Oleh: Muammar Farras A.R. dan Adella Novana R.
Komunisme vs Kapitalisme
Dalam diskursus
filsafat ekonomi, kita mengenal dua kutub ekstrem. Di kiri kita akan menemukan komunisme,
dan di kanan akan kita temukan kapitalisme.
Kapitalisme adalah aliran filsafat ekonomi yang ditandai dengan
kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi ekonomi (sumber daya, peralatan,
modal). Aliran ini menekankan pada kebebasan swasta dalam beraktivitas dalam
roda perekenomian, sehingga pasar (market) menjadi hal yang fundamental dalam
ekonomi kapitalisme. [6]
Kepemilikan atas alat produksi, partisipasi
produksi, dan distribusi hasil produksi yang berbeda antara pemilik modal
dengan pekerjanya menciptakan hubungan yang berat sebelah, sehingga tercipta
struktur masyarakat yang berkelas. Konsekuensi lain dari kapitalisme ini yaitu
persaingan bebas antar pemilik modal, sehingga pemilik modal akan melakukan
penindasan (dhulm) kepada kaum buruh/pekerja
melalui mekanisme pengurangan upah buruh agar biaya produksi
menurun dan harga yang ditawarkan di pasaran bisa lebih murah sehingga dapat
memenangkan persaingan. [7] Di tangan pemilik modal yang jumlahnya sedikit,
terkumpul modal besar yang jumlahnya terus bertambah. Pertanyaannya dimana letak
kesejahteraan para pekerja? Ini yang dijadikan motivasi ekonomi dalam komunisme yaitu meringkas peran motif
profit dengan memasukkan non-profit
motivations untuk menghapuskan peluang terjadinya kesenjangan pendapatan
yang terjadi pada aliran kapitalisme.
Komunisme diperkenalkan oleh seorang
tokoh fenomenal yang bernama Karl Marx. Marx mendefinisikan komunisme sebagai
paham ekonomi yang berusaha meniadakan kepemilikan pribadi, karena negara telah
memenuhi kebutuhan rakyatnya melalui pemanfaatan alat-alat produksi. Ia adalah
fase akhir dari suatu negara yang tidak lagi terdapat di dalamnya kelas sosial,
swasta, bahkan negara itu sendiri. Aliran komunisme ini berasal dari aliran sosialisme,
yaitu paham ekonomi yang menjadikan pemerintah sebagai komunisme dipakai untuk aliran sosialis yang lebih radikal, menuntut
penghapusan total hak pusat dalam aktivitas perekonomian (central planning).
Dua kata ini semula sama artinya tetapi kata komunisme dipakai untuk aliran sosialis yang lebih radikal, menuntut penghapusan hak milik pribadi dan kesamaan konsumsi serta mengharapkan keadaan lebih baik bukan dari kebaikan pemerintah tetapi dari perjuangan kaum miskin/terhisap.[8] Perbedaan antara sosialisme dengan komunisme yang sangat mencolok dapat terlihat dalam hal cara dan sarana yang dipakai untuk mentransformasikan kapitalisme menjadi sosialisme. Kaum sosialis yakin bahwa transformasinya itu dapat dilakukan dengan cara-cara damai dan demokrasi, sedangkan kaum komunis merasa bahwa hal itu tidak cukup, perubahan harus dilakukan dengan cara revolusioner dan selama masa transisi diperlukan peran pemerintahan yang diktatorial sampai tercapai fase akhir seperti yang telah dijelaskan di atas. [9] Jika transisi gagal untuk mewujudkan cita-cita sosialisme yaitu meniadakan kesenjangan sosial, maka pemerintah yang otoriter justru dapat menyalahgunakan kekuasaannya dan memungkinkan kaum kapitalisme untuk lebih leluasa menjalankan perannya. Alih-alih meningkatkan kesejahteraan rakyat justru komunisme akan membuat roda perekonomian berjalan lebih lambat karena inovasi dan kreativitas warganegaranya terhambat akibat tidak adanya persaingan dan penghapusan hak-hak perseorangan atas alat-alat produksi.
Sistem Ekonomi Wasathi
Jika kita belajar mengenai sistem ekonomi islam melalui implementasi Umar
bin Abdul Azis, kita dapat mengambil beberapa prinsip utama dalam sistem
ekonomi islam. Di antaranya; keberpihakan pada kaum membutuhkan, keadilan
sosial, kebebasan, penghapusan KKN, optimalisasi ekonomi,
dan prinsip egaliter antara penguasa dan rakyat (sehingga tidak ada
pengistimewaan pada pejabat). Ia selalu menempatkan setiap kebijakannya
(dalam hal ini kebijakan ekonomi) di posisi pertengahan. Tidak ekstrem kiri,
maupun kanan. Terlihat dari kebijakannya yang membebaskan pasar bekerja
menemukan titik keseimbangannya, juga membebaskan rakyat untuk berjualan apapun
tanpa ada halangan (bahkan didorong untuk itu). Tapi kebebasan tersebut tetap
memiliki pembatasan, seperti dilarangnya penjualan minuman keras dan hal yang
dilarang syariat lainnya (yang juga berdampak buruk secara sosial). Selain itu,
negara juga melakukan beberapa intervensi, seperti menertibkan “tengkulak” guna
menciptakan keadilan sosial, meregulasi pembukaan lahan baru.
Umar juga menggalakkan ajaran Islam yang punya dampak sosial yang nyata,
seperti zakat. Pada masa itu, seperti digambarkan Dr. Ash-Shallabi, umat muslim
berbondong-bondong membayarkan zakatnya. Apa fungsi zakat itu sendiri?
Pemerataan kekayaan. Karena zakat diambil dari orang yang spesifik (mampu,
memiliki harta sesuai nishab (kadar minimum)), dan disalurkan kepada orang yang
juga spesifik (8 kategori yang telah disebutkan). Selain itu juga ia menindak
tegas penyelewengan wewenang, KKN, dan pungutan-pungutan liar guna mewujudkan
keadilan sosial, sesuai dengan perintah Allah dalam banyak teks quran dan
hadits, seperti dalam QS 2:188.
و لا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل
“Dan janganlah kalian memakan harta orang-orang di sekitar kalian dengan cara yang bathil/buruk”
Pada situasi di mana persinggungan antara
sosialisme dan kapitalisme mengemuka, kalangan pemikir dan ilmuwan islam mulai
sadar dan menerobos keluar dari dua kubu besar. Nyatanya memang islam tidak
menemukan tempat yang pas di antara keduanya. Karena keduanya sama-sama
kehilangan moral sebagai kekuatan utama, yang justru menjadi driving force dalam islam. [7]
Salah satu cendekiawan Islam yang mencoba
melawan arus dari keduanya adalah Mawlana Mawdudi. Ia bukan seorang ekonom,
tapi pandangannya terhadap sistem ekonomi dan bagaimana seharusnya negara
menempatkan Islam sebagai sistem yang menyeluruh, patut diapresiasi.. Mawdudi
memberikan penekanan dalam bentuk integrasi moral dan ekonomi yang gagal
diintegrasikan baik dari Kapitalisme maupun Sosialisme. Mawdudi menekankan,
dalam Islam individu boleh menguasai dan mengelola hartanya. Namun dia bukanlah
pemilik harta yang hakiki, melainkan sebatas pemegang amanah (trustees). Karena itu mereka harus
menjalankan dan mengelola hartanya seiring dengan panduan moral islam yang
telah mengaturnya. [7]
Sementara itu fungsi pemerintah menurut
Mawdudi bukanlah sebagai industrialis, pedagang, atau penguasa tanah (landlord), tapi lebih kepada pihak yang
menyelenggarakan dan mengawal keadilan dan menggunakan kekuasaan serta segenap
otoritas yang disematkan kepadanya untuk menjaga dan mendistribusikan
kesejahteraan kepada rakyat. Hal ini telah tercermin di zaman pemerintahan Umar
bin Abdul Aziz. [7]
Referensi:
[1] Zarkasyi, H. F. (2018). Konsep Din Al-Islam. Islamia,
19.
[2] (n.d.). Retrieve d from جامعة الملك سعود: المصحف الإلكتروني:
www.quran.ksu.edu.sa/tafseer/katheer/sura2-aya143.html#katheer
[3] Ash-shallabi, D. A. (2010). Umar bin Abdul Azis:
Khalifah Pembaru dari Bani Umayyah. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar.
[4] Asy-Syarbini, M. K. (n.d.). Al iqna fi hal alfaz abi
syuja. In M. K. Asy-Syarbini, Al iqna fi hal alfaz abi syuja (p. 249).
Kairo: Daar Ibn Jawzy.
[5] Bantani, M. N. (n.d.). Kasyifatu As-Saja. In M. N.
Bantani, Kasyifatu As-Saja (pp. 6-7). Surabaya: Daar Al Ilm.
[6] Frederick P. Stutz, B. W. (2015). The World
Economy. Pearson.
[7] Hamidi, M. L. (2012). The Quranomics : The
Crisis. Jakarta Selatan: Republika.
[8] Suseno, F. M. (2001). Pemikiran Karl Marx.
Jakarta: Gramedia.
[9] Saiman. (2000). Neo-sosialisme : Antara Ideologi dan
Realita Masyarakat Sosial. Bestari, 20.