Kita pernah mendengar
bahwa perempuan terlarang untuk bercakap-cakap dengan laki-laki, berpidato,
atau berbicara di muka umum, atau pernah juga terdengar bahwa tempat perempuan
adalah di rumah, bukan di tempat-tempat umum. Benarkah demikian?
Atau, kita juga menemui bagian lain,
yang tidak mengambil pusing akan batas interaksi tersebut. Laki-laki dan
perempuan tercipta sama dan boleh untuk berinteraksi tanpa ada perbedaan sama
sekali. Benarkah hal tersebut?
Dewasa ini, dalam membahas hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam Islam, seringkali kita menemui kebingungan. Seakan ada ranah abu-abu yang belom jelas, yaitu sampai manakah hubungan tersebut bisa terjalin? Interaksi seperti apa dan sejauh apa yang diizinkan?
Kita akan mundur untuk melihat apa yang
terjadi di zaman Rasul dahulu kala.
Di zaman Rasul, para perempuan
bukanlah orang yang diam dan terpenjara di dalam rumahnya, dulu, para
perempuan ikut salat berjamaah bersama Rasul, bahkan salat jum’at, bahkan
diriwayatkan bahwa terdapat perempuan yang hafal surah qof selama melalui
khutbah-khutbah yang Rasul sampaikan di mimbarnya.
Di zaman kini, kita mengenal
hijab yang biasa memisahkan/menutup antara shaf perempuan dan shaf
laki-laki. Di zaman Rasul, tidak terdapat hal tersebut, sehingga Rasul memerintahkan
perempuan untuk menempati shaf akhir karena dikhawatirkan akan
terlihatnya aurat laki-laki atas perempuan. Pun, dahulu, pintu untuk masuk dan
keluar masjid masih satu pintu, sehingga terjadi pula perebutan antara laki-laki
dan perempuan (yang di kemudian hari dibuatkan pintu khusus perempuan bernama “baab
annisa”)
Soal menuntut ilmu, perempuan di
zaman Rasul begitu giat dan penuh semangat. Diriwayatkan bahwa Sayyidah Aisyah
mengagumi perempuan Madinah, karena keberaniannya dan kegigihannya dalam
menuntut ilmu. Mereka tidak sungkan untuk bertanya langsung kepada Rasul
perihal haid, mandi junub, dsb.
Perihal peran perempuan di
tempat-tempat umum, banyak riwayat yang menjelaskan keterlibatan perempuan
dalam peperangan. Tugas utama perempuan adalah menyiapkan kebutuhan pasukan,
kemudian mengobati mereka yang terluka (yang mana, dalam hal tersebut, pasti
terdapat interaksi perempuan dan laki-laki), bahkan terdapat perempuan yang juga
turun membawa pedang. Sejarah mengenal nama Ummu Imarah yang perannya
diabadikan sejarah dalam perang Uhud.
Alqur’an juga banyak mengabadikan
kisah interaksi laki-laki dan perempuan. Di antaranya, seperti diabadikan di
surah Al-Qasas: 23-26 (cari sendiri ya ayatnya 😊), yang menceritakan kisah Nabi Musa
yang berbicara, dan bertanya kepada dua perempuan di perjalanannya. Kemudian Nabi
Musa membantu perempuan tersebut memberi minum hewan ternaknya. Setelah itu,
salah seorang dari perempuan tersebut berkata kepada Nabi Musa bahwa ayahnya
mengundang Nabi Musa sebagai balasan atas kebaikannya.
Dalam Surah Ali Imran: 37 dijelaskan
bahwa Zakariya masuk ke dalam mihrab Maryam ketika ia menanyakan kepada
Maryam akan makanan yang tiba-tiba ada di dalam mihrabnya.
Surah An-Naml:42-44 juga
menceritakan percakapan antara ratu kerajaan Saba’ (Bilqis) dan Nabi Sulaiman
tentang kerajaannya.
Dalil-dalil ini membantah bahwa tempat
perempuan hanyalah di rumah, ia tidak boleh bersuara dan berperan di ruang publik,
ia tidak boleh bercakap dengan laki-laki. Islam datang bukan untuk mengharamkan
hal tersebut, namun mengaturnya. Bagaimana aturannya?
Syaikh Qardhawi menjelaskan dalam
kitabnya, fatawa al mar’ah al Muslimah, bahwa pertemuan laki-laki dan
perempuan dibolehkan jika maksud dari pertemuan tersebut adalah untuk tujuan
yang mulia, dan baik, atau untuk proyek yang membawa kemaslahatan, yang
membutuhkan kerjasama antara laki-laki dan perempuan. Kerangka aturan yang
harus diperhatikan menurut Syaikh Qardhawi, adalah:
1. Menjaga pandangan pada aurat masing-masing,
dan menjauhi pandangan yang diikuti dengan syahwat. Adapun memandang lawan
bicara secara wajar adalah diperbolehkan. (Lihat An-Nur:30-31)
2. Hendaknya perempuan mengenakan
pakaian yang menutup auratnya, sebagaimana yang telah kita ketahui dalam
syariat Islam
3. Bergaul dengan adab sesuai Islam,
seperti;
a. Dalam berbicara, hendaknya
perempuan menghindari suara yang bermanja-manja ketika berbicara dengan
laki-laki, karena kita tidak memungkiri bahwa terdapat laki-laki yang terdapat
penyakit di dalam hati dan pikirannya seperti diterangkan dalam Surah Al-Ahzab:32
b. Dalam berjalan, dalam Surah
An-Nur:31 dijelaskan akan larangan untuk berjalan yang bertujuan untuk
memperlihatkan perhiasan-perhiasan yang mereka sembunyikan.
c. Terdapat larangan pula untuk berduaan
yang tidak dibersamai oleh mahramnya di tempat yang khusus. Sesuai dengan
hadis, “Sesungguhnya yang ketiganya adalah Syaithan”.
d. Pertemuan tersebut tidak
berpotensi untuk menghadirkan gosip yang buruk, juga melalaikan perempuan dari
tugas-tugasnya yang utama dan mulia.