Syariah Islamiyyah
Syariah Islamiyyah dalam makna terluasnya bermakna agama yang datang dari sisi Allah. Allah berfirman,
شرع لكم من الدين ما وصى به نوحا و الذي أوحينا إليك و ما وصينا به إبراهيم و موسى و عيسى أن أقيموا الدين ولا تتفرقوا فيه
Allah telah mensyariatkan kepadamu agama yang telah diwasiatkanNya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu (Muhammad), dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa yaitu tegakkanlah agama, dan janganlah kamu berpecah belah di dalamnya (QS 42:13)
Dari sini, kita dapat mengambil pengertian syariah dengan perinciannya, yaitu istilah terhadap sesuatu yang datang kepada Rasul dari Allah yang memiliki tujuan sebagai penunjuk manusia kepada kebenaran dalam kepercayaan, dan kepada kebaikan pada perilaku, dan hubungan sesama.
Pengertian ini menunjukkan bahwa syariah mengatur hubungan manusia terhadap tiga hal; dirinya, tuhannya, serta sekitarnya (manusia lain, tumbuhan, dan hewan).
Syariah dan Fikih Islami
Terdapat kesalahan yang telah mengakar terkait pengertian dari syariah dan fikih islami. Banyak orang yang menyangka bahwa dua hal tersebut merupakan perkara yang sama. Padahal perbedaan di antara keduanya bagaikan langit dan bumi.
Kesalahan ini menyebabkan semakin menguatnya tabiat “pengkudusan” atas pendapat-pendapat para ‘ulama terdahulu sampai dengan tingkat meyakini bahwa jika kita keluar dari pendapat tersebut, bermakna keluar dari agama itu sendiri.Kesalahan ini tampak dengan penutupan pintu ijtihad, dan menjauhnya dari kemudahan dalam beragama yang mana hal itu merupakan bagian dari rahmat Allah.
Fikih sendiri memiliki perkembangan dalam maknanya. Pada awalnya, ia bermakna segala hukum-hukum agama yang datang dengan syariah islamiyyah dalam perkara-perkara aqidah, akhlak, ibadah, dan muamalat. Akan tetapi, terjadi perkembangan makna sehingga maknanya kini menyempit menjadi ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang berkaitan dengan amal dari dalil-dalilnya yang terperinci. Sehingga, kini ia hanya soal amal, yakni ibadah dan muamalat (hubungan sesama).
Sebagaimana yang kita ketahui, selain bersumber dari Al-Qur’an, dan sunnah, fikih juga bersumber dari ijma’ dan qiyas, sehingga fikih memang menyisakan ruang bagi pemikiran manusia, serta ijtihadnya.
Dulu, qadhi di Mesir berpegang pada madzhab Imam Abu Hanifah, dan tidak menggunakan madzhab lain. Akan tetapi, Syaikh Muhammad Musthofa Al-Maraghi (Syaikhul Azhar tahun 1881-1945 M) justru berpandangan bahwa mengambil pendapat dari madzhab lain adalah sebuah kebaikan selama ia sesuai dengan maslahat. Beliau menjelaskan bahwa di dalam Syariah islamiyyah terdapat unsur toleransi, dan kelonggaran. Ia harus bersesuaian dengan kondisi tempat dan waktu, karena perkara fikih merupakan perkara yang senantiasa menerima pembaharuan dan perubahan.
Urgensi Pembaharuan dalam Islam
Pembaharuan merupakan sifat alami dari kehidupan. Dan Islam adalah agama yang berjalan bersamaan dengan tabiat kehidupan. Rasulullah mengisyaratkan akan ajakan terhadap pemabaharuan ini dalam perkataannya,
إن الله يبعث لهذه الأمة على رأس كل مئة سنة من يجدد لها دينها
Sesungguhnya Allah mengutus bagi umat ini orang yang memperbaharui agama di tiap seratus tahun
Pembaharuan yang dimaksud ini bukanlah hal yang dilakukan secara sembrono. Ia adalah hal yang dilakukan berdasar pemahaman realita dalam rangka menyingkap hal-hal yang butuh perbaikan, serta membentangkan jalan untuk inovasi yang lebih banyak yang pada akhirnya dapat bermanfaat untuk kehidupan manusia di berbagai sisi, baik dari segi dunia, maupun akhirat.
Pembaharuan Fikih Islami
Setelah mengetahui bahwa fikih merupakan perkara yang senantiasa menerima perubahan, kita juga melihat kepada kehidupan yang berjalan sekarang. Begitu banyak perkara yang baru ada ada di zaman sekarang, sehingga ia belum terbahas oleh ulama zaman lampau. Misalnya, di bidang kedokteran, di masa kini kita mengenal istilah bayi tabung, donor organ, di bidang muamalah kita mengenal istilah e-money, dan berbagai instrument investasi. Dari sini, kita paham syariat mengenal ijtihad dan pembaharuan, karena Islam senantiasa berjalan berdampingan dengan kehidupan.
Prinsip Ijtihad
Islam mengakui ijtihad, sesuai dengan hadits Nabi yang mengisahkan ketika Beliau ﷺ mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman. Nabi bertanya, dengan apa Muadz akan memutuskan perkara jika ia tidak bisa menemukannya di Al-Qur’an dan Sunnah? Kemudian Muadz menjawab, bahwa ia akan memutuskan dengan ijtihad (berusaha memutuskan dengan pikirannya), kemudian Nabi ﷺ membenarkannya.
Pembenaran akan ijtihad maka berarti menolak sikap ikut-ikutan yang membutakan, serta menegaskan juga akan urgensi penggunakan akal.
Muhammad Iqbal, salah satu cendekiawan muslim (wafat pada tahun 1938), mengatakan bahwa ijtihad merupakan prinsip pergerakan dalam Islam, yang dimaksud ijtihad di sini adalah penggunaan akal dalam mengeluarkan hukum-hukum syar’i.
Pada akhirnya kesemua hal ini, kembali pada tabiat Syariah islamiyyah, yaitu membawa kebaikan bagi manusia, sesuai dengan waktu, dan tempatnya.
Syariah Islamiyyah dalam makna terluasnya bermakna agama yang datang dari sisi Allah. Allah berfirman,
شرع لكم من الدين ما وصى به نوحا و الذي أوحينا إليك و ما وصينا به إبراهيم و موسى و عيسى أن أقيموا الدين ولا تتفرقوا فيه
Allah telah mensyariatkan kepadamu agama yang telah diwasiatkanNya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu (Muhammad), dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa yaitu tegakkanlah agama, dan janganlah kamu berpecah belah di dalamnya (QS 42:13)
Dari sini, kita dapat mengambil pengertian syariah dengan perinciannya, yaitu istilah terhadap sesuatu yang datang kepada Rasul dari Allah yang memiliki tujuan sebagai penunjuk manusia kepada kebenaran dalam kepercayaan, dan kepada kebaikan pada perilaku, dan hubungan sesama.
Pengertian ini menunjukkan bahwa syariah mengatur hubungan manusia terhadap tiga hal; dirinya, tuhannya, serta sekitarnya (manusia lain, tumbuhan, dan hewan).
Syariah dan Fikih Islami
Terdapat kesalahan yang telah mengakar terkait pengertian dari syariah dan fikih islami. Banyak orang yang menyangka bahwa dua hal tersebut merupakan perkara yang sama. Padahal perbedaan di antara keduanya bagaikan langit dan bumi.
Kesalahan ini menyebabkan semakin menguatnya tabiat “pengkudusan” atas pendapat-pendapat para ‘ulama terdahulu sampai dengan tingkat meyakini bahwa jika kita keluar dari pendapat tersebut, bermakna keluar dari agama itu sendiri.Kesalahan ini tampak dengan penutupan pintu ijtihad, dan menjauhnya dari kemudahan dalam beragama yang mana hal itu merupakan bagian dari rahmat Allah.
Fikih sendiri memiliki perkembangan dalam maknanya. Pada awalnya, ia bermakna segala hukum-hukum agama yang datang dengan syariah islamiyyah dalam perkara-perkara aqidah, akhlak, ibadah, dan muamalat. Akan tetapi, terjadi perkembangan makna sehingga maknanya kini menyempit menjadi ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang berkaitan dengan amal dari dalil-dalilnya yang terperinci. Sehingga, kini ia hanya soal amal, yakni ibadah dan muamalat (hubungan sesama).
Sebagaimana yang kita ketahui, selain bersumber dari Al-Qur’an, dan sunnah, fikih juga bersumber dari ijma’ dan qiyas, sehingga fikih memang menyisakan ruang bagi pemikiran manusia, serta ijtihadnya.
Dulu, qadhi di Mesir berpegang pada madzhab Imam Abu Hanifah, dan tidak menggunakan madzhab lain. Akan tetapi, Syaikh Muhammad Musthofa Al-Maraghi (Syaikhul Azhar tahun 1881-1945 M) justru berpandangan bahwa mengambil pendapat dari madzhab lain adalah sebuah kebaikan selama ia sesuai dengan maslahat. Beliau menjelaskan bahwa di dalam Syariah islamiyyah terdapat unsur toleransi, dan kelonggaran. Ia harus bersesuaian dengan kondisi tempat dan waktu, karena perkara fikih merupakan perkara yang senantiasa menerima pembaharuan dan perubahan.
Urgensi Pembaharuan dalam Islam
Pembaharuan merupakan sifat alami dari kehidupan. Dan Islam adalah agama yang berjalan bersamaan dengan tabiat kehidupan. Rasulullah mengisyaratkan akan ajakan terhadap pemabaharuan ini dalam perkataannya,
إن الله يبعث لهذه الأمة على رأس كل مئة سنة من يجدد لها دينها
Sesungguhnya Allah mengutus bagi umat ini orang yang memperbaharui agama di tiap seratus tahun
Pembaharuan yang dimaksud ini bukanlah hal yang dilakukan secara sembrono. Ia adalah hal yang dilakukan berdasar pemahaman realita dalam rangka menyingkap hal-hal yang butuh perbaikan, serta membentangkan jalan untuk inovasi yang lebih banyak yang pada akhirnya dapat bermanfaat untuk kehidupan manusia di berbagai sisi, baik dari segi dunia, maupun akhirat.
Pembaharuan Fikih Islami
Setelah mengetahui bahwa fikih merupakan perkara yang senantiasa menerima perubahan, kita juga melihat kepada kehidupan yang berjalan sekarang. Begitu banyak perkara yang baru ada ada di zaman sekarang, sehingga ia belum terbahas oleh ulama zaman lampau. Misalnya, di bidang kedokteran, di masa kini kita mengenal istilah bayi tabung, donor organ, di bidang muamalah kita mengenal istilah e-money, dan berbagai instrument investasi. Dari sini, kita paham syariat mengenal ijtihad dan pembaharuan, karena Islam senantiasa berjalan berdampingan dengan kehidupan.
Prinsip Ijtihad
Islam mengakui ijtihad, sesuai dengan hadits Nabi yang mengisahkan ketika Beliau ﷺ mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman. Nabi bertanya, dengan apa Muadz akan memutuskan perkara jika ia tidak bisa menemukannya di Al-Qur’an dan Sunnah? Kemudian Muadz menjawab, bahwa ia akan memutuskan dengan ijtihad (berusaha memutuskan dengan pikirannya), kemudian Nabi ﷺ membenarkannya.
Pembenaran akan ijtihad maka berarti menolak sikap ikut-ikutan yang membutakan, serta menegaskan juga akan urgensi penggunakan akal.
Muhammad Iqbal, salah satu cendekiawan muslim (wafat pada tahun 1938), mengatakan bahwa ijtihad merupakan prinsip pergerakan dalam Islam, yang dimaksud ijtihad di sini adalah penggunaan akal dalam mengeluarkan hukum-hukum syar’i.
Pada akhirnya kesemua hal ini, kembali pada tabiat Syariah islamiyyah, yaitu membawa kebaikan bagi manusia, sesuai dengan waktu, dan tempatnya.
No comments:
Post a Comment