Dalam kitab fikih, pembahasan mengenai zina dimasukkan dalam bab hudud
(hukuman). Kitab fikih menjelaskan bahwa syariat Islam mengenakan
hukuman pada perbuatan zina. Dalam bab tersebut dijelaskan mengenai
perbuatan apa yang termasuk dalam kategori zina (sehingga mewajibkan hadd), apa syarat-syaratnya, bagaimana hukumannya.
Definisi Zina
Ulama Hanafiyyah memiliki definisi yang panjang terkait zina. Mereka mendefinisikan zina sebagai:
الوطء الحرام في قبل المرأة الحية المشتهاة في حالة الاختيار في دار العدل ممن التزم أحكام الإسلام الخالي عن حقيقة الملك و حقيقة النكاح و عن شبهة الملك و شبهة النكاح و عن شبهة الاشتباه في موضع الاشتباه في الملك و النكاح جميعا
Hubungan seksual yang haram yang terjadi di kemaluan perempuan yang dilakukan dalam keadaan penuh kerelaan di negara yang menerapkan hukum Islam dan hubungan seksual tersebut tidak dilakukan dalam keadaan nikah atau ada keraguan dilakukan dalam keadaan nikah
Definisi ini memiliki penjelasan yang panjang lagi dalam kitab fikih, namun tulisan ini hanya akan berfokus pada bagian في حالة الاختيار (dalam keadaan penuh kerelaan) atau kita mengenalnya dengan kata consent.
Ulama sepakat bahwa perempuan yang dipaksa melakukan hubungan seksual tidak dikategorikan sebagai pezina (الزانية). Artinya, perempuan yang menjadi korban pemaksaan haruslah bebas dari segala hukuman, baik hukuman formal (cambuk/rajam) atau hukuman sosial seperti stigma negatif.
Ulama telah sepakat jika orang yang dipaksa adalah perempuan, namun mereka berbeda pendapat jika orang yang dipaksa adalah laki-laki. Perbedaan pendapat ulama mengenai laki-laki yang dipaksa berhubungan seksual sangat menarik untuk kita ketahui dan bawa ke konteks saat ini.
Syafi'iyyah dan Malikiyyah: laki-laki yang dipaksa hubungan seksual bukan termasuk pezina dan tidak boleh dikenai hukuman
Hanabilah: laki-laki yang dipaksa hubungan seksual juga wajib dikenai hukuman jika ia mengalami ejakulasi karena itu merupakan tanda ia tidak terpaksa melakukannya
Hanafiyyah: awalnya, ulama Hanafiyyah berpandangan bahwa jika yang memaksa adalah penguasa, maka laki-laki tidak dikenai hukuman (pemahaman ini muncul karena menurut Hanafiyyah, paksaan itu hanya bisa datang dari penguasa), namun jika yang memaksa adalah selain penguasa, maka laki-laki dikenai hukuman karena ia menunjukkan kerelaan. Kemudian, Abu Hanifah merubah pandangannya dan mengatakan bahwa laki-laki mutlak tidak dikenai hukuman jika ia dipaksa karena ejakulasi laki-laki hanya menunjukkan sifat kelelakiannya, bukan menunjukkan kerelaan.
Perubahan pandangan Abu Hanifah ini amat menarik jika kita perhatikan dan kaitkan dengan jaman sekarang. Banyak stigma yang melekat pada korban kekerasan seksual.
"Ah itu mah emang seneng."
"Itu keenakan juga kali."
Padahal, ulama mazhab seperti Abu Hanifah sudah terang menjelaskan bahwa reaksi tubuh seperti ejakulasi tidak menunjukkan kerelaan. Paksaan berarti perkosaan. Titik.
Perlu dicatat juga bahwa ulama sepakat jika korbannya adalah perempuan -perlu di-highlight, since, kebanyakan korban kekerasan seksual adalah perempuan- maka adalah sebuah kekeliruan mutlak jika perempuan korban kekerasan seksual dikenai berbagai stigma negatif. Jika fikih tidak menghukum orang yang dipaksa berhubungan seksual, mengapa kita justru menghukumnya?
Tulisan ini baru memotret zina dari sisi حالة الاختيار (kerelaan), belum membahas hal lain untuk menghukumi seseorang berzina atau tidak, seperti mengenai bukti yang harus disajikan berupa empat saksi, mengenai kadar yang dinamakan "hubungan seksual" itu seperti apa, dan sebagainya...
Referensi:
Al-Fiqh
al-Islâmî wa ِAdillatuhu: 6/28