Wednesday, November 20, 2019

Masalah Kemiskinan dan Bagaimana Penyembuhannya dalam Islam: Wasilah Penyelesaian dalam Islam (2/2)

Wasilah Islam dalam menyelesaikan masalah kemiskinan

Islam mengumumkan perang terhadap kemiskinan. Demi  mencegah kerusakan yang lebih besar di masyarakat. Oleh karena itu, ia mewajibkan individu untuk hidup di masyarakatnya dengan keadaan telah terpenuhi hajat hidup utamanya. Pakaian, minuman, tempat tinggal, pernikahan.
Dan tidak boleh ada seseorang yang hidup dalam lingkungan islami -walau ia bukan seorang muslim- untuk hidup dalam kondisi kelaparan dan tidak beralas kaki, atau menjadi gelandangan tanpa tempat tinggal, atau tidak mampu untuk menikah dan membentuk keluarga.
Apa wasilah-wasilah yang Islam ambil dalam menjamin hal-hal tersebut?

1. Bekerja
Wasilah pertama yang diajarkan Islam dalam memberantas kemiskinan adalah bekerja. Terdapat banyak ayat, hadits, atsar terkait ini, diantaranya:


هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِن رِّزْقِهِ ۖ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ - 67:15


Ia (Allah) yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya, dan makanlah dari rezeki Allah. Dan hanya kepadaNya lah kamu dibangkitkan


Juga terdapat hadits,
Jika kalian bertawakkal dengan sebenar-benarnya tawakkal, Allah pasti akan memberi kalian rezeki seperti burung, ia keluar dari sarangnya dalam keadaan lapar, dan kembali dalam keadaan kenyang

Hadits ini memberi gambaran bahwa yang dimaksud tawakkal adalah berserah yang diikuti dengan usaha. Layaknya burung yang harus keluar dari sarangnya dahulu untuk mendapatkan makanan. Maka, wajib bagi tiap pribadi untuk berusaha memenuhi hajat hidupnya, karena itu merupakan bagian dari perintah agama.

Dan hendaknya bagi masyarakat, untuk memiliki jiwa saling tolong-menolong dalam hal ini, hingga tiap individu mampu menemui penghidupannya yang layak sebagaimana yang diwasiatkan dalam surah al maidah, “Wa ta’aawanu ‘ala al-birri wa attaqwa” (Dan saling tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan).

Adapun, menjadi tugas pemimpin, untuk memudahkan masyarakatnya dalam mencari kerja, mendorong pembukaan lapangan pekerjaan. Karena Allah telah meletakkan tanggung jawab atas masyarakat pada pemimpin,. Jika terdapat banyak pencari kerja yang membutuhkan persiapan khusus atau pelatihan keahlian agar mereka mampu bekerja dengan layak, maka hal itu juga merupakan tugas pemimpin dalam menyiapkan hal-hal tersebut. Termasuk juga bantuan permodalan bagi calon pengusaha untuk mendanai usahanya. Wajib bagi pemimpin untuk menyediakannya dari pendapatan zakat, atau pendapatan negara lainnya.

2. Jaminan dari kerabat (keluarga)
Pada asalnya, wasilah utama dalam memerangi kemiskinan adalah bekerja. Namun bagaimana jika terdapat orang-orang yang sudah tidak mampu bekerja? Para janda yang sudah tua? Anak-anak kecil? Orang-orang sakit?

Islam memiliki konsep besar dalam hal ini. Dalam konsep keislaman, dzawil qurba atau kerabat (keluarga) wajib untuk saling membantu dan menjamin satu sama lain, karena ikatan antar mereka paling kuat dibandingkan dengan yang lain. Sehingga hendaknya yang kuat membantu yang lemah, dan yang kaya membantu yang miskin, dan kerabat memiliki hak lebih besar untuk dibantu dibandingkan dengan golongan yang lain.

وَآتِ ذَا الْقُرْبَىٰ حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا - 17:26
Dan berikanlah haknya kepada kerabat, orang miskin, dan yang sedang dalam perjalanan. Dan janganlah kamu berlaku boros.

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا - 4:36
Dan sembahlah Allah dan jangan engkau persekutukan dengan apapun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat, dan jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahaya. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri.

Jika kita perhatikan, dua ayat tersebut menyebutkan “kerabat” pertama kali ketika menyebut golongan yang harus dibantu.

Terdapat juga hadis dari Abu Hurairah yang telah sering kita dengar,
Seorang lelaki datang kepada Nabi, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, siapa yang paling berhak untuk aku berbakti padanya?” Rasul menjawab, “ibumu”, “kemudian siapa?” “ibumu”, “kemudian siapa?”, “ibumu”, “kemudian siapa?” “ayahmu, lalu yang paling dekat denganmu.”)
Ahli fikih mensyaratkan dua hal dalam kewajiban memberi nafkah pada kerabat:
1. Merupakan orang miskin. Sehingga tidak ada kewajiban atas kerabat yang berkecukupan.
2. Orang yang memberi nafkah memiliki harta yang cukup untuk diri, dan keluarganya.

3. Zakat
Islam memerintahkan setiap individu yang mampu untuk bekerja. Selain itu, ia juga memerintahkan orang yang berkecukupan untuk membantu kerabatnya. Akan tetapi tidak semua orang yang fakir memiliki kerabat yang berkecukupan. Lantas apa yang bisa golongan ini lakukan? 

Islam mengenal satu syariat yang merupakan satu dari lima pilar utama Islam, zakat. Zakat menurut ahli fikih bermakna pengeluaran harta tertentu dengan kadar yang juga tertentu. Pembahasan mengenai zakat lebih mendalam akan dibahas di artikel yang lain. Namun kali ini, kita akan membahas zakat dan hubungannya dengan pemberantasan kemiskinan. 

Zakat terbagi menjadi dua; yakni zakat harta dan zakat fitri. Kedua jenis zakat ini tidak diambil dari setiap orang dan harta. Namun untuk  harta dan individu yang melewati batas tertentu sehingga ia layak ditarik zakat. Pun, zakat ini penerimanya telah jelas ditetapkan syariat, sehingga tidak bisa digunakan untuk hal-hal selainnya. Siapakah mereka? Dalam at taubah ayat 58 dijelaskan; orang fakir, miskin, amil, muallaf, hamba sahaya, orang yang berhutang, orang yang berjihad, ibnu sabil

Syaikh Qardhawi menjelaskan, fakir dan miskin merupakan golongan yang awal/utama untuk diberikan zakat. Siapakah fakir dan miskin ini? Ulama menjelaskan; fakir adalah orang yang tidak memiliki apapun, atau memiliki kurang dari setengah dari kebutuhannya, dan miskin adalah orang yang memiliki setengah atau lebih, namun tidak mampu mencukupi kebutuhannya

Yang menarik untuk dicatat adalah; zakat bukan merupakan kebaikan individu semata, ia seharusnya merupakan bagian dari sistem pengaturan sebuah negara. Terdapat beberapa dalil tentang ini,

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ - 9:103
Ambillah zakat dari mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu menumbuhkan ketentraman dalam jiwa mereka. Sungguh Allah maha mendengar dan maha mengetahui.

Ayat ini ditujukan kepada Rasulullah sebagai pemimpin saat itu, dan juga kepada siapa saja yang memimpin umat muslim.
Terdapat juga hadis dari Ibnu Abbas yang menggambarkan peristiwa ketika Rasulullah mengutus Muadz -radhiyallahu ‘anhu- ke Yaman untuk menyiarkan Islam, Ia berkata, “Ajarkan mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka zakat, yang diambil dari orang kaya dan dikembalikan kepada orang miskin……..”

Imam Ibnu Hajar berkata, “Dengan dalil ini, kita berdalil bahwa pemimpinlah yang mengambil zakat dan menginfakkannya. Dan siapa yang menolak untuk mengeluarkannya, maka akan diambil walau secara paksa.”

Zakat sendiri sebenarnya merupakan satu pos pendapatan besar bagi negara untuk memberantas kemiskinan. Dalam kasus Indonesia sendiri, Badan Amil Zakat Nasional menjelaskan bahwa potensi zakat Indonesia sebesar Rp 232 Triliun, namun yang berhasil dikumpulkan hanyalah Rp 8,1 Triliun. 

4. Jaminan Baitul Mal
Dalam sistem negara islami, terdapat sebuah badan yang dikelola negara yang bertugas untuk memungut zakat, dan infaq, wakaf, dan segala pungutan masyarakat, bernama baitul mal. Kini kita mengenal Baitul mal sebagai lembaga yang terpisah dari pengelolaan negara, namun tetap berfungsi sama. 

Islam memprioritaskan penggunaan dana yang terkumpul di Baitul mal ini kepada fakir miskin. Al-Sarakhsi menulis dalam kitabnya, “Jika sebagian kaum muslimin membutuhkan pemenuhan kebutuhannya, akan tetapi tidak ada dana dalam pos zakat, dan infaq, maka pemimpin harus memberikannya melalui pos pajak. Dan hal itu dianggap hutang bagi pos zakat dan infaq. Adapun, jika pemimpin membutuhkan dana untuk pemenuhan kebutuhan militer, dan tidak ada dana dalam pos pajak, maka jika pemimpin mengambil dana melalui pos zakat dan infaq, hal itu dianggap hutang bagi pos pajak. Karena zakat dan infaq merupakan hak khusus kaum fakir dan miskin.”
Dari penjelasan ini, kita mesti merefleksikan kembali prioritas pengeluaran negara yang seharusnya.

5. Wasilah selain zakat
a. Sistem hidup bertetangga
Islam mengatur hubungan bermasyarakat dan bersosial, termasuk di antaranya bertetangga, dan menjadikan hubungan bertetangga sebagai sarana saling tolong menolong, termasuk dalam hal kesejahteraan.

Terdapat hadis Nabi,
Siapa yang beriman  kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Bukanlah seorang mukmin, ia yang tidur dalam keadaan kenyang, sedangkan tetangganya kelaparan, sedangkan ia mengetahuinya.” (HR. Thabrani, dan Baihaqi)

Adapun, siapa yang dimaksud tetangga di sini? Diterangkan di hadis riwayat Abu Daud, “Setiap 40 rumah adalah tetangga.” Sebagian ulama menafsirkan, yang dimaksud adalah 40 rumah dari segala sisinya. Sehingga, jika seseorang memperhatikan syariat, maka tidak akan ada yang membiarkan keluarga di sampingnya hingga 40 rumah kelaparan.

b. Bantuan daging kurban di hari raya idul adha
c. Kafarat dari pelanggaran sumpah yang dilakukan seseorang
Sesuai dengan yang termaktub dalam Al-Maidah:89
Maka kafarat baginya (orang yang melanggar sumpahnya) adalah memberi makan sepuluh orang miskin sesuai dengan yang biasa ia dan keluarganya makan, atau membebaskan budak”
d. Kafarat dari zihar
Zihar adalah situasi ketika suami mengatakan kepada istrinya, “Kamu bagiku seperti punggung ibuku sendiri, atau saudari perempuanku”. Maka istrinya diharamkan bagi sang suami, sampai ia menunaikan kafarat (hukumannya); membebaskan budak, atau siapa yang tidak mampu; berpuasa dua bulan berturut-turut, dan yang tidak mampu juga; memberi makan 60 orang miskin.
e. Kafarat orang yang berhubungan suami istri di siang hari ketika bulan Ramadhan
Hukumannya sama dengan zihar.
f. fidyah dari orang tua, orang sakit yang tidak mampu puasa
Fidyah merupakan sesuatu yang harus ditunaikan oleh orang tua, orang sakit yang tidak mampu berpuasa lagi. Sesuai dengan Al-Baqarah:184, “Dan bagi orang-orang yang berat menjalankannya (puasa), maka wajib baginya membayar fidyah; memberi makan seorang miskin….
Fidyah ini harus ditunaikan setiap hari di bulan Ramadhan.
g. Hadiy
Hadiy merupakan sesuatu yang harus ditunaikan oleh orang yang melakukan sesuatu yang dilarang ketika ihram dalam syariat haji, atau untuk orang yang berhaji tamattu’ (menunaikan umrah duluan, sebelum haji). Hadiy ditunaikan berupa unta, sapi, atau kambing.
h. Hak dari kebun yang baru dipanen
Terdapat ayat dalam surah Al-An’am: 141 yang memerintahkan untuk memberi sedekah dari hasil kebun yang baru dipanen. Para sahabat, seperti Ibnu Umar, menafsirkan bahwa hal ini bukan merupakan bagian dari zakat, melainkan sedekah atas hasil panen semata.
i. Jaminan atas orang fakir dan miskin
Ini merupakan poin yang terpenting. Poin ini merupakan prinsip dasar Islam yang harus tertanam dalam pikiran setiap individu. Bahwa wajib bagi tiap individu untuk saling membantu dan bertanggung jawab atas fakir dan miskin. Terlebih jika pendapatan zakat tidak mampu mencukupi kebutuhan ini. Terdapat banyak sekali dalil mengenai hal ini, di antaranya:

Hadis nabi,
Sesungguhnya dalam harta itu terdapat hak selain zakat, kemudian Nabi membaca ayat, ‘laisa albirra tuwallu wujuhakum qibalal masyriqi wal maghribi… sampe akhir’

Maksudnya adalah, pertama, ayat yang dibaca nabi menerangkan tentang rukun dari sebuah kebaikan, yaitu memberi harta kepada kerabat, anak yatim, orang miskin, dan selainnya, menunaikan salat, dan memberi zakat. Penyebutan “memberi harta kepada anak kerabat, anak yatim, dan orang miskin” di awal, menandakan hal tersebut terpisah dari zakat, dan hal itu terhukumi wajib.

Juga,
Permisalan seorang muslim dengan muslim lainnya dalam simpati, berkasih saying seperti tubuh yang satu, jika satu bagian tubuh mengaduh kesakitan, maka seluruh anggota tubuh ikut merasa panas dan terjaga.

Juga terdapat banyak sekali ancaman yang keras bagi orang yang menelantarkan orang miskin, seperti gambaran alasan bagi orang yang disiksa di neraka, “Wa laa yahudhu ‘ala tha’amil miskin”. Yaitu mereka yang tidak menghimbau untuk memberi makan orang miskin.

Demikian merupakan wasilah-wasilah yang Islam ajarkan dalam menyelesaikan urusan kemiskinan. Jika ditarik garis besar dari apa yang telah dirumuskan oleh Syaikh Qardhawi, Islam menekankan kerjasama antara negara, dan individu. Antara sistem, dan kesadaran pribadi. Intisari dari konsep besar ini seharusnya bisa diambil dan diterapkan dalam kehidupan bernegara di jaman sekarang dengan konteks politik, ekonomi, sosial, dan budaya tiap negara tersebut.

Sunday, November 3, 2019

Masalah Kemiskinan dan Bagaimana Penyembuhannya dalam Islam: Pandangan Islam terhadap kemiskinan [BAGIAN 1]

Beberapa waktu yang lalu di kelas, dosen saya merekomendasikan sebuah buku yang terdengar menarik secara judul. “Musykilah al faqr wa kaifa ‘ilajuha fi al islam” (Masalah kemiskinan dan bagaimana Islam mengobatinya). Buku tersebut ditulis oleh Syaikh Yusuf Al-Qardhawi. Saya mencoba mencari bukunya, membaca, dan mengulas bukunya di blog ini.
Syaikh Qardhawi membagi buku ini menjadi empat bagian besar, dan kita hanya akan bahas poin kedua, dan ketiga:
  •      Pandangan beberapa golongan terhadap kemiskinan
  •      Pandangan Islam terhadap kemiskinan
  •      Wasilah penyelesaian kemiskinan menurut Islam
  •     Kemenangan Islam atas kemiskinan 

Kita mengetahui bahwa kemiskinan telah menjadi masalah di segala tempat, sejak dahulu. Berbagai agama dan falsafah telah mencoba mengurai dan menyelesaikan masalah ini untuk meringankan kesulitan orang miskin. Ada yang melihat dengan pendekatan ajakan, ancaman, perintah, dan janji. Ada juga yang melalui pendekatan pandangan terhadap dunia yang ideal, di mana tidak terdapat kelas-kelas sosial, tidak ada perbandingan satu sama lain, tidak ada kemiskinan, dan itu lah dunia yang digambarkan Plato dalam bukunya "Republik".


Kondisi ini sering dimanfaatkan orang yang ingin menyebarkan paham, atau misinya dengan wajah "melayani orang miskin". Tentu tujuannya banyak, entah politis, ideologis, atau ekonomi. Menjadi buruk jika orang yang memanfaatkannya memiliki tujuan yang buruk, yang mampu menumpulkan akal pikir mereka, mendegradasi akhlak dan moralnya, memutus mereka ke akses dan pengetahuan politik yang lebih tinggi, sehingga mereka pada akhirnya tetap pada jurang kebodohan dan kesulitan.

Oleh karena itu, wajib bagi orang yang memiliki ilmu, untuk menjelaskan hakikat ajaran Islam yang merupakan petunjuk hidup dan bersifat rahmah. Menjelaskan hakikat bahwa ia merupakan ajaran yang melihat pada kehidupan, manusia, pekerjaan, harta, individu, dan masyarakat. Menyelisihi paham kanan-kiri. Bebas dan berdiri sendiri. Tidak ketimuran atau kebaratan, namun bersifat ketuhanan dan kemanusiaan.

Pandangan Islam terhadap kemiskinan

1. Islam menolak pandangan “kerahiban” terhadap kemiskinan
Islam menolak pandangan yang memandang bahwa kemiskinan merupakan nikmat dari Allah (sehingga tidak membutuhkan solusi atasnya). Tidak terdapat satupun pujian terhadap kemiskinan yang bersumber dari Alquran dan hadis nabi, akan tetapi yang ada yaitu pujian terhadap sifat zuhud. Dan zuhud menuntut kepemilikan atas sesuatu yang di-zuhud­-kan. Prinsip zuhud adalah ia meletakkan harta di tangannya, bukan di hatinya. Prinsip islam dalam melihat kekayaan adalah bahwa kekayaan merupakan sebuah nikmat dan wajib menyertakan syukur di dalamnya. Islam memandang bahwa kemiskinan merupakan sebuah masalah yang perlu dicarikan solusinya, karena ia memiliki berbagai dampak:

a. Kemiskinan berbahaya terhadap aqidah
Kemiskinan merupakan salah satu “penyakit” yang paling berbahaya bagi aqidah. Terlebih jika orang miskin tersebut adalah seorang pekerja keras yang bekerja dari pagi hingga malam, sedangkan terdapat orang kaya yang memiliki privilege untuk kaya sejak lahir tanpa dibarengi dengan kerja keras. Hal ini menyebabkan prasangka manusia menuduh pada ketidakadilan tuhan dalam pembagian rizkiNya. Sebagian ulama terdahulu berkata: (Jika kemiskinan mendatangi sebuah negara, maka kekufuran berkata kepadanya, “ambillah diriku untuk ikut bersamamu”). Terdapat juga hadis nabi yang mengatakan, “Hampir-hampir kemiskinan menjadi kekufuran”.

b. Kemiskinan berbahaya terhadap akhlak dan tata krama
Kemiskinan tidak hanya berbahaya ditinjau dari sisi aqidah, namun juga akhlak. Terlebih jika lingkungan sekitarnya merupakan orang-orang kaya yang tamak, hal ini berbahaya dalam mengantarkan orang tersebut ke perilaku yang tidak sejalan dengan akhlak baik; seperti penjarahan, pencurian.

“Suara yang berasal dari perut lebih kuat daripada suara yang berasal dari hati”.

Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- menjelaskan, “Kerasnya tekanan kemiskinan dirasakan oleh yang menderita, dan bekasnya terdapat di perilakunya.”
Dalam menjelaskan dampak hutang bagi orang-orang yang berhutang, Rasul bersabda: “Sesungguhnya seseorang, jika ia berhutang, ketika ia berbicara, ia berdusta, ketika ia berjanji, ia mengingkari.”

c. Kemiskinan berbahaya bagi pemikiran
Tidak cukup berbahaya bagi aspek ruhani, akhlak, kemiskinan juga berbahaya bagi pemikiran. Jika seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok bagi dirinya, keluarga, dan anaknya, bagaimana mungkin ia mampu berfikir secara tepat? Bagaimana keadaan anak-anak yang tumbuh dengan keadaan malnutrisi?

Hal ini disebabkan kemiskinan merusak daya pikir, karena ia membuat pikiran dalam kondisi kesibukan memikirkan kebutuhan dasarnya. Emosi mempengaruhi benarnya pemahaman. Nabi pun bersabda, “Tidak ada putusan bagi seorang hakim yang memutuskan dalam keadaan marah”. Para ahli fiqih meng-qiyas-kan “marah” dalam hadis tersebut dengan rasa “lapar yang parah” dan “haus yang parah”.

d. Kemiskinan berbahaya bagi keluarga
Dari sisi keluarga, kemiskinan dapat berdampak dalam beberapa aspek; pembentukannya, keberlanjutannya, dan penyatuannya. Dalam aspek pembentukan keluarga, kita tau bahwa kemiskinan merupakan salah satu penghalang terbesar bagi pemuda untuk menikah. Terdapat banyak pertimbangan, seperti mahar, nafkah, kemerdekaan finansial. Hal tersebut terutama saya temui di Mesir, di mana banyak pemudanya yang belum menikah, karena wali dari perempuan meminta kesiapan finansial yang cukup memberatkan pihak lelaki.

Dari aspek keberlanjutan pernikahan, kita juga melihat bahwa kemiskinan merupakan salah satu pendorong terbesar yang mempengaruhinya. Hukum islam sendiri mempertimbangkan hal tersebut, sehingga hakim bisa memproses talak dari perempuan jika pihak laki-laki tidak mampu memberi nafkah kepadanya, sesuai kaidah fiqih; “la dharrara wala dhiror” (Tidak memudharatkan dan tidak dimudharatkan).

Alquran sendiri memotret dengan jelas fenomena yang terjadi di jaman jahiliyah; sebagian ayah yang membunuh anak-anaknya karena takut akan kemiskinan. Seperti diabadikan dalam surah 6:151, dan 17:31.
“Wa laa taqtuluu awlaadakum khasyata imlaaq…” (Dan janganlah kalian bunuh anak-anak kalian karena takut akan kemiskinan) (QS 17:31). Hal ini memperlihatkan bahayanya kemiskinan pada ketahanan keluarga. Jika kita bawa dalam konteks kekinian, kita juga dapat melihat penyebab perceraian terbesar adalah perkara ekonomi.

e. Kemiskinan berbahaya bagi kestabilan sosial
Abu dzar -radhiyallahu 'anhu- berkata: “Sungguh menakjubkan siapa yang tidak menemukan makanan (pokok) di rumahnya: bagaimana mungkin ia tidak keluar dari rumahnya membawa pedang?!”
Perkataan ini betapa daruratnya pemenuhan kebutuhan pokok bagi seseorang, hingga hamper-hampir ketiadaannya menuntun orang-orang untuk melakukan kekerasan demi mendapatkannya. Terlebih jika terdapat ketimpangan yang terjadi di masyarakat.

2. Islam menolak pandangan jabbariyyin
Di samping menolak pandangan "kerahiban", Islam juga menolak pandangan yang mengatakan bahwa kemiskinan dan kekayaan adalah takdir Allah yang harus kita terima, dan kita tidak bisa merubahnya. Pandangan ini disebarkan oleh orang-orang kaya, dan diterima oleh orang-orang miskin. 

Allah berfirman dalam surah Yasin:47 
Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Infakkanlah sebagian rezeki yang diberikan Allah kepadamu" Orang-orang yang kafir itu berkata kepada orang-orang yang beriman, "Apakah pantas kami memberi makan kepada orang-orang yang jika Allah menghendaki, Dia akan memberinya makan? Kamu benar-benar dalam kesesatan yang nyata."

Konsep besar Islam dalam memandang pemahaman ini adalah; setiap misteri di dunia ini terdapat penyelesaiannya, setiap penyakit terdapat obatnya, setiap penyakit terdapat penyembuhannya. Penyakit merupakan bagian dari takdir Allah, dan penyembuhan juga merupakan bagian dari takdir Allah. Maka seorang mu'min, ia mendorong takdir dengan takdir yang lain.

Karena itu, Umar Bin Khatthab, ketika ia kembali dari Syam karena takut akan wabah penyakit yang terdapat didalamnya, ditanya oleh seseorang yang bersama dengannya, "Apakah engkau lari dari takdir Allah wahai amirul mu'minin?" Umar menjawab, "Ya, aku lari dari takdir Allah ke takdir Allah yang lain." Sehingga jelas dengan ini bahwa pandangan jabbariyyin ditolak dalam konsep besar Islam. Kita dapat mengusahakan apa-apa yang terkait dengan rezeki tesebut.

Makna qanaah dan ridha

Sering kita mendengar anjuran untuk qanaah dan ridha terhadap apa yang sudah Allah tentukan. Namun apa sebenarnya makna kata ini? Apakah bermakna pasrah dan menerima terhadap kemiskinan? Meninggalkan usaha atasnya?

Di antara doa Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam- yang juga kita hapal, "allahumma inni as'aluka alhuda wa attuqo wa al'afaf wa alghinaa". (Ya Allah, aku meminta kepadamu petunjuk, ketakwaan, kebaikan, dan kekayaan). Di antara doa nabi, yaitu meminta akan kekayaan. Nabi juga pernah mendoakan sahabat dan pelayannya, "allahumma aktsir maalihi" (Ya Allah, perbanyaklah hartanya). Oleh karena itu, apa makna sebenarnya dari qanaah?


Pertama, secara natural, tabiat manusia adalah serakah dan berhasrat pada dunia. Digambarkan dalam hadis nabi, "Jika anak adam memiliki dua lembah berisi emas, ia akan menginginkan yang ketiga. Dan tidak akan memuaskan mata anak adam kecuali tanah (tidak akan puas hingga wafat)." Oleh karena itu agama memainkan perannya sebagai petunjuk bagaimana seharusnya manusia menyikapi hal ini. Agama menuntun kita untuk seimbang, dan lurus dalam mencari rezeki, melarang untuk berlebihan hingga melelahkan jiwa dan badan secara bersamaan.

Sikap berlebihan ini yang menuntun manusia untuk tidak pernah merasa kenyang, selalu melihat harta sekelilingnya. Sehingga tidak cukup dengan yang halal, ia berpaling ke yang haram juga. Ini lah jawaban dari fenomena korupsi yang sering kita lihat. Apakah pelakunya orang yang kekurangan harta?

Peran iman adalah untuk menuntun manusia untuk mengenal hakikat yang kekal, yang melampaui semua horizon yang kita lihat di dunia. Dengan penanaman kesadaran akan hal yang kekal tersebut, manusia akan lebih realistis, dan seimbang dalam mencari dunianya.

Kedua, hendaknya manusia membandingkan rezeki sebagaimana ia membandingkan bakat. Setiap orang harus sadar bahwa mereka memiliki rezekinya masing-masing. Sebagaimana terdapat orang yang pendek, ada orang yang tinggi, ada orang yang diberi kecerdasan, ada yang tidak, ada yang berfisik kuat, ada yang lemah, begitu juga terdapat orang yang rezekinya dalam bentuk harta banyak, ada yang sedikit. Hal ini bukan mengantarkan kita pada pemahaman jabbariyyin yang pasrah terhadap takdir Allah. Terdapat banyak sekali perintah untuk berusaha dan bekerja, namun kesadaran ini perlu dipupuk agar worldview kita dalam melihat dunia ini lebih sehat. Tugas manusia hanya berusaha semampunya, menjemput apa yang telah digariskan untuknya, tanpa perlu membandingkan dengan pencapaian orang lain. Agama mencegah dan melarang manusia untuk memiliki rasa benci, tamak ketika melihat apa yang dimiliki orang lain. Sehingga secara makna, qanaah adalah penerimaan manusia akan apa yang telah Allah berikan, yang ia tidak mampu untuk merubahnya.


3. Islam menolak pandangan "kebaikan individu dan pertolongan secara sukarela"

Pandangan ketiga ini aktif menyeru kepada ajakan bersedekah, dan menolong fakir miskin. Mereka melihat bahwa penyelesaian masalah kemiskinan ini ada di tangan orang-orang kaya, oleh karena itu kita harus menyeru mereka untuk menolong. Akan tetapi Islam menolak pandangan ini. Pandangan ini bukan merupakan solusi yang solutif bagi masalah kemiskinan, terlebih jika kondisi orang-orang kaya sekitar telah membatu hatinya, menguat egonya, juga lemah imannya.

Doktor Ibrahim Al-laban membahas dalam penelitiannya, beliau mengatakan model seperti ini telah dilakukan oleh agama-agama samawi untuk menyelesaikan masalah kemiskinan, namun model ini tidak mencabut masalah sampai akarnya, oleh karena itu, wajib bagi kita untuk mempelajari lagi hakikat masalah tersebut agar mampu melihat di mana kegagalan dalam upaya memurnikan masyarakat dari masalah ini.

Terdapat dua sisi yang harus kita lihat, yaitu sisi kewajiban, dan hak. Sebagai contoh dalam jual beli. Harga merupakan kewajiban yang harus ditunaikan pembeli dalam transaksi, dan harga merupakan hak bagi penjual dalam menentukan. Dalam konteks yang lebih luas, pemilik hak dapat memiliki kekuatannya dari dua pihak; orang yang menuntut haknya dan tidak meninggalkan tuntutannya tersebut, dan kesadaran negara sendiri untuk menunaikan kewajibannya.

Pemahaman ini yang penting untuk dijadikan dasar dalam melihat masalah ini. Bahwa orang-orang miskin memiliki hak untuk ditunaikan kebutuhannya. Selama ini, pandangan ini hanya melihat bahwa orang-orang kaya wajib "memberi", tapi kita tidak melihat sisi orang-orang miskin yang memiliki hak. Pandangan "kebaikan individu" ini juga tidak bisa mengatur siapa yang dijawibkan berbuat "kebaikan" tersebut, kapan, dan berapa yang harus ia tunaikan? Negara dapat mengatur soal pajak, namun tidak bisa mengatur soal "kebaikan" tersebut. Hal ini pada akhirnya menjatuhkan orang miskin ke jurang kemiskinan yang jauh, dan tidak terdapat sistem yang mampu menanggung mereka.

4. Islam menolak paham kapitalisme

Doktor Qardhawi mengatakan paham kapitalisme adalah paham "Qarun" yang telah kita kenal di quran dengan kisahnya. Ia adalah paham yang salah satunya meyakini bahwa seseorang merupakan pemilik mutlak dari hartanya. Ia bersedekah jika ia mau, menahan uangnya jika ia mau.

Islam menolak pandangan ini dari akarnya. Worldview islam soal harta adalah; harta merupakan pemberian Allah. Manusia hanya pengurus harta tersebut, atau dengan kata lain; manusia adalah wakil dari pemilik harta yang hakiki (Allah), seperti yang termaktub di surah al hadid ayat 7: (wa anfiquu mimma ja'alakum mustakhlifiina fiih) (Dan berinfaklah dari apa-apa yang Allah jadikan kalian sebagai penguasanya (harta).

Dengan kesadaran itu, maka  menjadi logis jika Islam mengatur pengelolaan harta tersebut. Menyambung pada pembahasan sebelumnya, negara harus masuk untuk "mengambil" bagian orang miskin dari harta orang kaya dan memberikannya kepada yang berhak
Syaikh Al Qardhawi juga mengkritik sistem jaminan sosial yang dipratekkan di barat era modern. Sistem ini memberikan bantuan berdasarkan seberapa banyak seseorang membayar dalam bentuk angsuran. Siapa yang membayar lebih banyak, maka bisa mendapat kompensasi/jaminan lebih besar, begitu juga sebaliknya, walaupun kebutuhan yang ia miliki banyak.
Adapun sistem jaminan sosial yang diaplikasikan dalam Islam, tidaklah mensyaratkan angsuran seperti yang sebelumnya. Dan ia tidak memberi orang yang membutuhkan berdasar angsuran yang ia bayar, akan tetapi berdasarkan kebutuhannya.
Selanjutnya, kritiknya terhadap jaminan sosial ala barat, akan selalu menemui dua keterbatasan:
1. Tidak meliputi setiap individu yang membutuhkan
2. Keterbatasan dalam memenuhi kecukupan yang sempurna bagi fakir miskin, sebagaimana yang dijamin oleh sistem islam seperti; zakat, dan selainnya (yang akan dibahas di bagian selanjutnya). Ia hanya memberi, entah mencukupi atau tidak mencukupi.

5. Islam menolak paham marxisme
Pandangan ini menganggap bahwa kemiskinan adalah penyakit yang penyembuhannya adalah merisak kelas borjuis, meniadakan prinsip kepemilikan individu, dan mengobarkan perlawanan kelas. Islam menolak pandangan ini dari akarnya, karena bertentangan dengan prinsip dan asasnya.

1. Terdapat golongan orang kaya yang memakan hak dhuafa, fakir, miskin, merusak lingkungannya dengan harta, namun ada pula golongan orang kaya yang mensyukuri nikmat harta, menunaikan hak Allah, dan hak manusia di dalamnya.
QS An Najm:37-38: (Bahwa seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain) (Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang diusahakannya).

2. Islam mengakui prinsip kepemilikan individu, karena di dalamnya terdapat pemenuhan kebutuhan pokok manusiawi. Tentu saja Islam meletakkan aturan-aturan dalam kepemilikan individu, akan tetapi secara umum, ia menghormati kepemilikan individu dan menjaganya dengan hukum-hukumnya. Serta ia juga menjadikan kepemilikan individu sebagai asas dalam sistem ekonomi.
Adapun kerusakan dan penyalahgunaan harta yang dilakukan, bukanlah prinsip dari kepemilikan individu itu sendiri, melainkan hal tersebut datang dari jiwa manusia. Jika jiwanya baik, maka harta yang ada di tangannya menjadi perangkat untuk kebaikan serta perbaikan.

Nabi bersabda, “Sebaik-baik harta adalah harta yang dikelola oleh orang yang salih (baik).”

Oleh karena itu, pertama-tama Islam mengarahkan pada perbaikan jiwa dan melatih hati agar lurus.

3. Islam membangun hubungan antar manusia dengan asas kekeluargaan, dan tolong-menolong, dan tidak mengakui permusuhan, dan pertentangan antar kelas sosial. Dalam kacamata Islam, dengki, dan dendam merupakan penyakit. Nabi mengisyaratkan dengan “daa’u al umam” (penyakit umat).
“Innama almu’minuuna ikhwatun faaslihuu baina akhawaikum” (Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, maka perbaikilah (keadaan) di antara kalian) (QS: Al hujurat:10)
“Wa kuunuu ‘ibadallah ikhwanan” (Dan jadilah hamba Allah dan bersaudaralah) (HR Bukhari & Muslim)

4. Islam tidak menerima penyelesaian masalah dengan masalah yang lain. Komunis mencoba untuk menyelesaikan masalah kemiskinan dengan mencekik kebebasan rakyat, memaksakan kediktatoran yang kencang. Bisa dikatakan dengan ungkapan yang lain; mewajibkan ketundukan rakyat menjadi lemah, yang dipimpin oleh seorang pemimpin, dengan kekuatan kepolisian dan militer, serta penjara-penjaranya. Dan di kondisi ini, manusia tidak mampu untuk berkata, “kenapa?” kepada negara.

5. Tindakan komunis dan sosialis yang merampas kebebasan rakyat, menasionalisasi kepemilikan individu, dan alat produksi -atas nama kemaslahatan- tidak mampu menyelesaikan masalah kemiskinan. Ia justru menurunkan orang yang berada di tingkatan kaya menjadi miskin, dan tidak mampu menaikkan tingkatan orang miskin menjadi kaya.
Data pendapatan individu per tahun juga menggambarkan bahwa negara komunis tidak bisa mengangkat ekonomi di negaranya sendiri. (buku ini ditulis pada tahun 1966):
Amerika US$ 1453
Kanada US$ 875
Swiss US$ 749
Swedia US$ 780
Inggris US$ 773
Denmark US$ 689
Australia US$ 679
Belgia US$ 582
Belanda US$ 502
Perancis US$ 482
Cekoslovakia US$ 371
Rusia US$ 308
Polanda US$ 300
Hungaria US$ 269
Cina
US$ 27
Table 1 Data diambil dari buku Maher Nasim berjudul (An nizham assyuyu'i)

Adapun penyebab terbelakangnya produksi, dan rendahnya pendapatan di negara sosialis yaitu berasal dari tabiat sistem itu sendiri yang mengharamkan kepemilikan individu, dan membunuh ambisi, serta menjadikan individu tidak memiliki nilai dan kebebasan. Hal ini juga yang menjadikannya selalu di bawah negara kapitalis dalam produksi.

6. Ketika kita tinjau marxisme dari asal, maka kita temukan bahwa ia bukanlah ideologi yang memelihara orang miskin, orang yang lemah, akan tetapi ia berorientasi pada kelas proletariat, yaitu para buruh, petani untuk mengambil alat-alat produksi guna membalikkan sistem sosial. Dan ini merupakan golongan yang lain lagi. Tidak terdapat bagian bagi orang yang tidak berdaya, para janda, orang-orang tua, orang yang cacat mental atau fisik. Pandangan ini kemudian sejalan dengan falsafah: “Barangsiapa yang tidak bekerja, maka ia tidak makan.”

Bersambung.....
 

Bunga Bank

  Mesir sedang mengalami keterpurukan ekonomi di bulan Maret 2022 ini. Nilai tukar mata uang Mesir, Egyptian Pound (EGP), terhadap dollar me...