Tuesday, July 20, 2021

Apakah Berobat Bertentangan dengan Tawakkal?

Per akhir tahun 2019 hingga saat ini (21/07/2021), dunia sedang dilanda wabah. Dinamakan wabah karena banyaknya orang yang terkena penyakit ini. Ketika sebuah penyakit sudah menjadi isu bagi banyak orang, maka opini mengenainya tentu menjadi banyak. Salah satunya adalah keterkaitannya terkait sikap beragama. Terdapat -dan banyak- narasi yang mengatakan bahwa kita cukup tawakkal (berserah) kepada Tuhan. Kalimat ini sering saya temui jika berbincang dengan penjaga warung di Cairo. "Bagaimana keadaan corona di Cairo saat ini?" "Tawakkal 'ala Allah."

Menjadi catatan tersendiri bahwasanya dunia pernah dilanda wabah beberapa kali. Buku-buku sejarah mengabadikannya. Bahkan, di zaman Kekhalifahan Umar bin Khattab, wabah pernah terjadi di Syam. Inilah salah satu cerita yang dituliskan Imam al-Ghazali dalam Ihya'-nya. Ia menulisnya di bagian kecil khusus berjudul: ar-radd 'ala man qala: "tarku al-tadawi afdholun bi kulli hal" (Bantahan atas perkataan: "meninggalkan pengobatan lebih utama bagi setiap orang di setiap kondisi") di bab mengenai tawakkal. Bagian ini menjadi menarik karena ia menggambarkan bahwa sejak berabad-abad yang lalu, narasi yang mempertentangkan antara usaha manusia (dalam konteks ini adalah berobat) dengan tawakkal sudah ada. Tambah serasi karena contoh yang diberikan sama-sama menggambarkan kondisi wabah. 

Pada bagian sebelumnya dari bagian kecil tersebut, al-Ghazali memang menjelaskan beberapa kondisi ketika "meninggalkan pengobatan" itu lebih baik bagi seseorang, namun itu belum akan dibahas saat ini.

Dalam menjawab bahwa "melakukan pengobatan" itu tidak bertentagan dengan tawakkal, al-Ghazali menjelaskan bahwa pengobatan merupakan bagian dari sunnatullah. Ketika kita haus, kita menghilangkannya dengan minum. Ketika kita lapar, kita menghilangkannya dengan makan. Tentu kita tidak berdiam diri dengan mengatakan bahwa kita sedang ber-tawakkal. Kita berusaha menghilangkan sesuatu dan tidak berdiam diri.

Ia -rahimahullah- mengutip kisah Umar bin Khattab -radhiyallahu 'anhu- ketika beliau ingin berangkat ke Syam. Gubernur Syam memberinya kabar bahwa sedang ada wabah tha'un di sana. Maka, Umar berunding dengan rombongannya apakah mereka akan melanjutkan perjalanan atau tidak. Diskusi mereka -yang terjadi berabad-abad lalu- amat persis dengan yang terjadi di abad ke-21 ini. 

Satu golongan mengatakan bahwa: "Kita tidak akan masuk ke daerah yang terdapat wabah di dalamnya dan membinasakan diri kita sendiri," golongan lain berkata: "Tidak, kita masuk dan ber-tawakkal kepada Allah. Kita tidak akan kabur dari takdir Allah." Kemudian mereka bertanya kepada Umar mengenai keputusannya.

Umar menjawab, "Kita tidak akan masuk ke daerah wabah," golongan yang menyelisihinya berkata, "Apakah kita akan kabur dari takdir Allah?" Umar menjawab, "Ya, kita kabur dari satu takdir ke takdir yang lain."

Kemudian, al-Ghazali juga menjelaskan, pengobatan itu bukan berarti merusak tawakkal dan keimanan kepada Allah. Ia merusak jika kita meyakini bahwa yang menyembuhkan kita dari sakit adalah obat tersebut, bukan Allah. Sama seperti ketika kita meyakini bahwa roti adalah zat yang mengenyangkan kita dan air yang melegakan dahaga kita, bukan Allah. Tentu, seorang mukmin meyakini bahwa Allah yang menjadikan roti sebab dari rasa kenyang, air sebab dari rasa segar, juga obat sebagai sebab kesembuhan. Ia juga bisa merusak ketika pengobatan tadi justru kita manfaatkan untuk menolong kita terus-terusan berbuat dosa, misalnya seseorang tahu bahwa jika ia sembuh, ia pasti akan korupsi, memfitnah. Di luar keadaan tersebut, al-Ghazali tidak mempertentangkan antara pengobatan dan tawakkal. Bahkan Rasulullah ﷺ melakukan bekam sebagai salah satu metode pengobatan.

Referensi: Ihyâ' Ulûm al-Dîn

No comments:

Post a Comment

Bunga Bank

  Mesir sedang mengalami keterpurukan ekonomi di bulan Maret 2022 ini. Nilai tukar mata uang Mesir, Egyptian Pound (EGP), terhadap dollar me...