Jumat (10/09) pagi di Alami Sharia sedikit berbeda. Kita memulai kerja pagi itu dengan materi dari Akh Mohammed Faris dari Productive Muslim. Beliau menjelaskan mengenai barakah culture dan hustle culture.
Definisi dari barakah sendiri menurut Mohammed Faris adalah "Attachment of divine goodness to a thing". Jika keberkahan melekat pada sesuatu yang sedikit, ia akan menambahnya. Ulama mendefisinikan barakah sebagai "Ziyadah al-Khair" (tambahan kebaikan).
Bagi umat muslim, keberkahan dimulai dari pagi hari. Nabi ﷺ bersabda,
اللهم بارك لأمتي في بكورها
"Ya Allah berkahilah umatku di pagi harinya"
Kemudian, Mohammed Faris mulai masuk ke inti materinya mengenai barakah dan hubungannya dengan kultur kerja profesional. Dewasa ini, kita sering mendengar istilah hustle culture di dunia kerja. Hustle culture sendiri dimaknai sebagai budaya "gila kerja" dan mengurangi waktu istirahat sesedikit mungkin. Jika kemudian kultur "gila kerja" ini dikontraskan dengan barakah culture, apakah itu bermakna barakah = kemalasan dan tidak produktif? Untuk memahaminya, kita mesti mengerti perbedaan kedua kultur ini.
Hustle culture = maximizing your output vs Barakah culture = maximizing the impact of your output
Orang yang bekerja dengan berkah akan berpikir, "Apa impact dari pekerjaan saya?"
Selain itu, orang yang bekerja dengan barakah adalah orang yang berfokus dengan proses, bukan hasil. Mengapa? Karena seorang muslim meyakini, bahwasanya hasil kerjanya bukanlah berasal dari apa yang ia lakukan, namun hasilnya semata-mata dari Allah. Mereka meyakini:
Free will + natural laws + Allah's permission = outcome
Jika ia tidak mendapat apa yang ia usahakan, ia akan rela, karena memang segalanya Allah yang menentukan. Hal ini berbeda dengan budaya hustle yang berfokus pada hasil. "Jika saya mengerjakan sebab-sebab terjadinya peristiwa A, maka peristiwa A pasti terjadi," jika nyatanya peristiwa A tidak terjadi, ia merasa burn out. Burn out ini sendiri memang dampak negatif dari budaya "gila kerja" ini. Akh Faris mengutip ayat yang kembali menampar saya juga:
Q.S 56:63
اَفَرَءَيْتُمْ مَّا تَحْرُثُوْنَۗ
Pernahkah kamu perhatikan benih yang kamu tanam?
Q.S 56:64
ءَاَنْتُمْ تَزْرَعُوْنَهٗٓ اَمْ نَحْنُ الزَّارِعُوْنَ
Kamukah yang menumbuhkannya ataukah Kami yang menumbuhkan?
Selanjutnya, bagaimana menumbuhkan "barakah culture" dalam hidup? Terdapat framework yang dijelaskan Akh Faris:
Dasarnya adalah: Belief in Allah, belief in the hereafter, belief in the sacred scripture. Kemudian hal ini tertransformasikan ke dalam values, worship, dan mindsets sehingga menghasilkan sebuah keberkahan dalam bekerja.
Kultur barakah dalam bekerja juga erat kaitannya dengan niat. Akh Faris merangkumnya dalam hierarchy of intention.
Terakhir, untuk merangkum mengenai barakah culture ini, Akh Faris mengutip perkataan dari Syaikh Abdullah bin Bayyah: "Have sincere intention and work hard"
Ijin share kak. Bagus banget tulisannya
ReplyDelete