا إليك و ما وصينا به إبراهيم و موسى و عيسى أن أقيموا الدين ولا تتفرقوا فيه
Allah telah mensyariatkan kepadamu agama yang telah diwasiatkanNya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu (Muhammad), dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa yaitu tegakkanlah agama, dan janganlah kamu berpecah belah di dalamnya (QS 42:13)

Dari sini, kita dapat mengambil pengertian syariah dengan perinciannya, yaitu istilah terhadap sesuatu yang datang kepada Rasul dari Allah yang memiliki tujuan sebagai penunjuk manusia kepada kebenaran dalam kepercayaan, dan kepada kebaikan pada perilaku, dan hubungan sesama.

Pengertian ini menunjukkan bahwa syariah mengatur hubungan manusia terhadap tiga hal; dirinya, tuhannya, serta sekitarnya (manusia lain, tumbuhan, dan hewan).

Syariah dan Fikih Islami
Terdapat kesalahan yang telah mengakar terkait pengertian dari syariah dan fikih islami. Banyak orang yang menyangka bahwa dua hal tersebut merupakan perkara yang sama. Padahal perbedaan di antara keduanya bagaikan langit dan bumi.

Kesalahan ini menyebabkan semakin menguatnya tabiat “pengkudusan” atas pendapat-pendapat para ‘ulama terdahulu sampai dengan tingkat meyakini bahwa jika kita keluar dari pendapat tersebut, bermakna keluar dari agama itu sendiri.Kesalahan ini tampak dengan penutupan pintu ijtihad, dan menjauhnya dari kemudahan dalam beragama yang mana hal itu merupakan bagian dari rahmat Allah.

Fikih sendiri memiliki perkembangan dalam maknanya. Pada awalnya, ia bermakna segala hukum-hukum agama yang datang  dengan syariah islamiyyah dalam perkara-perkara aqidah, akhlak, ibadah, dan muamalat. Akan tetapi, terjadi perkembangan makna sehingga maknanya kini menyempit menjadi ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang berkaitan dengan amal dari dalil-dalilnya yang terperinci. Sehingga, kini ia hanya soal amal, yakni ibadah dan muamalat (hubungan sesama).

Sebagaimana yang kita ketahui, selain bersumber dari Al-Qur’an, dan sunnah, fikih juga bersumber dari ijma’ dan qiyas, sehingga fikih memang menyisakan ruang bagi pemikiran manusia, serta ijtihadnya.
Dulu, qadhi di Mesir berpegang pada madzhab Imam Abu Hanifah, dan tidak menggunakan madzhab lain. Akan tetapi, Syaikh Muhammad Musthofa Al-Maraghi (Syaikhul Azhar tahun 1881-1945 M) justru berpandangan bahwa mengambil pendapat dari madzhab lain adalah sebuah kebaikan selama ia sesuai dengan maslahat. Beliau menjelaskan bahwa di dalam Syariah islamiyyah terdapat unsur toleransi, dan kelonggaran. Ia harus bersesuaian dengan kondisi tempat dan waktu, karena perkara fikih merupakan perkara yang senantiasa menerima pembaharuan dan perubahan.

Urgensi Pembaharuan dalam Islam
Pembaharuan merupakan sifat alami dari kehidupan. Dan Islam adalah agama yang berjalan bersamaan dengan tabiat kehidupan. Rasulullah mengisyaratkan akan ajakan terhadap pemabaharuan ini dalam perkataannya,
إن الله يبعث لهذه الأمة على رأس كل مئة سنة من يجدد لها دينها
Sesungguhnya Allah mengutus bagi umat ini orang yang memperbaharui agama di tiap seratus tahun

Pembaharuan yang dimaksud ini bukanlah hal yang dilakukan secara sembrono. Ia adalah hal yang dilakukan berdasar pemahaman realita dalam rangka menyingkap hal-hal yang butuh perbaikan, serta membentangkan jalan untuk inovasi yang lebih banyak yang pada akhirnya dapat bermanfaat untuk kehidupan manusia di berbagai sisi, baik dari segi dunia, maupun akhirat.

Pembaharuan Fikih Islami
Setelah mengetahui bahwa fikih merupakan perkara yang senantiasa menerima perubahan, kita juga melihat kepada kehidupan yang berjalan sekarang. Begitu banyak perkara yang baru ada ada di zaman sekarang, sehingga ia belum terbahas oleh ulama zaman lampau. Misalnya, di bidang kedokteran, di masa kini kita mengenal istilah bayi tabung, donor organ, di bidang muamalah kita mengenal istilah e-money, dan berbagai instrument investasi. Dari sini, kita paham syariat mengenal ijtihad dan pembaharuan, karena Islam senantiasa berjalan berdampingan dengan kehidupan.

Prinsip Ijtihad
Islam mengakui ijtihad, sesuai dengan hadits Nabi yang mengisahkan ketika Beliau ﷺ mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman. Nabi bertanya, dengan apa Muadz akan memutuskan perkara jika ia tidak bisa menemukannya di Al-Qur’an dan Sunnah? Kemudian Muadz menjawab, bahwa ia akan memutuskan dengan ijtihad (berusaha memutuskan dengan pikirannya), kemudian Nabi ﷺ membenarkannya.

Pembenaran akan ijtihad maka berarti menolak sikap ikut-ikutan yang membutakan, serta menegaskan juga akan urgensi penggunakan akal.

Muhammad Iqbal, salah satu cendekiawan muslim (wafat pada tahun 1938), mengatakan bahwa ijtihad merupakan prinsip pergerakan dalam Islam, yang dimaksud ijtihad di sini adalah penggunaan akal dalam mengeluarkan hukum-hukum syar’i.

Pada akhirnya kesemua hal ini, kembali pada tabiat Syariah islamiyyah, yaitu membawa kebaikan bagi manusia, sesuai dengan waktu, dan tempatnya.

Serial Maqashid Syariah #1

Dewasa ini, Islam berhadapan dengan sebuah gelombang yang berusaha merusak hakikatnya. Gelombang ini mengencang terlebih sejak peristiwa 9/11 di Amerika. Upaya ini dalam rangka menjauhkan Islam dari kehidupan kaum muslimin.

Akan tetapi, kita juga mengakui, bahwasanya terdapat sebagian dari kaum muslimin yang “berpartisipasi” dalam perusakan hakikat Islam ini. Entah dengan sebagian perilaku orang-orang pandir yang merusak ajaran Islam melalui pemahaman yang keliru, atau dengan memberi contoh yang buruk.
Berkaca dari hal ini, terdapat urgensi untuk menjernihkan kembali hakikat Islam, dan menyingkap tujuan-tujuan syariat islam (maqashid syariah), dan tanggung jawab akan hal tersebut ada di pundak setiap manusia yang mampu untuk mengembannya dari para ‘ulama Islam, dan pemikirnya.
Serial ini akan membahas maqashid syariah melalui perspektif kitab maqashid Syariah wa dharurat at-Tajdid karya Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq, anggota majlis kibar ‘ulama al azhar.

Bagian Pertama
Pandangan Pengantar
Di era kebodohan akan fikih islami dan syariat, para pembelajar syariat ini banyak yang menyibukkan diri terhadap perkara-perkara furu’(cabang), dan menjadikannya seakan-akan merupakan perkara yang tetap -padahal, ia merupakan perkara yang menerima perubahan-, dan hal ini diwujudkan dalam bentuk menutup pintu ijtihad, juga “mengkuduskan” pendapat para ‘ulama terdahulu.

Padahal, hal ini bertentangan dengan maksud dari para pendiri madzhab fikih itu sendiri. Mereka bermaksud untuk mengajarkan manusia cara berpikir yang lurus, dan bagaimana cara berinteraksi dengan sumber-sumber syariat Islam. Mereka berfokus pada manhaj berpikir.

Simaklah perkataan para imam madzhab dalam menggambarkan prinsip kita dalam berpikir dan berinteraksi dengan pendapat. Imam Syafii -rahimahullah- berkata,
رأينا صواب و يحتمل الخطأ و رأي غيرنا خطأ و يحتمل الصواب
Pendapat kami benar, tetapi berpotensi untuk mengandung kesalahan, dan pendapat selain kami salah, tetapi berpotensi untuk mengandung kebenaran

Imam Abu Hanifah -rahimahullah- berkata,
رأينا هذا هو أفضل ما قدرنا عليه, فمن جاءنا بأفضل منه قبلناه منه
Pendapat kami merupakan pendapat paling baik yang mampu kami utarakan, barangsiapa yang datang dengan pendapat yang lebih baik, maka kami menerimanya

Sedang, Imam Malik -rahimahullah- berkata,
كل إنسان يؤخذ من كلامه و يرد, ما عدا صاحب هذا القبر و أشار إلى قبر النبي ﷺ
Setiap perkataan manusia, dapat diambil, dan ditolak, kecuali perkataan pemilik kuburan ini (menunjuk kepada kuburan Rasulullah ﷺ)

Perkataan tersebut bukan berati mengisyaratkan kita untuk mudah dalam membantah pendapat para ‘ulama tanpa ilmu, namun perkataan itu mengisyaratkan sebuah konsep berpikir, bahwa perbedaan pendapat, perdebatan, serta ide pembaharuan dalam syariat merupakan hal-hal yang biasa dan dapat diterima.

Perkara yang menjadi perhatian ahli fikih terkait permasalahan ini adalah pentingnya perhatian terhadap hubungan sebuah fatwa syar’i dengan adat dan kebiasaan setiap tempat, serta kesesuaiannya dengan zamannya. Mengenai hal ini, ketiadaannya perhatian terhadap hal-hal tersebut, merupakan “penyakit” yang membahayakan terhadap maslahat menurut Imam Ibnul Qoyyim -rahimahullah-. Ia berkata,
من أفتى الناس بمجرد النقول من الكتب على اختلاف أعرافهم و عوائدهم و أزمنتهم و أحوالهم فقد ضل و أضل و كانت جنايته على الدين
Barangsiapa yang berfatwa kepada manusia dengan hanya menukil dari kitab lalu menyelisihi adat dan kebiasaan mereka, serta tidak memperhatikan keadaan, maka sungguh ia sesat dan menyesatkan, dan perbuatannya termasuk kejahatan terhadap agama

Kemunduran cara berpikir ini memang telah mengakar pada pikiran mayoritas umat, dan hal ini mendorong pada kemunduran sebuah peradaban. Hal ini juga disebabkan oleh ketiadaan penggunaan akal dalam berpikir. Hal-hal tersebut ditandai dengan ketiadaan pembaharuan.

Padahal, menurut Dr. Mahmud, andai para imam madzhab tersebut hidup di zaman sekarang, sungguh kita akan temukan mereka menjadi yang paling pertama dalam menggagas pembaharuan yang memenuhi kebutuhan umat sesuai dengan zamannya, karena pembaharuan tersebut merupakan kodrat dari sebuah kehidupan.

Dari hal di atas, kita memahami pentingnya ijtihad yang merujuk kepada perkara ushul dan memahami maqashid syariah (tujuan-tujuan syariat), karena ia merupakan poros bagi perkara yang furu’ (bukan sebaliknya).

Maka, serial ini ingin memfokuskan pada perkara maqashid syariah, serta penekanan pada pentingnya menghubungkannya dengan perkara-perkara furu’, serta persoalan fikih, dan kemaslahatan umum.
Sesungguhnya agama diturunkan melalui perantara Rasulullah ﷺ untuk kemaslahatan hamba dalam perkara dunia dan agamanya. Imam Najmuddin at-Thusi berkata,
حيثما توجد المصلحة فثم شرع الله
Di manapun terdapat maslahat, di situlah terdapat syariat Allah

Maslahat yang dimaksudkan di sini bukanlah maslahat yang bersifat pribadi yang berasaskan hawa nafsu, namun ia merupakan maslahat yang membawa kebaikan pada seluruh manusia. Maslahat yang kita bicarakan di sini, haruslah sesuai dengan maqashid syariah, sehingga ia bisa jauh dari hawa nafsu dan syahwat, sebagaimana yang dilakukan oleh bangsa Arab di jaman jahiliyyah yang berpandangan bahwa mengubur anak-anak perempuan, menghalangi perempuan dari warisan, dan meminum khamr merupakan maslahat.

Imam Ghazali dalam al-Mustashfa menjelaskan maksud dari maslahat di sini,
نعني بالمصلحة: المحافظة على مقصود الشرع. و مقصود الشرع من الخلق خمسة: و هو أن يحفظ دينهم, و نفسهم, و عقلهم, و نسلهم, و مالهم. و كل ما يتضمن حفظ هذه الأصول الخمسة فهو مصلحة, و كل ما يفوت هذه الأصول فهو مفسدة, و دفعه مصلحة
Yang kami maksudkan dengan maslahat ialah: penjagaan terhadap tujuan syariat, yaitu: menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Setiap hal yang mencakup penjagaan terhadap hal-hal ini, maka ia merupakan maslahat, dan setiap yang meluputkannya, makai a merupakan kerusakan

Dengan ini, telah jelas mengenai apa yang dimaksud dengan istilah-istilah yang akan kita bahas lebih lanjut dalam serial maqashid syariah ini.

Friday, April 10, 2020

Think Positive

Ketika mulai mempelajari sesuatu, dan kita belum bisa melakukannya dengan baik, milikilah mindset, bahwa yang terpenting adalah kita mempelajari hal baru, kita telah bergerak, kompetensi kita meningkat -walau pelan-.
Mindset bahwa kita harus selalu menguasai sesuatu dengan sempurna, atau sebaik orang-orang lain, membuat kita merasa diri ini kecil, dan justru membuat proses belajar itu sendiri menjadi tidak bermakna. Mengapresiasi dan menghargai usaha sendiri adalah kunci.
Imam Syafii -rahimahullah- mengatakan,
لن تنال العلم إلا بستة: ذكاء، و حرص، و اجتهاد، و إرشاد أستاذ، و بلغة، و طول الزمان.
"Kalian tidak akan mendapatkan ilmu, kecuali dg 6 hal; kecerdasan, kemauan, kerja keras, bimbingan guru, bekal, dan PANJANGNYA WAKTU"

Jalan Hidup Kaum Sinis

Suatu hari, Diogenes, seorang filsuf dari Athena, sedang duduk di samping tongnya (yang mana itu juga merupakan tempat tinggalnya) sembari menikmati cahaya matahari. Alexander Agung, sang penakluk, maharaja dari Macedonia mendatanginya, dan bertanya, "apa yang kamu inginkan saat ini?", Diogenes menjawab, "minggirlah, kamu menghalangi sinar matahari."
Barangkali kita butuh menjadi seperti Diogenes (yang dalam aliran filsafat disebut sebagai kaum sinis), yang meyakini bahwa kebahagian sejati bukanlah berasal dari kelebihan² lahiriah seperti itu. Apakah perlu sampai menjadi seperti kaum sinis yang bahkan meyakini bahwa kita tidak perlu memikirkan kesehatan, bahkan kematian? Mungkin tidak. Tapi kesadaran akan jalan yang ternyata sederhana untuk bahagia, dan mensyukuri hal² kecil di sekitar kita mungkin bisa jadi nilai yang kita ambil

Prinsip Imam Syafi'i tentang Pendapat

Bagaimana seharusnya mindset kita dalam berpendapat dan menerima pendapat?
Ada prinsip yang luar biasa dari Imam Syafi'i:
رأينا صواب يحتمل الخطأ و رأي غيرنا خطأ و يحتمل الصواب
Pendapat saya benar, namun berpotensi untuk salah. Dan pendapat selain saya salah, namun berpotensi untuk benar
Setidaknya, ada dua hal yg bisa kita ambil dari prinsip tersebut:
1. Kita harus punya dasar yang kuat dalam setiap pendapat kita, sehingga kita betul yakin akan kebenaran pendapat kita
2. Namun, kita juga harus sadar bahwa mungkin saja kita salah. Karena pendapat orang lain yang kita pandang salah, bisa jadi lebih benar daripada pendapat kita
Hal ini yang menjauhkan kita dari sifat keras kepala, dan objektif dalam menerima kebenaran.

Filsafat dan Cinta

Bagaimana filsuf alam yunani memandang tentang keberadaan? Parmenides (540-480 SM) berpandangan bahwa segala sesuatu yang ada pasti telah selalu ada. Segala sesuatu itu ada dan tetap, tidak berubah dan membentuk apapun sama sekali. Bahkan lebih jauh, ia menafikan pengalaman empirisnya dalam melihat kenyataan yang terjadi di sekitarnya, dengan mengatakan bahwa indra-indranya yang menangkap sinyal perubahan itu merupakan ilusi.
Sedang Heraclitus, yang hidup sezaman dengan Parmenides berpandangan bahwa segala sesuatu senantiasa berubah. Hal apapun yang kamu lihat pada detik ke 1, akan menjadi berbeda ketika telah masuk detik ke 2, karena ia senantiasa mengalir dan berubah. Persepsi indra pun dapat ia terima dan diterima sebagai kenyataan, bukan ilusi seperti yang Parmenides katakan.
Kemudian datang filsuf yang mendamaikan pandangan mereka, Empedocles (490-430 SM). Ia bilang bahwa mereka berdua benar di satu sisi, dan salah di sisi lainnya. Empedocles mengatakan bahwa air memang tidak berubah, dia tetaplah menjadi air, tidak bisa berubah menjadi daun, tulang. Tapi persepsi indra yang muncul adalah nyata. Kenyataan bahwa indra kita melihat perubahan yang terjadi sehari-hari adalah sebuah kebenaran.
Gagasan utamanya adalah bahwa sesuatu itu terbentuk dari beberapa unsur. Sehingga ia menolak ide unsur tunggal (misal; air berubah jadi daun. Hal yang ia yakini adalah daun terdiri dari beberapa unsur). Apa unsur utama tersebut? Air, tanah, api, dan udara (jadi inget avatar). Unsur itu bisa bersatu dan berpisah untuk membentuk sesuatu.
Nah yang menarik, pertanyaannya kemudian, apakah yang bisa membuat unsur-unsur tersebut bersatu dan berpisah? Empedocles yakin ada dua kekuatan, cinta yang mengikat sesuatu, dan perselisihan yang memisahkannya. eak.
Saya gatau penerjemah melakukan tugasnya dengan baik atau nggak dalam menerjemahkan buku yang saya baca, tapi kalo diasumsikan itu sudah tepat, cinta nyatanya sudah dianggap menjadi sesuatu yang “membangun” sejak ribuan tahun yang lalu. Seakan Empedocles mengajarkan pada kita untuk senantiasa menumbuhkan dan menebarkan cinta jika ingin membangun sesuatu, bukan mengobarkan perselisihan.

Bunga Bank

  Mesir sedang mengalami keterpurukan ekonomi di bulan Maret 2022 ini. Nilai tukar mata uang Mesir, Egyptian Pound (EGP), terhadap dollar me...